Contoh-contoh bid’ah yang diamalkan para sahabat
Marilah kita sekarang rujuk
hadits-hadits Rasulullah saw. mengenai amal kebaikan yang dilakukan oleh para
sahabat Nabi saw. atas prakarsa mereka sendiri, bukan perintah Allah SWT. atau
Nabi saw., dan bagaimana Rasulullah saw. menanggapi masalah itu. Insya Allah
dengan adanya beberapa hadits ini para pembaca cukup jelas bahwa semua hal-hal
yang baru (bid’ah) yang sebelum atau sesudahnya tidak pernah diamalkan,
diajarkan atau diperintah- kan oleh Rasulullah saw. selama hal ini tidak
merubah dan keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at itu adalah boleh
diamalkan apalagi dalam bidang kebaikan itu malah dianjurkan oleh agama dan
mendapat pahala.
Hadits dari Abu Hurairah:
“Rasulullah saw. bertanya pada Bilal ra seusai sholat Shubuh : ‘Hai Bilal,
katakanlah padaku apa yang paling engkau harapkan dari amal yang telah engkau
perbuat, sebab aku mendengar suara terompahmu didalam surga’. Bilal menjawab :
Bagiku amal yang paling kuharapkan ialah aku selalu suci tiap waktu (yakni
selalu dalam keadaan berwudhu) siang-malam sebagaimana aku menunaikan shalat “.
(HR Bukhori, Muslim dan Ahmad bin Hanbal).
Dalam hadits lain yang
diketengahkan oleh Tirmidzi dan disebutnya sebagai hadits hasan dan shohih,
oleh Al-Hakim dan Ad-Dzahabi yang mengakui juga sebagai hadits shohih ialah
Rasulullah saw. meridhoi prakarsa Bilal yang tidak pernah meninggalkan sholat
dua rakaat setelah adzan dan pada tiap saat wudhu’nya batal, dia segera
mengambil air wudhu dan sholat dua raka’at demi karena Allah SWT. (lillah).
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam
kitab Al-Fath mengatakan: Dari hadits tersebut dapat diperoleh pengertian,
bahwa ijtihad menetapkan waktu ibadah diperbolehkan. Apa yang dikatakan oleh
Bilal kepada Rasulullah saw.adalah hasil istinbath (ijtihad)-nya sendiri dan
ternyata dibenarkan oleh beliau saw. (Fathul Bari jilid 111/276).
Hadits lain berasal dari
Khabbab dalam Shahih Bukhori mengenai perbuatan Khabbab shalat dua rakaat
sebagai pernyataan sabar (bela sungkawa) disaat menghadapi orang muslim yang
mati terbunuh. (Fathul Bari jilid 8/313).
Dua hadits tersebut kita
mengetahui jelas, bahwa Bilal dan Khabbab telah menetapkan waktu-waktu ibadah
atas dasar prakarsanya sendiri-sendiri. Rasulullah saw. tidak memerintahkan hal
itu dan tidak pula melakukannya, beliau hanya secara umum menganjurkan supaya
kaum muslimin banyak beribadah. Sekalipun demikian beliau saw. tidak melarang,
bahkan membenarkan prakarsa dua orang sahabat itu.
Hadits riwayat Imam Bukhori
dalam shohihnya II :284, hadits berasal dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi yang
menerangkan bahwa:
“Pada suatu hari aku sesudah
shalat dibelakang Rasulullah saw. Ketika berdiri (I’tidal) sesudah ruku’ beliau
saw. mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’. Salah seorang yang ma’mum
menyusul ucapan beliau itu dengan berdo’a: ‘Rabbana lakal hamdu hamdan
katsiiran thayyiban mubarakan fiihi’ (Ya Tuhan kami, puji syukur
sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya atas limpahan keberkahan-Mu). Setelah
shalat Rasulullah saw. bertanya : ‘Siapa tadi yang berdo’a?’. Orang yang
bersangkutan menjawab: Aku, ya Rasul- Allah. Rasulullah saw. berkata : ‘Aku
melihat lebih dari 30 malaikat ber-rebut ingin mencatat do’a itu lebih dulu’ “.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam
Al-Fath II:287 mengatakan:
‘ Hadits tersebut dijadikan dalil untuk membolehkan
membaca suatu dzikir dalam sholat yang tidak diberi contoh oleh Nabi saw.
(ghair ma’tsur) jika ternyata dzikir tersebut tidak bertolak belakang atau
bertentangan dengan dzikir yang ma’tsur dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad
saw.. Disamping itu, hadits tersebut mengisyaratkan bolehnya mengeraskan suara
bagi makmum selama tidak mengganggu orang yang ada didekatnya…’.
Al-Hafidh dalam Al-Fath
mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan juga diperbolehkannya orang
berdo’a atau berdzikir diwaktu shalat selain dari yang sudah biasa, asalkan
maknanya tidak berlawanan dengan kebiasa- an yang telah ditentukan
(diwajibkan). Juga hadits itu memperbolehkan orang mengeraskan suara diwaktu
shalat dalam batas tidak menimbulkan keberisikan.
Lihat pula kitab Itqan
Ash-Shan’ah Fi Tahqiq untuk mengetahui makna al-bid’ah karangan Imam Muhaddis
Abdullah bin Shiddiq Al-Ghimary untuk mengetahui makna al-bid’ah
Hadits serupa diatas yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik ra. “Seorang dengan terengah-engah
(Hafazahu Al-Nafs) masuk kedalam barisan (shaf). Kemudian dia mengatakan (dalam
sholatnya) al-hamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (segala puji
hanya bagi Allah dengan pujian yang banyak, bagus dan penuh berkah). Setelah
Rasulullah saw. selesai dari sholatnya, beliau bersabda : ‘Siapakah diantara-
mu yang mengatakan beberapa kata (kalimat) (tadi)’ ? Orang-orang diam. Lalu
beliau saw. bertanya lagi: ‘Siapakah diantaramu yang mengatakannya ?
Sesungguhnya dia tidak mengatakan sesuatu yang percuma’. Orang yang datang tadi
berkata: ‘Aku datang sambil terengah-engah (kelelahan) sehingga aku
mengatakannya’. Maka Rasulullah saw. bersabda: ‘Sungguh aku melihat dua belas
malaikat memburunya dengan cepat, siapakah diantara mereka (para malaikat) yang
mengangkatkannya (amalannya ke Hadhirat Allah) “. (Shohih Muslim 1:419 ).
Dalam Kitabut-Tauhid
Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra. yang mengatakan: “Pada
suatu saat Rasulullah saw. menugas- kan seorang dengan beberapa temannya ke
suatu daerah untuk menangkal serangan kaum musyrikin. Tiap sholat berjama’ah,
selaku imam ia selalu membaca Surat Al-Ikhlas di samping Surah lainnya sesudah
Al-Fatihah. Setelah mereka pulang ke Madinah, seorang diantaranya
memberitahukan persoalan itu kepada Rasulullah saw. Beliau saw.menjawab :
‘Tanyakanlah kepadanya apa yang dimaksud’. Atas pertanyaan temannya itu orang
yang bersangkutan menjawab : ‘Karena Surat Al-Ikhlas itu menerangkan sifat
ar-Rahman, dan aku suka sekali membacanya’. Ketika jawaban itu disampaikan
kepada Rasulullah saw. beliau berpesan : ‘Sampaikan kepadanya bahwa Allah
menyukainya’ “.
Apa yang dilakukan oleh
orang tadi tidak pernah dilakukan dan tidak pernah diperintahkan oleh
Rasulullah saw. Itu hanya merupakan prakarsa orang itu sendiri. Sekalipun
begitu Rasulullah saw. tidak mempersalahkan dan tidak pula mencelanya, bahkan
memuji dan meridhoinya dengan ucapan “Allah menyukainya”.
Bukhori dalam Kitabus Sholah
hadits yang serupa diatas dari Anas bin Malik yang menceriterakan bahwa:
“Beberapa orang menunaikan shalat dimasjid Quba. Orang yang mengimami shalat
itu setelah membaca surah Al-Fatihah dan satu surah yang lain selalu menambah
lagi dengan surah Al-Ikhlas. Dan ini dilakukannya setiap rakaat. Setelah shalat
para ma’mum menegurnya: Kenapa anda setelah baca Fatihah dan surah lainnya
selalu menambah dengan surah Al-Ikhlas? Anda kan bisa memilih surah yang lain
dan meninggalkan surah Al-Ikhlas atau membaca surah Al-Ikhlas tanpa membaca
surah yang lain ! Imam tersebut menjawab : Tidak !, aku tidak mau meninggalkan
surah Al-Ikhlas kalau kalian setuju, aku mau mengimami kalian untuk seterusnya
tapi kalau kalian tidak suka aku tidak mau meng- imami kalian. Karena para
ma’mum tidak melihat orang lain yang lebih baik dan utama dari imam tadi mereka
tidak mau diimami oleh orang lain. Setiba di Madinah mereka menemui Rasulullah
saw. dan menceriterakan hal tersebut pada beliau. Kepada imam tersebut
Rasulullah saw. bertanya: ‘Hai, fulan, apa sesungguhnya yang membuatmu tidak
mau menuruti permintaan teman-temanmu dan terus menerus membaca surat Al-Ikhlas
pada setiap rakaat’? Imam tersebut menjawab: ‘Ya Rasulullah, aku sangat
mencintai Surah itu’. Beliau saw. berkata: ‘Kecintaanmu kepada Surah itu akan
memasukkan dirimu ke dalam surga’ “..
Mengenai makna hadits ini
Imam Al-Hafidh dalam kitabnya Al-Fath mengatakan antara lain; ‘Orang itu
berbuat melebihi kebiasaan yang telah ditentukan karena terdorong oleh
kecintaannya kepada surah tersebut. Namun Rasulullah saw. menggembirakan orang
itu dengan pernyataan bahwa ia akan masuk surga. Hal ini menunjukkan bahwa
beliau saw. meridhainya’.
Imam Nashiruddin Ibnul Munir
menjelaskan makna hadits tersebut dengan menegaskan : ‘Niat atau tujuan dapat
mengubah kedudukan hukum suatu perbuatan’. Selanjutnya ia menerangkan;
‘Seumpama orang itu menjawab dengan alasan karena ia tidak hafal Surah yang
lain, mungkin Rasulullah saw. akan menyuruhnya supaya belajar menghafal
Surah-surah selain yang selalu dibacanya berulang-ulang. Akan tetapi karena ia
mengemukakan alasan karena sangat mencintai Surah itu (yakni Al-Ikhlas),
Rasulullah saw. dapat membenarkannya, sebab alasan itu menunjukkan niat baik
dan tujuan yang sehat’.
Lebih jauh Imam Nashiruddin
mengatakan ; ‘Hadits tersebut juga menunjukkan, bahwa orang boleh membaca
berulang-ulang Surah atau ayat-ayat khusus dalam Al-Qur’an menurut kesukaannya.
Kesukaan demikian itu tidak dapat diartikan bahwa orang yang bersangkutan tidak
menyukai seluruh isi Al-Qur’an atau meninggalkannya’.
Menurut kenyataan, baik para
ulama zaman Salaf maupun pada zaman-zaman berikutnya, tidak ada yang mengatakan
perbuatan seperti itu merupa- kan suatu bid’ah sesat, dan tidak ada juga yang
mengatakan bahwa perbuat- an itu merupakan sunnah yang tetap. Sebab sunnah yang
tetap dan wajib dipertahankan serta dipelihara baik-baik ialah sunnah yang
dilakukan dan diperintahkan oleh Rasulullah saw. Sedangkan sunnah-sunnah yang
tidak pernah dijalankan atau diperintahkan oleh Rasulullah saw. bila tidak
keluar dari ketentuan syari’at dan tetap berada didalam kerangka amal kebajikan
yang diminta oleh agama Islam itu boleh diamalkan apalagi dalam persoalan
berdzikir kepada Allah SWT.
Al-Bukhori mengetengahkan
sebuah hadits tentang Fadha’il (keutamaan) Surah Al-Ikhlas berasal dari Sa’id
Al-Khudriy ra. yang mengatakan, bahwa ia mendengar seorang mengulang-ulang
bacaan Qul huwallahu ahad…. Keesokan harinya ia ( Sa’id Al-Khudriy ra)
memberitahukan hal itu kepada Rasulullah saw., dalam keadaan orang yang
dilaporkan itu masih terus mengulang-ulang bacaannya. Menanggapi laporan Sa’id
itu Rasulullah saw.berkata : ‘Demi Allah yang nyawaku berada ditanganNya, itu
sama dengan membaca sepertiga Qur’an’.
Imam Al-Hafidh mengatakan
didalam Al-Fathul-Bari; bahwa orang yang disebut dalam hadits itu ialah Qatadah
bin Nu’man. Hadits tersebut diriwayat- kan oleh Ahmad bin Tharif dari Abu
Sa’id, yang mengatakan, bahwa sepanjang malam Qatadah bin Nu’man terus-menerus
membaca Qul huwallahu ahad, tidak lebih. Mungkin yang mendengar adalah
saudaranya seibu (dari lain ayah), yaitu Abu Sa’id yang tempat tinggalnya
berdekatan sekali dengan Qatadah bin Nu’man. Hadits yang sama diriwayatkan juga
oleh Malik bin Anas, bahwa Abu Sa’id mengatakan: ‘Tetanggaku selalu bersembahyang
di malam hari dan terus-menerus membaca Qul huwallahu ahad’.
Ashabus-Sunan, Imam Ahmad
bin Hanbal dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya meriwayatkan sebuah hadits berasal
dari ayah Abu Buraidah yang menceriterakan kesaksiannya sendiri sebagai
berikut: ‘Pada suatu hari aku bersama Rasulullah saw. masuk kedalam masjid Nabawi
(masjid Madinah). Didalamnya terdapat seorang sedang menunaikan sholat sambil
berdo’a; Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain
Engkau. Engkaulah Al-Ahad, As-Shamad, Lam yalid wa lam yuulad wa lam yakullahu
kufuwan ahad’. Mendengar do’a itu Rasulullah saw. bersabda; ‘Demi Allah yang
nyawaku berada di tangan-Nya, dia mohon kepada Allah dengan Asma-Nya Yang Maha
Besar, yang bila dimintai akan memberi dan bila orang berdo’a kepada-Nya Dia
akan menjawab’.
Tidak diragukan lagi, bahwa
do’a yang mendapat tanggapan sangat meng- gembirakan dari Rasulullah saw. itu
disusun atas dasar prakarsa orang yang berdo’a itu sendiri, bukan do’a yang
diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulullah saw. kepadanya. Karena susunan
do’a itu sesuai dengan ketentu- an syari’at dan bernafaskan tauhid, maka beliau
saw. menanggapinya dengan baik, membenarkan dan meridhoinya.
Hadits dari Ibnu Umar
katanya; “Ketika kami sedang melakukan shalat bersama Nabi saw. ada seorang
lelaki dari yang hadir yang mengucapkan ‘Allahu Akbaru Kabiiran Wal Hamdu
Lillahi Katsiiran Wa Subhaanallahi Bukratan Wa Ashiila’. Setelah selesai
sholatnya, maka Rasulullah saw. bertanya; ‘Siapakah yang mengucapkan
kalimat-kalimat tadi? Jawab sese- orang dari kaum; Wahai Rasulullah, akulah yang
mengucapkan kalimat-kalimat tadi. Sabda beliau saw.; ‘Aku sangat kagum dengan
kalimat-kalimat tadi sesungguhnya langit telah dibuka pintu-pintunya
karenanya’. Kata Ibnu Umar: Sejak aku mendengar ucapan itu dari Nabi saw. maka
aku tidak pernah meninggalkan untuk mengucapkan kalimat-kalimat tadi.” (HR.
Muslim dan Tirmidzi). As-Shan’ani ‘Abdurrazzaq juga mengutipnya dalam
Al-Mushannaf.
Demikianlah bukti yang
berkaitan dengan pembenaran dan keridhaan Rasulullah saw. terhadap
prakarsa-prakarsa baru yang berupa do’a-do’a dan bacaan surah di dalam sholat,
walaupun beliau saw. sendiri tidak pernah melakukannya atau memerintahkannya.
Kemudian Ibnu Umar mengamalkan hal tersebut bukan karena anjuran dari
Rasulullah saw. tapi karena mendengar jawaban beliau saw. mengenai bacaan itu.
Yang lebih mengherankan lagi
ialah ada golongan yang bependapat lebih jauh lagi yaitu menganggap do’a qunut
waktu sholat shubuh sebagai bid’ah. Padahal do’a tersebut berasal dari hadits
Rasulullah saw. sendiri yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i dan
selain mereka dari Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib kw. juga oleh Al Baihaqi
dari Ibnu Abbas.
Sedangkan waktu dan tempat
berdirinya untuk membaca do’a qunut pada waktu sholat Shubuh, ini juga
berdasarkan hadits-hadits yang diketengahkan oleh Anas bin Malik; Awam bin
Hamzah; Abdullah bin Ma’qil; Barra’ (ra) yang diriwayatkan oleh sekolompok
huffaz dan mereka juga ikut menshahih-kannya serta para ulama lainnya
diantaranya Hafiz Abu Abdillah Muhammad Ali al-Bakhi, Al Hakim Abu Abdillah,
Imam Muslim, Imam Syafi’i, Imam Baihaqi dan Daraquthni dan lain lain).
Bagaimana mungkin do’a qunut
yang berasal dari Nabi saw. tersebut dikatakan bid’ah sedangkan
tambahan-tambahan kalimat dalam sholat yang tersebut diatas atas prakarsanya
para sahabat sendiri tidak dipersalahkan oleh Nabi saw. malah diridhoi dan
diberi kabar gembira bagi yang membaca nya ?
Hadits dari Abu Sa’id
al-Khudri tentang Ruqyah yakni sistem pengobatan dengan jalan berdo’a kepada
Allah SWT. atau dengan jalan bertabarruk pada ayat-ayat Al-Qur’an. Sekelompok
sahabat Nabi saw. yang sempat singgah pada pemukiman suku arab badui sewaktu mereka
dalam perjalanan. Karena sangat lapar mereka minta pada orang-orang suku
tersebut agar bersedia untuk menjamu mereka. Tapi permintaan ini ditolak. Pada
saat itu kepala suku arab badui itu disengat binatang berbisa sehingga tidak
dapat jalan. Karena tidak ada orang dari suku tersebut yang bisa mengobatinya,
akhirnya mereka mendekati sahabat
Nabi seraya berkata: Siapa
diantara kalian yang bisa mengobati kepala suku kami yang disengat binatang
berbisa? Salah seorang sahabat sanggup menyembuhkannya tapi dengan syarat suku
badui mau memberikan makanan pada mereka. Hal ini disetujui oleh suku badui
tersebut. Maka sahabat Nabi itu segera mendatangi kepala suku lalu
membacakannya surah al-Fatihah, seketika itu juga dia sembuh dan langsung bisa
berjalan. Maka segeralah diberikan pada para sahabat beberapa ekor kambing
sesuai dengan perjanjian. Para sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum
menghadap Rasulullah saw. Setiba dihadapan Rasulullah saw., mereka
menceriterakan apa yang telah mereka lakukan terhadap kepala suku itu.
Rasulullah saw. bertanya ; ‘Bagaimana engkau tahu bahwa surah al-Fatihah itu
dapat menyembuhkan’? Rasulullah saw. membenarkan mereka dan ikut memakan
sebagian dari daging kambing tersebut “. (HR.Bukhori)
Abu Daud, At-Tirmudzi dan
An-Nasa’i mengetengahkan sebuah riwayat hadits berasal dari paman Kharijah bin
Shilt yang mengatakan; “Pada suatu hari ia melihat banyak orang bergerombol dan
ditengah-tengah mereka terdapat seorang gila dalam keadaan terikat dengan
rantai besi. Kepada paman Kharijah itu mereka berkata: ‘Anda tampaknya datang
membawa kebajikan dari orang itu (yang dimaksud Rasulullah saw.), tolonglah
sembuhkan orang gila ini’. Paman Kharijah kemudian dengan suara lirih membaca
surat Al-Fatihah, dan ternyata orang gila itu menjadi sembuh”.
(Hadits ini juga
diketengahkan oleh Al-Hafidh didalam Al-Fath)
Masih banyak hadits yang
meriwayatkan amal perbuatan para sahabat atas dasar prakarsa dan ijtihadnya
sendiri yang tidak dijalani serta dianjurkan oleh Rasulullah saw. Semuanya itu
diridhoi oleh Rasulullah saw. dan beliau memberi kabar gembira pada mereka.
Amalan-amalan tersebut juga tidak diperintah atau dianjurkan oleh Rasulullah
saw. sebelum atau sesudahnya. Karena semua itu bertujuan baik, tidak melanggar
syariát maka oleh Nabi saw. diridhoi dan mereka diberi kabar gembira.
Perbuatan-perbuatan tersebut dalam pandangan syari’at dinamakan sunnah
mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil
ijtihad. Dengan demikian hadits-hadits diatas bisa dijadikan dalil untuk setiap
amal kebaik- an selama tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at
Islam itu mustahab/baik hukumnya, apalagi masalah tersebut bermanfaat bagi
masyarakat muslim khususnya malah dianjurkan oleh agama.
Kalau kita teliti
hadits-hadits diatas tersebut banyak yang berkaitan dengan masalah shalat yaitu
suatu ibadah pokok dan terpenting dalam Islam. Sebagaimana Rasulullah saw.
telah bersabda :
صَلُُوْا
كَمَا رَأيْتُمُوْنِي أصَلِي (رواه البخاري
‘Hendaklah kamu sholat
sebagaimana kalian melihat aku sholat’. (HR Bukhori).
Sekalipun demikian beliau
saw. dapat membenarkan dan meridhoi tambahan tambahan tertentu yang berupa do’a
dan bacaan surah atas prakarsa mereka itu. Karena beliau saw. memandang do’a
dan bacaan surah tersebut diatas tidak keluar dari batas-batas yang telah
ditentukan oleh syari’at dan juga bernafaskan tauhid. Bila ijtihad dan amalan
para sahabat itu melanggar dan merubah hukum-hukum yang telah ditentukan oleh
syari’at, pasti akan ditegur dan dilarang oleh Rasulullah saw.
Mungkin ada orang yang
bertanya-tanya lagi; Bagaimanakah pendapat orang tentang penetapan sesuatu yang
disebut sunnah atau mustahab, yaitu penetapan yang dilakukan oleh masyarakat
muslimin pada abad pertama Hijriyah, padahal apa yang dikatakan sunnah atau
mustahab itu tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.?
Memang benar, bahwa
masyarakat yang hidup pada zaman abad pertama Hijriyah dan generasi berikutnya,
banyak menetapkan hal-hal yang bersifat mustahab dan baik. Pada masa itu banyak
sekali para ulama yang menurut kesanggupannya masing-masing dalam menguasai
ilmu pengetahuan, giat melakukan ijtihad (studi mendalam untuk mengambil
kesimpulan hukum) dan menetapkan suatu cara yang dipandang baik atau mustahab.
Untuk menerangkan hal ini
baiklah kita ambil contoh yang paling mudah dipahami dan yang pada umumnya
telah dimengerti oleh kaum muslimin, yaitu soal kodifikasi (pengitaban)
ayat-ayat suci Al-Qur’an, sebagaimana yang telah kita kenal sekarang ini. Para
sahabat Nabi saw. sendiri pada masa-masa sepeninggal beliau saw. berpendapat
bahwa pengkodifikasian ayat-ayat suci Al-Qur’an adalah bid’ah sayyiah. Mereka
khawatir kalau-kalau pengkodifikasian itu akan mengakibatkan rusaknya kemurnian
agama Allah SWT., Islam. ‘Umar bin Khattab ra. sendiri sampai merasa takut
kalau-kalau dikemudian hari ayat-ayat Al-Qur’an akan lenyap karena wafatnya
para sahabat Nabi saw. yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an.
Ia mengemukakan
kekhawatirannya itu kepada Khalifah Abu Bakra ra. dan mengusulkan supaya
Khalifah memerintahkan pengitaban ayat-ayat Al-Qur’an. Tetapi ketika itu
Khalifah Abu Bakar menolak usul ‘Umar dan berkata kepada ‘Umar; Bagaimana
mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.? ‘Umar
bin Khattab ra. menjawab; Itu merupakan hal yang baik. Namun, tidak berapa lama
kemudian Allah SWT. membukakan pikiran Khalifah Abu Bakar ra seperti yang
dibukakan lebih dulu pada pikiran ‘Umar bin Khattab ra, dan akhirnya
bersepakatlah dua orang sahabat Nabi itu untuk mengitabkaan ayat-ayat
Al-Qur’an. Khalifah Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan diperintahkan
supaya melaksana- kan pengitabatan ayat-ayat Al-Qur’an itu. Zaid bin Tsabit ra.
juga menjawab kepada Abu Bakar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang
tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.? Abu Bakar menjawab kepadanya; Itu
pekerjaan yang baik! Untuk lebih detail keterangannya silahkan membaca riwayat
hadits ini yang dikemukakan oleh Imam Bukhori dalam Shohih-nya juz 4 halaman
243 mengenai pembukuan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Jelaslah sudah, baik Abu
Bakar, ‘Umar maupun Zaid bin Tsabit [ra] pada masa itu telah melakukan suatu
cara yang tidak pernah dikenal pada waktu Rasulullah saw. masih hidup. Bahkan
sebelum melakukan pengitaban Al-Qur’an itu Khalifah Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit
sendiri masing-masing telah menolak lebih dulu, tetapi akhirnya mereka
dibukakan dadanya oleh Allah saw. sehingga dapat menyetujui dan menerima baik
prakarsa ‘Umar bin Khattab ra. Demikianlah contoh suatu amalan yang tidak
pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.
Secara umum bid’ah adalah
sesat karena berada diluar perintah Allah SWT. dan Rasul-Nya. Akan tetapi
banyak kenyataan membuktikan, bahwa Nabi saw. membenarkan dan meridhoi banyak
persoalan yang telah kami kemuka kan yang berada diluar perintah Allah dan
perintah beliau saw. Hadits-hadits diatas itu mengisyaratkan adanya bid’ah
hasanah, karena Rasulullah saw. membenarkan serta meridhoi atas kata-kata
tambahan dalam sholat dan semua bentuk kebajikan yang diamalkan para sahabat
walaupun Nabi saw. belum menetapkan atau memerintahkan amalan-amalan tersebut.
Begitu juga prakarsa para sahabat diatas setelah wafatnya beliau saw.
Darisini kita bisa ambil
kesimpulan bahwa semua bentuk amalan-amalan, baik itu dijalankan atau tidak
pada masa Rasulullah saw. atau zaman dahulu setelah zaman Nabi saw. yang tidak
melanggar syariát serta mempunyai tujuan dan niat mendekatkan diri untuk
mendapatkan ridha Allah SWT. dan untuk mengingatkan (dzikir) kita semua pada
Allah serta Rasul-Nya itu adalah bagian dari agama dan dapat diterima.
Sebagaimana hadits
Rasulullah saw.:
اِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالْنـِّيَّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى, فَمَنْ كَانَتْ
هجْرَتُهُ
الَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ (رواه البخاري
‘Sesungguhnya segala
perbuatan tergantung kepada niat, dan setiap manusia akan mendapat sekadar apa
yang diniatkan, siapa yang hijrahnya (tujuannya) karena Allah dan Rasul-Nya,
hijrahnya itu adalah karena Allah dan Rasul-Nya (berhasil)’. (HR. Bukhori).
Sekiranya orang-orang yang
gemar melontarkan tuduhan bid’ah dapat memahami hikmah apa yang ada pada sikap
Rasulullah saw. dalam meng- hadapi amal kebajikan yang dilakukan oleh para
sahabatnya sebagaimana yang telah kami kemukakan dalil-dalil haditsnya tentu
mereka mau dan akan menghargai orang lain yang tidak sependapat atau sepaham
dengan mereka.
Tetapi sayangnya golongan
pengingkar ini tetap sering mencela dan mensesatkan para ulama yang tidak
sepaham dengannya. Mereka ini malah mengatakan; ‘Bahwa para ulama dan Imam yang
memilah-milahkan bid’ah menjadi beberapa jenis telah membuka pintu
selebar-lebarnya bagi kaum Muslim untuk berbuat segala macam bid’ah ! Kemudian
mereka ini tanpa pengertian yang benar mengatakan, bahwa semua bid’ah adalah
dhalalah (sesat) dan sesat didalam neraka!”. Saya berlindung pada Allah SWT.
atas pemahaman mereka semacam ini.
Dalil-dalil yang membantah
dan jawabannya
Hanya orang-orang egois,
fanatik dan mau menangnya sendiri sajalah yang mengingkari hal tersebut.
Seperti yang telah kemukakan sebelum ini bahwa golongan pengingkar ini selalu
menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah secara tekstual oleh karenanya sering mencela
semua amalan yang tidak sesuai dengan paham mereka.
Misalnya, mereka melarang
semua bentuk bid’ah dengan berdalil hadits Rasulullah saw. berikut ini :
كُلُّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةُ
“Setiap yang diada-adakan
(muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’.
Juga hadits Nabi saw.:
مَنْ
أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
(رواه البخاري و مسلم)
‘Barangsiapa yang didalam
agama kami mengadakan sesuatu yang tidak dari agama ia tertolak’.
Hadits-hadits tersebut oleh
mereka dipandang sebagai pengkhususan hadits Kullu bid’atin dhalalah yang
bersifat umum, karena terdapat penegasan dalam hadits tersebut, yang tidak dari
agama ia tertolak, yakni dholalah/ sesat. Dengan adanya kata Kullu
(setiap/semua) pada hadits diatas ini tersebut mereka menetapkan apa saja yang
terjadi setelah zaman Rasul- Allah saw. serta sebelumnya tidak pernah
dikerjakan oleh Rasulullah saw. adalah bi’dah dholalah.
Mereka tidak memandang
apakah hal yang baru itu membawa maslahat/kebaikan dan termasuk yang
dikehendaki oleh agama atau tidak. Mereka juga tidak mau meneliti dan membaca
contoh-contoh hadits diatas mengenai prakarsa para sahabat yang menambahkan
bacaan-bacaan dalam sholat yang mana sebelum dan sesudahnya tidak pernah
diperintahkan Rasulullah saw. Mereka juga tidak mau mengerti bahwa memperbanyak
kebaikan adalah kebaikan. Jika ilmu agama sedangkal itu orang tidak perlu
bersusah-payah memperoleh kebaikan.
Ada lagi kaidah yang
dipegang dan sering dipakai oleh golongan pengingkar dan pelontar
tuduhan-tuduhan bid’ah mengenai suatu amalan, adalah kata-kata sebagai berikut:
“Rasulullah saw. tidak
pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya tidak ada
satupun diantara mereka yang mengerja- kannya. Demikian pula para tabi’in dan
tabi’ut-tabi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, mengapa hal itu tidak
dilakukan oleh Rasulullah, sahabat dan para tabi’in?”
Atau ucapan mereka : “Kita
kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi yakni mengikuti segala
perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang
melakukannya..? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak
pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat, ulama-ulama salaf..? Karena melakukan
sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah bid’ah”.
Kaidah-kaidah seperti itulah
yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai perlindungan oleh golongan
pengingkar ini juga sering mereka jadikan sebagai dalil/hujjah untuk
melegitimasi tuduhan bid’ah mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru
termasuk tahlilan, peringatan Maulid Nabi saw. dan sebagainya. Terhadap semua
ini mereka langsung menghukumnya dengan ‘sesat, haram, mungkar, syirik dan
sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan
penelitian terhadap hukum-hukum pokok/asal agama.
Ucapan mereka seperti diatas
ini adalah ucapan yang awalnya haq/benar namun akhirnya batil atau awalnya
shohih namun akhirnya fasid. Yang benar adalah keadaan Nabi saw. atau para
sahabat yang tidak pernah mengamal- kannya (umpamanya; berkumpul untuk
tahlilan, peringatan keagamaan dan lain sebagainya). Sedangkan yang batil/salah
atau fasid adalah penghukum- an mereka terhadap semua perbuatan amalan yang
baru itu dengan hukum haram, sesat, syirik, mungkar dan sebagainya.
Yang demikian itu karena
Nabi saw. atau salafus sholih yang tidak mengerja- kan satu perbuatan bukanlah
termasuk dalil, bahkan penghukuman dengan berdasarkan kaidah diatas tersebut
adalah penghukuman tanpa dalil/nash. Dalil untuk mengharamkan sesuatu perbuatan
haruslah menggunakan nash yang jelas, baik itu dari Al-Qur’an maupun hadits
yang melarang dan mengingkari perbuatan tersebut. Jadi tidak bisa suatu perbuatan
diharam- kan hanya karena Nabi saw. atau salafus sholih tidak pernah
melakukannya.
Telitilah lagi hadits-hadits
diatas yakni amalan-amalan bid’ah para sahabat yang belum pernah dikerjakan
atau diperintahkan oleh Rasulullah saw. dan bagaimana Rasulullah saw.
menanggapinya. Penanggapan Rasul- Allah saw. inilah yang harus kita contoh !
Demikian pula para ulama
mengatakan’ bahwa amalan ibadah itu bila tidak ada keterangan yang valid dari
Rasulullah saw., maka amalan itu tidak boleh dinisbahkan kepada beliau saw. !!
Jelas disini para ulama
tidak mengatakan bahwa suatu amalan ibadah tidak boleh diamalkan karena tidak
ada keterangan dari beliau saw., mereka hanya mengatakan amalan itu tidak boleh
dinisbahkan kepada Rasulullah saw. bila tidak ada dalil dari beliau saw. !
Kalau kita teliti perbedaan
paham setiap ulama atau setiap madzhab selalu ada, dan tidak bisa disatukan.
Sebagaimana yang sering kita baca dikitab-kitab fiqih para ulama pakar yaitu
Satu hadits bisa dishohihkan oleh sebagian ulama pakar dan hadits yang sama ini
bisa dilemahkan atau dipalsukan oleh ulama pakar lainnya. Kedua kelompok ulama
ini sama-sama ber- pedoman kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. tetapi
berbeda cara penguraiannya.
Tidak lain semuanya, karena
status keshahihan itu masih bersifat subjektif kepada yang mengatakannya. Dari
sini saja kita sudah bisa ambil kesimpul an; Kalau hukum atas derajat suatu
hadits itu masih berbeda-beda diantara para ulama, tentu saja ketika para ulama
mengambil kesimpulan apakah suatu amal itu merupakan sunnah dari Rasulullah
saw. pun berbeda juga !!
Para ulama pun berbeda
pandangan ketika menyimpulkan hasil dari sekian banyak hadits yang berserakan.
Umpamanya mereka berbeda dalam meng- ambil kesimpulan hukum atas suatu amal,
walaupun amal ini disebutkan didalam suatu hadits yang shohih. Para ulama juga
mengenal beberapa macam sunnah yang sumbernya langsung dari Rasulullah saw.,
umpama- nya; Sunnah Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah dan Sunnah Taqriyyah.
Sunnah Qauliyyah ialah
sunnah di mana Rasulullah saw. sendiri menganjur-kan atau mensarankan suatu
amalan, tetapi belum tentu kita mendapatkan dalil bahwa Rasulllah saw. pernah
mengerjakannya secara langsung. Jadi sunnah Qauliyyah ini adalah sunnah
Rasulullah saw. yang dalilnya/riwayat- nya sampai kepada kita bukan dengan cara
dicontohkan, melainkan dengan diucapkan saja oleh beliau saw. Di mana ucapan
itu tidak selalu berbentuk fi’il amr (kata perintah), tetapi bisa saja dalam
bentuk anjuran, janji pahala dan sebagainya.
Contoh sunnah qauliyyah yang
mudah saja: Ada hadits Rasulullah saw. yang menganjurkan orang untuk belajar
berenang, tetapi kita belum pernah mendengar bahwa Rasulullah saw. atau para
sahabat telah belajar atau kursus berenang !!
Sunnah Fi’liyah ialah sunnah
yang ada dalilnya juga dan pernah dilakukan langsung oleh Rasulullah saw.
Misalnya ibadah shalat sunnah seperti shalat istisqa’, puasa sunnah Senin
Kamis, makan dengan tangan kanan dan lain sebagainya. Para shahabat melihat
langsung beliau saw. melakukannya, kemudian meriwayatkannya kepada kita.
Sedangkan Sunnah Taqriyyah
ialah sunnah di mana Rasulullah saw. tidak melakukannya langsung, juga tidak
pernah memerintahkannya dengan lisannya, namun hanya mendiamkannya saja. Sunnah
yang terakhir ini seringkali disebut dengan sunnah taqriyyah. Contohnya ialah
beberapa amalan para sahabat yang telah kami kemukakan sebelumnya.
Begitu juga dengan
amalan-amalan ibadah yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw. atau
para sahabatnya, tetapi diamalkan oleh para ulama salaf (ulama terdahulu) atau
ulama khalaf (ulama belakangan) misalnya mengadakan majlis maulidin Nabi saw.,
majlis tahlilan/ yasinan dan lain sebagainya (baca keterangannya pada bab
Maulid Nabi saw.dan bab Ziarah kubur). Tidak lain para ulama yang mengamalkan
ini mengambil dalil-dalil baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasulullah saw. yang
menganjurkan agar manusia selalu berbuat kebaikan atau dalil-dalil tentang
pahala-pahala bacaan dan amalan ibadah lainnya. Berbuat kebaikan ini banyak
macam dan caranya semuanya mustahab asalkan tidak tidak bertentangan dengan apa
yang telah digariskan oleh syari’at.
Apalagi didalam
majlis-majlis (maulidin-Nabi, tahlilan/yasinan, Istighotsah) yang sering
diteror oleh golongan tertentu, disitu sering didengungkan kalimat Tauhid,
Tasbih, Takbir dan Sholawat kepada Rasulullah saw. yang semuanya itu dianjurkan
oleh Allah SWT. dan Rasul-Nya. Semuanya ini mendekatkan/taqarrub kita kepada
Allah SWT.!!
Mari kita rujuk ayat
al-Qur’an:
وَمَا
اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
‘Apa saja yang didatangkan
oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang
daripadanya, maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7).
Dalam ayat ini jelas bahwa
perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu itu adalah apabila telah tegas dan
jelas larangannya dari Rasulullah saw. !
Dalam ayat diatas ini tidak
dikatakan :
وَماَلَمْ
يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
‘Dan apa saja yang tidak
pernah dikerjakannya (oleh Rasulullah), maka berhentilah (mengerjakannya)’.
Juga dalam hadits Nabi saw.
yang diriwayatkan oleh Bukhori:
فَاجْتَنِبُوْهُ
اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا
نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ
‘Jika aku menyuruhmu
melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu melakukan
sesuatu, maka jauhilah dia !‘
Dalam hadits ini Rasulullah
saw. tidak mengatakan:
وَاِذَا
لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
‘Dan apabila sesuatu itu
tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia!’
Jadi pemahaman golongan yang
melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil dua hadits yang telah kami
kemukakan Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah… dan hadits Barangsiapa
yang didalam agama… adalah tidak benar, karena adanya beberapa keterangan dari
Rasulullah saw. didalam hadits-hadits yang lain dimana beliau merestui banyak
perkara yang merupakan prakarsa para sahabat sedangkan beliau saw. sendiri
tidak pernah melakukan apalagi memerintahkan. Maka para ulama menarik
kesimpulan bahwa bid’ah (prakarsa) yang dianggap sesat ialah yang
mensyari’atkan sebagian dari agama yang tidak diizinkan Allah SWT. (QS
Asy-Syura :21) serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah
digariskan oleh syari’at Islam baik dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah
saw., contohnya yang mudah ialah:
Sengaja sholat tidak
menghadap kearah kiblat, Shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir
; Melakukan sholat dengan satu sujud saja; Melaku kan sholat Shubuh dengan
sengaja sebanyak tiga raka’at dan lain sebagai- nya. Semuanya ini dilarang oleh
agama karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna hadits Rasulullah saw.
diatas yang mengatakan, mengada-adakan sesuatu itu…. adalah masalah pokok-pokok
agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh
dirubah atau ditambah. Saya ambil perumpamaan lagi yang mudah saja, ada orang
mengatakan bahwa sholat wajib itu setiap harinya dua kali, padahal agama
menetapkan lima kali sehari. Atau orang yang sanggup tidak berhalangan karena
sakit, musafir dan lain-lain berpuasa wajib pada bulan Ramadhan mengatakan
bahwa kita tidak perlu puasa pada bulan tersebut tapi bisa diganti dengan puasa
pada bulan apapun saja. Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan
agama. Jadi bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak
termasuk pokok agama.
Telitilah isi hadits Qudsi
berikut ini yang diriwayatkan Bukhori dari Abu Hurairah :
…… وَمَا
تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْئٍ أحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا افْتَرَطْتُ عَلَيْهِ,
وَمَا
يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ أِلَيَّ بِالنّـَوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا
أحْبَبْتهُ كُنْتُ سَمْـعَهُ الَّذِي يَسمَعُ بِهِ
وَبَصَرَهُ
اَلَّذِي يُبْصِرُبِهِ, وَيَدَهُ اَلَّتِي يَبْـطِشُ بِهَا وَرِجْلـَهُ اَلَّتِي
يَمْشِي بِهَا
وَاِنْ
سَألَنِي لاُعْطَيْنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَـاذَنِي لاُعِيْذَنَّهُ.
(رواه البخاري)
“…. HambaKu yang mendekatkan
diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih Ku sukai daripada yang telah Kuwajibkan
kepadanya, dan selagi hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan nawafil
(amalan-amalan atau sholat sunnah) sehingga Aku mencintainya, maka jika Aku
telah mencintainya. Akulah yang menjadi pendengarannya dan dengan itu ia
mendengar, Akulah yang menjadi penglihatannya dan dengan itu ia melihat, dan
Aku yang menjadi tangannya dengan itu ia memukul (musuh), dan Aku juga menjadi
kakinya dan dengan itu ia berjalan. Bila ia mohon kepadaKu itu pasti Kuberi dan
bila ia mohon perlindungan kepadaKu ia pasti Ku lindungi”.
Dalam hadits qudsi ini Allah
SWT. mencintai orang-orang yang menambah amalan sunnah disamping amalan
wajibnya.
Mari kita rujuk ayat-ayat
ilahi yang ada kata-kata Kullu yang mana kata ini tidak harus berarti semua/setiap,
tapi bisa berarti khusus untuk beberapa hal saja.
Firman Allah SWT dalam
Al-Kahfi: 79, kisah Nabi Musa as. dengan Khidir (hamba Allah yang sholeh),
sebagai berikut:
“Adapun perahu itu, maka dia
adalah miliknya orang orang miskin yang bermata pencaharian dilautan dan aku
bertujuan merusaknya karena dibelakang mereka terdapat seorang raja yang suka
merampas semua perahu”.
Ayat ini menunjukkan tidak
semua perahu yang akan dirampas oleh raja itu, melainkan perahu yang masih
dalam kondisi baik saja. Oleh karenanya Khidir/seorang hamba yang sholeh
sengaja membocorkan perahu orang-orang miskin itu agar terlihat sebagai perahu
yang cacat/jelek sehingga tidaklah dia ikut dirampas oleh raja itu. Dengan
demikian maka kata safiinah dalam Al-Qur’an itu maknanya adalah safiinah
hasanah atau perahu yang baik. Ini berarti safiinah diayat ini tidak bersifat
umum dalam arti tidak semua safiinah/perahu yang akan dirampas oleh raja
melainkan safiinah hasanah saja walaupun didalam ayat itu disebut Kullu
safiinah (semua/setiap perahu).
Dalam surat Al-Ahqaf ayat 25
Allah SWT.berfirman : “Angin taufan itu telah menghancurkan segala sesuatu atas
perintah Tuhannya”. Namun demikian keumuman pada ayat diatas ini tidak terpakai
karena pada saat itu gunung-gunung, langit dan bumi tidak ikut hancur.
Dalam surat An-Naml ayat 23
Allah SWT.berfirman : “Ratu Balqis itu telah diberikan segala sesuatu”.
Keumuman pada ayat ini juga tidak terpakai karena Ratu Balqis tidak diberi
singgasana dan kekuasaan seperti yang diberikan kepada Nabi Sulaiman as.
Dalam surat Thoha ayat 15
Allah SWT. berfirman : “Agar setiap manusia menerima balasan atas apa yang
telah diusahakannya”. Kalimat ‘apa yang telah diusahakannya’ mencakup semua
amal baik yang hasanah (baik) maupun yang sayyiah (jelek). Namun demikian amal yang
sayyiah yang telah diampuni oleh Allah SWT. tidaklah termasuk yang akan
memperoleh balasannya (siksa).
Dalam surat Aali ‘Imran :
173 Allah SWT. berfirman mengenai suatu peristiwa dalam perang Uhud :
“Kepada mereka (kaum
Muslimin) ada yang mengatakan bahwa semua orang (di Mekkah) telah mengumpulkan
pasukan untuk menyerang….” Yang dimaksud semua orang (an-naas) dalam ayat ini
tidak bermakna secara harfiahnya, tetapi hanya untuk kaum musyrikin Quraisy di
Mekkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb yang memerangi Rasulullah saw.
dan kaum Muslimin didaratan tinggi Uhud, jadi bukan semua orang Mekkah atau
semua orang Arab.
Dalam surat Al-Anbiya : 98 :
“Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Alah adalah umpan neraka
jahannam..”. Ayat ini sama sekali tidak boleh ditafsirkan bahwa Nabi ‘Isa as
dan bundanya yang dipertuhankan oleh kaum Nasrani akan menajdi umpan neraka.
Begitu juga para malaikat yang oleh kaum musyrikin lainnya dianggap sebagai
tuhan-tuhan mereka.
Dalam surat Aali ‘Imran : 159
: “Ajaklah mereka bermusyawarah dalam suatu urusan…”. Kalimat dalam suatu
urusan (fil amri) tidak bermakna semua urusan termasuk urusan agama dan urusan
akhirat , tidak ! Yang dimaksud urusan dalam hal ini ialah urusan duniawi.
Allah SWT. tidak memerintahkan Rasul-Nya supaya memusyawarahkan soal-soal
keagamaan atau keukhrawian dengan para sahabatnya atau dengan ummatnya.
Dalam surat Al-An’am : 44 :
‘Kami bukakan bagi mereka pintu segala sesuatu’. Akan tetapi pengertian ayat
ini terkait, Allah tidak membukakan pintu rahmat bagi mereka (orang-orang kafir
durhaka). Kalimat segala sesuatu adalah umum, tetapi kalimat itu bermaksud
khusus.
Dalam surat Al-Isra : 70 :
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam….dan seterusnya “. Firman
Allah ini bersifat umum, sebab Allah SWT. juga telah berfirman, bahwa ada
manusia-manusia yang mempunyai hati tetapi tidak memahami ayat-ayat Allah, mempunyai
mata tetapi tidak menggunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan
mempunyai telinga tetapi tidak menggunakannya untuk mendengarkan firman-firman
Allah; mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi
(QS.Al-A’raf : 179).
Jadi jelaslah, bahwa secara
umum manusia adalah makhluk yang mulia, tetapi secara khusus banyak manusia
yang setaraf dengan binatang ternak, bahkan lebih sesat. Masih banyak lagi
ayat-ayat Ilahi yang walaupun didalamnya terdapat keumuman namun ternyata keumumannya
itu tidak terpakai untuk semua hal atau masalah. !!
Sebuah hadits Nabi saw. yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang menunaikan
sholat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk
neraka”. Hadits ini bersifat umum, tidak dapat diartikan secara harfiah. Yang
dimaksud oleh hadits tersebut bukan berarti bahwa seorang Muslim cukup dengan
sholat shubuh dan maghrib saja, tidak diwajibkan menunaikan sholat wajib yang
lain seperti dhuhur, ashar dan isya !
Ibnu Hajar mengatakan; ‘
Hadits-hadits shahih yang mengenai satu persoalan2 harus dihubungkan satu sama
lain untuk dapat diketahui dengan jelas maknanya yang muthlak dan yang
muqayyad. Dengan demikian maka semua yang di-isyaratkan oleh hadits-hadits itu
semuanya dapat dilaksana- kan’.
Dalam shohih Bukhori dan
juga dalam Al-Muwattha terdapat penegasan Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa
jasad semua anak Adam akan hancur dimakan tanah. Mengenai itu Ibnu ‘Abdul Birr
rh. dalam At-Tamhid mengatakan: Hadits mengenai itu menurut lahirnya dan
menurut keumuman maknanya adalah, bahwa semua anak Adam sama dalam hal itu.
Akan tetapi dalam hadits yang lain Rasulullah saw. menegaskan pula, bahwa jasad
para Nabi dan para pahlawan syahid tidak akan dimakan tanah (hancur) !
Masih banyak contoh seperti
diatas baik didalam nash Al-Qur’an maupun Hadits. Banyak sekali ayat Ilahi yang
menurut kalimatnya bersifat umum, dan dalam ayat yang lain dikhususkan maksud
dan maknanya, demikian pula banyak terdapat didalam hadits. Begitu banyaknya
sehingga ada sekelompok ulama mengatakan; ‘Hal yang umum hendaknya tidak
diamalkan dulu sebelum dicari kekhususan-kekhususannya’.
Begitu juga halnya dengan
hadits Nabi ‘Kullu bid’ atin dholalah’ walaupun sifatnya umum tapi berdasarkan
dalil hadits lainnya maka disimpulkanlah bahwa tidak semua bid’ah (prakarsa)
itu dholalah/sesat ! Mereka juga lupa yang disebut agama bukan hanya masalah
peribadatan saja. Allah SWT. menetapkan agama Islam bagi umat manusia mencakup
semua perilaku dan segi kehidupan manusia. Yang kesemuanya ini bisa dimasuki
bid’ah baik yang hasanah maupun yang sayyiah/buruk.
Banyak kenyataan
membuktikan, bahwa Rasulullah saw. membenarkan dan meirdhoi macam-macam
perbuatan yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau saw. Silahkan
baca kembali hadits-hadits yang telah kami kemukakan diatas. Bagaimanakah cara
kita memahami semua persoalan itu? Apakah kita berpegang pada satu hadits Nabi
(yakni kalimat: semua bid’ah adalah sesat) diatas dan kita buang ayat ilahi dan
hadits-hadits yang lain yang lebih jelas uraiannya (yang menganjurkan manusia
selalu berbuat kebaikan) ? Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada
semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama. Untuk itu
tidak ada jalan yang lebih tepat daripada yang telah ditunjukkan oleh para imam
dan ulama Fiqih, yaitu sebagaimana yang telah dipecahkan oleh Imam Syafi’i dan
lain-lain.
Insya Allah dengan
keterangan singkat tentang hadits-hadits Rasulullah saw. masalah Bid’ah, akan
bisa membuka pikiran kita untuk mengetahui bid’ah mana yang haram dan bid’ah
yang Hasanah/baik. Untuk lebih lengkapnya keterangan yang saya kutip dalam hal
bid’ah ini, silahkan membaca buku Pembahasan Tuntas Perihal :
Khilafiyah oleh
H.M.H Al-HAMID – AL-HUSAINI.
Sumber : http://kullubidatin.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar