PENYEBARAN Islam di Nusantara, termasuk di pulau Jawa, biasanya digambarkan sebagai penyebaran yang bersifat damai. Dengan kata lain, Islam tersebar di wilayah ini tanpa melalui peperangan sebagaimana yang terjadi di Timur Tengah, Afrika Utara, Eropa, dan Asia Tengah. Penyebaran yang damai ini dilihat oleh sebagian orang sebagai hal yang positif, karena membantu terbentuknya karakteristik Islam yang cenderung damai dan toleran. Tapi ada juga yang melihatnya sebagai kelemahan. Pola dakwahnya yang cenderung kurang tegas dalam aspek aqidah dianggap telah menyebabkan banyaknya percampuran nilai-nilai lokal yang tidak Islami dengan nilai-nilai dan praktek agama Islam.
Penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya memang dilakukan oleh para pedagang Muslim yang melakukan aktivitas perdagangan hingga ke wilayah ini. Karena mereka bukan merupakan ulama atau dai yang mengkhususkan diri untuk menyebarkan Islam, maka perkembangan Islam di Nusantara pada awalnya juga berlangsung relatif lambat. Walaupunpara pedagang dari Timur Tengah telah melalui Selat Melaka sejak sebelum munculnya Islam di Jazirah Arab, Islam tersebar di Nusantara dalam waktu yang relatif lambat. Hal ini disebabkan faktor jarak yang jauh antara pusat pertumbuhan Islam di Jazirah Arab dengan wilayah Nusantara. Sebagaimana Geoffrey Blainey menggambarkan betapa tirani jarak (tyranny of distance) telah membentuk sejarah negerinya, Australia, tirani jarak juga sebetulnya ikut membentuk sejarah perkembangan Islam di Nusantara.
Terlepas dari jarak yang jauh dan lambatnya perkembangan Islam di Nusantara, secara bertahap dan pasti pengaruh agama ini semakin kuat dan meluas di Nusantara. Keberadaan para pedagang Muslim diterima dengan baik oleh para penguasa dan masyarakat kerajaan Hindu-Budha di Nusantara. Sejak abad ke-7 pesisir Sumatera telah memiliki sebuah pemukiman Arab Muslim, dan sebagian dari pedagang ini melakukan pernikahan dengan perempuan-perempuan setempat (Azra, 1994: 29). Seiring dengan semakin berkembangnya komunitas Muslim di wilayah ini, pada gilirannya muncul dan berkembang juga kerajaan Islam di Sumatera.
Pola yang hampir sama berlangsung juga di Pulau Jawa, walaupun dalam waktu yang lebih lambat dibandingkan dengan Sumatera. Daya tarik perdagangan dan interaksi dengan para pedagang Muslim dari luar mendorong para penguasa kota-kota kecil di pesisir Jawa masuk Islam dan mengarahkan rakyatnya untuk melakukan hal yang sama (Taylor, 2005: 157-8). Di Pulau Jawa, wilayah pesisir yang merupakan simpul-simpul perdagangan regional dan internasional menjadi wilayah yang paling kuat dan menonjol Islamnya (Bosquet, 1940: 1).
Perkembangan Islam menjadi semakin kuat dengan datangnya para ulama dan dai yang mengkhususkan diri dalam penyebaran Islam. Kebanyakan ulama dan dai ‘profesional’ yang datang ke Nusantara ini adalah dari kalangan penganut tasawuf. Para dai ‘profesional’ ini datang ke Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13. Kedatangan orang-orang yang mengkhususkan diri dalam penyebaran Islam ini menyebabkan proses Islamisasi di Nusantara mengalami percepatan yang signifikan antara abad ke-12 dan ke-16 (Azra, 1994: 31). Penyebaran Islam yang semakin pesat serta kemunduran yang dialami oleh kerajaan-kerajaan Hindu-Budha pada gilirannya mendorong terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam lokal. Beberapa waktu kemudian, kerajaan-kerajaan Islam berkembang semakin pesat, sementara kerajaan-kerajaan Hindu-Budha terus mengalami kemunduran dan akhirnya lenyap dari sebagian besar wilayah Nusantara.
Bersamaan dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam, penyebaran Islam di Nusantara memasuki fase baru, yaitu politik dan militer. Walaupun aktivitas militer atau jihad berjalan beriringan dengan, dan barangkali tidak lebih dominan dibandingkan, penyebaran melalui dakwah dan pengajaran, aktivitas ini memiliki peranan yang cukup penting untuk diperhatikan. H.J. de Graaf menyebutkan bahwa penyebaran Islam di Nusantara terjadi melalui tiga cara yang berlangsung secara kronologis. Yang pertama adalah penyebaran melalui perdagangan (by the course of peaceful trade). Yang kedua melalui dakwah para dai dan kaum sufi (by preachers and holy men). Yang ketiga melalui kekuatan dan peperangan (by force and the waging of war) (de Graaf, 1970: 123-4)
Untuk kasus di Jawa misalnya, penyebaran Islam melalui kekuatan militer telah terjadi sejak awal keberadaan kerajaan Islam di wilayah itu, dalam hal ini Kerajaan Demak.
Hal ini terjadi kurang lebih pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16. Namun cara-cara militer ini tidak dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat penyebaran Islam, melainkan karena adanya ancaman dari kerajaan lain. Pada masa itu, Kerajaan Padjadjaran yang menganut Hindu berusaha menghalangi penyebaran Islam di wilayahnya dengan cara membatasi para pedagang Muslim yang datang ke kota-kota pelabuhan yang dikuasainya. Selain itu, Padjadjaran juga berusaha menjalin kerjasama dengan pihak Portugis yang sejak tahun 1511 telah menguasai wilayah Malaka. Dalam salah satu perjanjiannya, Kerajaan Padjadjaran berjanji memberi bantuan lada setiap tahunnya kepada Portugis dan memberi mereka ijin untuk membangun sebuah benteng di wilayah kerajaannya. Sebagai imbalannya, Portugis diminta membantu Padjadjaran secara militer jika yang terakhir ini mendapat serangan dari Kerajaan Demak atau yang lainnya.
Adanya perjanjian ini dilihat oleh Demak sebagai sesuatu yang akan membahayakan eksistensi Islam di Jawa dan Nusantara. Mereka sudah melihat apa yang telah dilakukan Portugis terhadap Kerajaan Malaka. Karenanya Demak tidak ingin hal yang sama juga terjadi di Pulau Jawa. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Demak memutuskan untuk mengambil alih pesisir Utara Padjadjaran. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan pembatasan terhadap para pedagang Muslim yang hendak berniaga di sana dan juga untuk menutup peluang masuknya Portugis ke wilayah itu.
Pada tahun 1524-1525, Sultan Demak, Trenggana, mengutus Sunan Gunung Jati dengan membawa pasukan menuju ke wilayah Banten yang ketika itu merupakan wilayah bawahan Padjadjaran. Penguasa Banten ternyata menerima kedatangan Sunan Gunung Jati dan membantu proses Islamisasi di wilayah itu. Pada tahun berikutnya Banten menjadi kerajaan bawahan Demak.
Langkah selanjutnya yang diambil adalah usaha menaklukkan pelabuhan Sunda Kelapa. Pelabuhan ini merupakan pelabuhan yang paling menonjol di wilayah kekuasaan Padjadjaran pada masa itu. Serangan terhadap Sunda Kelapa dilakukan pada tahun 1527 di bawah kepemimpinan Fatahilah yang merupakan menantu Sunan Gunung Jati. Bersama sejumlah hampir 1.500 tentara, Fatahilah berhasil merebut kota pelabuhan itu dari tangan Padjadjaran. Sejak itu, nama Sunda Kelapa berganti menjadi Jayakarta yang merupakan cikal bakal kota Jakarta (Zakaria, 2010: 34-40).
Sejarah di atas menjelaskan beberapa hal kepada kita. Jihad dan tindakan militer tidak hanya berlaku pada proses penyebaran Islam di Nusantara, tetapi juga secara langsung melibatkan tokoh ulama dan wali yang menonjol. Peran Sunan Gunung Jati dan menantunya dalam pembebasan Banten dan Sunda Kelapa menjadi contoh yang nyata untuk ini. Walaupun para wali dan ahli tasawuf biasanya lebih banyak dihubungkan dengan dunia ibadah dan akhlak, ternyata hal itu tidak menghalangi mereka dari aktivitas politik dan militer.
Bagaimanapun, perlu juga disadari bahwa jihad dan aktivitas militer tidak serta merta dilakukan oleh para pemimpin Muslim pada masa itu. Walaupun syariat jihad telah ada dalam Islam sejak lebih dari delapan abad sebelumnya, komunitas Muslim tidak melakukan agresi militer atau sikap memerangi terhadap pihak yang memusuhi melainkan setelah adanya kondisi tertentu. Mereka mengambil langkah itu ketika keadaan menuntut mereka untuk melakukannya, yaitu adanya bahaya yang mengancam eksistensi mereka. Selain itu, peranan militer baru dilakukan ketika sudah adanya suatu kerajaan Islam dan kerajaan tersebut memiliki perimbangan kekuatan dengan kerajaan lain yang mengancamnya. Jadi hal tersebut tidak dilakukan secara sporadis tanpa mempertimbangkan peta kekuatan yang ada serta tuntutan untuk melakukannya.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa Islam telah berkembang dengan pesat di Nusantara melalui tahap pembentukan kekuatan ekonomi, pembangunan kekuatan spiritual dan keilmuan, dan pada akhirnya perwujudan kekuasaan politik dan jihad (militer). Namun tampaknya pada masa-masa belakangan ini, dua aspek yang awal, yaitu kekuatan ekonomi dan spiritual, cenderung diabaikan oleh masyarakat Muslim di Nusantara. Yang menjadi perhatian utama tinggal yang terakhir saja. Itu pun mungkin tanpa diiringi dengan pengertian yang tepat serta strategi yang jitu. Wallahu a’lam.*/Kuala Lumpur, 12 Jumadil Akhir 1432/ 15 Mei 2011 .
Oleh: Alwi Alatas
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, kini sedang mengambil program doktoral bidang sejarah di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII, Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung:
Mizan. 1994.
Bousquet, G.H. A French view of the Netherlands Indies. London: Oxford University
Press. 1940
de Graaf, H.J. “South-East Asian Islam to the eighteenth century,” dalam P.M. Holt, Ann
K.S. Lambton and Bernard Lewis (eds.). The Cambridge History of Islam, vol. 2.
Cambridge: Cambridge at The University Press. 1970).
Taylor, Jean Gelman. “The Chinese and the early centuries of conversion to Islam in
Indonesia,” dalam Tim Lindsey and Helen Pausacker (eds.). Chinese Indonesians:
Remembering, distorting, forgetting. Singapore: Institute of Southeast Asian
Studies. 2005.
Zakaria, Mumuh Muhsin. Priangan Abad ke-19 dalam Arus Dinamika Sosial-Ekonomi.
Disertasi Program Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, tidak
dipublikasikan. Bandung. 2010.
Red: Cholis Akbar
Lihat Sumber Posting DISINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar