Dalam sejarah, Wahhabi dimaknai sebagai ajaran yang didakwahkan oleh Muhammad bin Abdil Wahhab. Orang-orang yang mengikuti ajaran-ajarannya dinamai sebagai kaum Wahhabi. Tidak lupa pula bahwa pada titik tertentu praktek-praktek beragama yang menyerupai ajaran-ajaran Muhammad bin Abdil Wahhab dinamai juga dengan ajaran Wahhabi.
Semua ini ada dan telah muncul berpuluh-puluh tahun yang lampau. Sekarang, bagaimana pemaknaan kata Wahhabi dalam literatur-literatur terkini? Seperti apa kalangan-kalangan terkini di masyarakat umum memaknai Wahhabi?
Ada banyak tulisan tercetak dari berbagai kalangan yang berbeda profesi menyinggung tentang makna Wahhabi. Secara luas, tulisan-tulisan yang dimaksud terbit untuk konsumsi pembaca spesialis dan juga non-spesialis.
Banyak dari terbitan-terbitan tersebut yang telah bertahun-tahun lewat diterbitkan dan kemudian dicetak beberapa kali. Dapat dibayangkan bahwa betapa makna Wahhabi, apa pun makna yang diberikan, telah tersosialisasi di khalayak pembaca dalam waktu yang lama dan ruang yang luas.
Untuk melihat potret pemaknaan Wahhabi saat ini secara umum, pada paragraf-paragraf berikut akan diketengahkan contoh-contoh yang terdapat dalam beberapa buku. Sebagian di antara buku-buku tersebut sudah menjadi salah satu referensi utama dalam disiplin-disiplin pengetahuan tertentu dan telah dicetak berulang-ulang. Sebagian lagi adalah buku-buku yang baru diterbitkan belakangan ini.
Di Mata Wartawan
Craig Unger, seorang penulis dari New York, Amerika Serikat (AS), adalah mantan deputi editor New York Observer dan pemimpin redaksi Boston Magazine. Unger menulis House of Bush, House of Saud: The Secret Relationship Between the World’s Two Most Powerful Dynasties.
Terbit di AS pada tahun 2004, buku tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Dinasti Bush Dinasti Saud: Hubungan Rahasia antara Dua Dinasti Terkuat Dunia dan dicetak untuk ketiga kalinya pada tahun 2006.
Di dalam bukunya ini, ia mengatakan bahwa Wahhabi adalah sebuah kelompok aliran Islam yang berusaha mempertahankan keaslian agamanya dan menjadi lahan subur bagi tumbuhnya jaringan garis keras dunia untuk melakukan jihad kekerasan terhadap AS.[1]
Di halaman yang sama juga, olehnya, dikatakan sebagai musuh abadi Israel dan Amerika, kelompok fundamentalis, juga sebagai sebuah aliran Islam fundamentalis. “Sifatnya fundamentalis dan murni,” tulisnya di halaman yang lain.[2]
Pemaknaan ini ternyata agak berbeda dengan komentar salah satu nara-sumber tulisannya, ketika berbicara tentang eksekutif-eksekutif bisnis dari Arab Saudi. “Kelompok wahabi,” menurut narasumber yang dimaksud, “selalu enggan untuk berbisnis dengan orang kafir. Tetapi sekarang mereka datang dengan pakaian à la Barat dan tampil sangat bagus. Mereka adalah pengusaha yang baik. Mereka melakukan semua tugas dengan rajin dan mempekerjakan
tenaga kerja yang handal.”[3]
Selain Craig Unger, ada Yaroslav Trofimov, seorang koresponden luar negeri untuk The Wall Street Journal. Ia termasuk salah seorang penulis AS yang memaknai kata Wahhabi.
Tromifimov menulis The Siege of Mecca: the Forgotten Uprising in Islam’s Holiest Shrine and the Birth of al-Qaeda dan terbit pada tahun 2007. Buku ini kemudian diterjemahkan menjadiKudeta Mekkah: Sejarah yang Tak Terkuak dan naik cetak untuk kedua kalinya pada Februari tahun 2008.
Di dalam bukunya, ia memaknai Wahhabi sebagai ajaran-ajaran seorang ulama yang bernama Muhammad bin Abdil Wahhab.[4] Adapun para pengikutnya dari kaum nomaden Badui yang sering menjelajahi luasnya hamparan kosong tanah Arab, mereka disebut dengan kaum Wahhabi oleh musuh-musuhnya. Akan tetapi, “Wahhabi adalah komunitas Sunni,” tulisnya, yang dibedakan dengan Syiah sejak masa-masa awal sejarah Islam.[5]
Di dalam buku yang sama, penulis memiliki makna lain untuk Wahhabi.
Wahhabi, menurutnya, bukan sekedar bagian dari Islam Sunni. Wahhabi juga bukan sekedar ajaran Muhammad bin Abdil Wahhab. Lebih dari itu, Wahhabi adalah paham Sunni yang keras dan radikal, memiliki batasan-batasan tertentu, menyerukan kebencian terhadap orang-orang non-muslim dan memiliki dedikasi terhadap jihad global. Bentuk ajarannya bersifat indoktrinasi. Karena itu, seseorang yang menolak ajaran-ajaran yang diserukan oleh Muhammad bin Abdil Wahhab dapat dianggap murtad.[6]
Setelah itu, dalam beberapa bagian tulisannya, Yaroslav Trofimov seperti ingin menunjukkan kesan bahwa Wahhabi bukan Arab Saudi. Akan tetapi, Wahhabi adalah sebagian elemen kuat dalam kerajaan Arab Saudi selain Dinasti Saud yang memerintah Arab Saudi.[7]
Ulama-ulama Wahhabi di Arab Saudi, sebagaimana yang ditulisnya, dalam praktek ada yang bersifat konservatif. Sebagian lain ada yang bersifat ultra-konservatif[8] dan radikal.[9]
Ia pun sempat mengatakan bahwa meski gerak dakwah Wahhabi agresif, namun materi di dalamnya cenderung sempit dan bertentangan dengan zaman.[10] Dari indoktrinasi gerakan Wahhabi di Arab Saudi dan negara-negara Islam lainnya, kemudian muncul kelompok Al-Qaeda.[11]
Di Mata Non-Spesialis
Berbeda dengan para penulis dari kalangan media massa seperti Craig Unger dan Yaroslav Trofimov, pemaknaan-pemaknaan yang berasal dari kalangan akademis lebih variatif. Mereka yang disebut belakangan ini adalah para pengajar universitas yang juga aktif menulis buku-buku rujukan tentang Islam.
Di antara mereka ada yang spesialis di bidang sejarah Islam. Ada juga yang non-spesialis. Akan tetapi, masing-masing mereka memiliki perhatian yang besar terhadap Islam.
Penulis sekaligus salah satu contoh akademisi non-spesialis adalah Muhammad Abu Zahrah yang dikenal sebagai Guru Besar dan mantan rektor Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Salah satu bukunya berjudul Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1996 dengan judul Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam.
Di dalam bukunya ini, ia mengklasifikasikan Wahhabi sebagai salah satu di antara tiga aliran modern dalam Islam yang muncul sejak abad ke-8 sampai dengan abad ke-13 Hijriah; dua aliran lain yang dimaksud adalah Bahaiyyah dan Qodhiyaniyyah.[12]
Wahhabi, menurutnya, adalah suatu “gerakan yang muncul di gurun Arab sebagai reaksi terhadap sikap pengkultusan dalam bentuk mencari keberkatan dari orang-orang tertentu serta mendekat-kan diri kepada Allah melalui ziarah ke kubur mereka, di samping terhadap bid’ah yang telah mendominasi pelbagai tempat keagamaan dan aktifitas duniawi.”[13]
Pada asalnya, gerakan ini merupakan bentuk gerakan penghidupan kembali mazhab Ibnu Taimiyah.[14] Akan tetapi, mereka hanya mengamalkan apa yang telah dikemukakan Ibnu Taimiyah dalam bentuk yang lebih keras bila dibandingkan dengan apa yang telah diamalkan oleh Ibnu Taimiyah, bahkan tidak segan-segan menggunakan senjata.[15]
Dalam politik, gerakan mereka melecehkan pemerintahan Turki Utsmani. Jadi dikatakan bahwa ciri dakwah mereka adalah kekerasan.[16]
Penulis lain yang semisal dengannya adalah Karen Amstrong. Dikenal lewat bukunya yang berjudulThe History of God, yang diterjemahkan dan diterbitkan dengan judul Sejarah Tuhan oleh penerbit Mizan di Bandung, penulis wanita dari Inggris ini sempat menyinggung tentang Wahhabi sekaligus turut memberikan makna untuk kata itu di dalam karyanya yang lain.
Karyanya yang dimaksud adalah TheBattle for God. Terbit pertama kali di New York, buku ini kemudian diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2001 dengan judulBerperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam, Kristen, dan Yahudi.
Di dalam bukunya, Wahhabi dimaknai sebagai suatu gerakan agresif yang disebarkan dengan kekerasan. Inti gerakan adalah ajaran Muhammad bin Abdil Wahab.
Bagi penulis buku ini, Muhammad bin Abdil Wahhab dikenal sebagai tipikal pembaru Islam sejati. Ia berhasil memisahkan diri dari kekuasaan Turki Utsmani untuk kemudian mendirikan negara sendiri di Arab Tengah dan daerah Teluk Persia. Fokus ajarannya adalah mengembalikan segala masalah yang dihadapi kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta menolak fikih abad pertengahan, mistisisme dan filsafat.[17]
Dalam masalah politik, tulisnya, Muhammad bin Abdil Wahhab menganggap sultan-sultan Turki Utsmani telah menyimpang dari Islam, sehingga mereka teranggap sebagai orang-orang kafir pembangkang dan layak untuk dieksekusi. Hukum-hukum yang diberlakukan oleh sultan Turki Utsmani saat itu pun tidak lagi otentik dengan syariat Islam. Karena itu, Muhammad bin Abdil Wahhab, beserta para pengikutnya, berusaha mendirikan suatu daerah kantong bagi iman yang sejati, suatu daerah kantong yang berlandaskan tuntunan umat Islam pertama (salafus sholih) di abad ketujuh Masehi.[18]
Di Mata Spesialis I
Dari kalangan akademisi spesialis, ada beberapa sejarawan yang turut memaknai Wahhabi di dalam karya-karya mereka. Sebagian di antara karya-karya yang dimaksud merupakan referensi-referensi yang sering dirujuk oleh orang-orang yang ingin mengetahui sejarah Islam dan beberapa kali dicetak.
Mereka yang dimaksud adalah (1) Albert Hourani, pengajar bidang kajian Timur-Dekat di Magdalen College, Oxford, Inggris; (2) Ira M. Lapidus, profesor sejarah di universitas California, AS; dan (3) Erik J. Zurcher, seorang profesor sejarah modern Kesultanan Utsmani dan Republik Turki di Universitas Amsterdam, Belanda.
Albert Hourani menulis sebuah buku, yang menjadi salah satu rujukan utama dalam sejarah pemikiran di Timur Tengah, berjudul Arabic Thought in the Liberal Age 1798—1939. Terbit pertama kali pada tahun 1962, buku ini telah dicetak berkali-kali. Edisi terjemahan Indonesia terbit pertama kali pada tahun 2004 dengan judul Pemikiran Liberal di Dunia Arab. Di dalam buku tersebut, ia menganggap Wahhabi sebagai satu gerakan yang bersifat pembaruan.[19] Inti gerakan ini adalah keinginan untuk mengembalikan perkembangan Islam ke Islam awal yang murni.[20]
Sebagai sumber inspirasi, gerakan ini mengambil inspirasi dari mazhab pemikiran Hanbali. Dalam perkembangan lebih lanjut, tegasnya, gerakan Wahhabi ini mengancam keutuhan pemerintahan Turki Utsmani.[21]
Selain Hourani, ada Ira M. Lapidus yang menulis A History of Islamic Societies. Terbit sekitar dekade 80-an, buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan pada bulan Januari 1999 dengan judul Sejarah Sosial Ummat Islam. Terjemahan ini kemudian dicetak kembali pada Juni 2000.
Di dalam bukunya ini, ia mengartikan Wahhabi sebagai sebuah gerakan reformisme dalam Islam. Dalam usaha mereformasi, gerakan ini berbentuk suatu dakwah dengan muatan politik terhadap kecenderungan reformasi yang tengah berkembang di Mekkah dan juga di seluruh penjuru dunia Islam, seperti di Indonesia dan Afrika Utara.
Akan tetapi, tulisnya, yang tidak boleh dilupakan, gerakan Wahhabi pada tingkat lokal berfungsisebagai suatu ideologi agama yang menyatukan kelompok-kelompok kesukuan setempat, di tempat gerakan ini lahir.[22] Secara umum, Wahhabi sebagai ajaran agama tidak jauh berbeda dengan mazhab-mazhab Islam yang sudah ada, seperti mazhab Syafi’i dan mazhab Syi’ah Zaidiyyah.[23]
Selain Hourani dan Lapidus, ada Erik J. Zurcher. Dijuduli Turkey: A Modern History, buku ini kemudian diterjemahkan menjadi Sejarah Modern Turki dan terbit pada tahun 2003. Di dalam buku ini, ketika berbicara tentang keadaan politik dalam negeri kerajaan Turki Utsmani, ia sempat menyinggung tentang Wahhabi.
Baginya, Wahhabi adalah suatu gerakan kaum fundamentalis yang muncul di kalangan suku-suku Arab Tengah. Dalam kapasitasnya sebagai gerakan, Wahhabi termasuk salah satu gerakan yang mengancam kekuasaan Turki Utsmani atas tempat-tempat suci Islam, Mekkah dan Madinah.
Gerakan ini, menurutnya, dapat dipadamkan kemudian dengan bantuan pasukan-pasukan bersenjata Muhammad Ali—seorang pemimpin Mesir yang diminta bantuan oleh Sultan Turki Utsmani pada saat itu.[24]
Di Mata Spesialis II
Demikian pula dengan kalangan akademisi di Indonesia, ada beberapa penulis yang dapat diambil contoh sebagai penulis-penulis yang turut memaknai Wahhabi di dalam buku-buku mereka.
Mereka adalah (1) Deliar Noer, salah satu guru besar di IKIP Jakarta dan Fakultas Ilmu Sosial di Universitas Indonesia; (2) Azyumardi Azra, rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta; dan (3) Badri Yatim, pengajar di Fakultas Adab dan Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Deliar Noer menulis The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900—1942 yang diterbitkan pada tahun 1973. Beberapa tahun setelah itu, buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk kemudian diterbitkan pertama kali pada tahun 1980 dengan judul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900—1942. Dari tahun 1980 sampai dengan tahun 1996, buku ini telah dicetak ulang sebanyak delapan kali.
Di tengah pembicaraan tentang gerakan-gerakan modern Islam di Indonesia, ia sempat pula memaknai Wahhabi. Baginya, Wahhabi adalah suatu aliran Islam khusus di luar mazhab yang empat (mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali).
Di halaman yang sama, ketika berbicara mengenai pengaruh-pengaruh politik di luar Indonesia yang turut memengaruhi gerakan modern Islam di Indonesia, ia mengartikan Wahhabi sebagai gerakan politik yang dipimpin oleh ibnu Su’ud pada tahun 1924.[25]
Selain Deliar Noer, ada Azyumardi Azra yang menulis Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam di Indonesia. Buku ini terbit pertama kali pada tahun 1994 dan sempat dicetak ulang sebanyak empat kali. Kemudian, pada tahun 2004, buku ini diterbitkan kembali oleh beberapa penerbit di luar Indonesia dan satu penerbit di Indonesia. Untuk terbitan Indonesia yang terbaru ini, buku ini dicetak ulang kembali pada tahun 2005.
Berbeda dengan Deliar Noer, Azyumardi Azra memiliki makna yang lain untuk Wahhabi. Wahhabi, tulisnya, adalah ajaran Muhammad bin Abdil Wahhab.[26] Pokok-pokok ajarannya, salah satunya, berupa penentangan segala bentuk kebid’ahan dan praktek-praktek kesyirikan.[27]
Sebagai suatu gerakan, Wahhabi adalah suatu gerakan pembaruan yang bersifat radikal.[28] Dalam prakteknya, gerakan ini menempuh cara-cara keras bahkan dengan senjata.[29]
Makna yang lebih rinci ada pada tulisan Badri Yatim. Ia menulis Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci: Hijaz (Mekah dan Madinah) 1800—1925. Buku ini terbit pertama kali pada tahun 1999.
Yang menarik adalah ketika ia menulis salah satu pendapat yang mengatakan bahwa “kebangkitan dunia Arab, momentumnya terjadi justru ketika Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab menyebarkan ajaran-ajaran reformisme (tajdid)-nya di Jazirah Arab.”[30]
Wahhabi, menurutnya, adalah ajaran salafiyah yang dibawa oleh Muhammad bin Abdil Wahhab dan dianut oleh pemerintahan Dinasti Saudi.[31] Sebagai suatu gerakan keagamaan, gerakan Wahhabi bersifat reformatif.[32]
Gerakan ini adalah gerakan revivalisme radikal yang curiga terhadap tasawuf dan menilai praktik-praktik tasawuf, terutama tasawuf popular, sebagai terkutuk.[33] Karena itu, gerakan ini dicap oleh lawan-lawannya sebagai gerakan yang “anti tasawuf dan tarekat”, zindiq, membenci Nabi Muhammad dan memandang kaum muslimin di luar mereka sebagai kafir.[34]
Meski demikian, gerakan ini tidak menegakkan satu aliran atau mazhab tersendiri dalam Islam. Menurutnya, hal itu disebabkan bahwa suatu mazhab dapat ditunjukkan oleh adanya beberapa doktrin terpisah yang membedakan penganut-penganutnya dengan golongan terbesar pemeluk-pemeluk agama Islam lainnya, sedangkan Wahhabi tidak.[35] Dalam bidang (ushul), Wahhabi menganut aliranahlus sunnah wal jama’ah, sedangkan thoriqohnya adalah thoriqoh salaf.[36]
[1] Craig Unger. Dinasti Bush Dinasti Saud: Hubungan Rahasia antara Dua Dinasti Terkuat Dunia (Cet. III). Jakarta: Diwan Publishing. 2006, halaman 16-17. [2] Craig Unger, halaman 92.
[3] Craig Unger, halaman 92-93.
[4] Yaroslav Trofimov. Kudeta Mekkah: Sejarah yang Tak Terkuak (Cetakan II). Jakarta: Alvabet. 2008, halaman 21.
[5] Yaroslav Tromifimov, halaman 22.
[6] Yaroslav Trofimov, halaman 317.
[7] Yaroslav Trofimov, halaman 32, 34-35, 317.
[8] Yaroslav Trofimov, halaman 133.
[9] Yaroslav Trofimov, halaman 47.
[10] Yaroslav Trofimov, halaman 34.
[11] Yaroslav Trofimov, halaman 317.
[12] Imam Muhammad Abu Zahrah. Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos. 1996, halaman 249-273.
[13] Imam Muhammad Abu Zahrah, halaman 250-251.
[14] Imam Muhammad Abu Zahrah, halaman 251.
[15] Imam Muhammad Abu Zahrah, halaman 251-252.
[16] Imam Muhammad Abu Zahrah, halaman 252.
[17] Karen Amstrong. Berperang Demi Tuhan: Fundamentalis-me dalam Islam, Kristen, dan Yahudi. Jakarta: Serambi. 2001, halaman 67.
[18] Karen Amstrong, halaman 67-68.
[19] Albert Hourani. Pemikiran Liberal di Dunia Arab. Jakarta: Mizan. 2004, halaman 62.
[20] Albert Hourani, halaman 174.
[21] Albert Hourani, halaman 62.
[22] Ira M. Lapidus. Sejarah Sosial Ummat Islam:Bagian Ketiga (Cetakan II). Jakarta: Rajawali Press. 2000, halaman 190.
[23] Ira M. Lapidus, halaman 183.
[24] Erik J. Zurcher. Sejarah Modern Turki. Jakarta: Gramedia. 2003, halaman 35.
[25] Deliar Noer. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900—1942 (Cetakan VIII). Jakarta: LP3ES. 1996, halaman 242-243.
[26] Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam di Indonesia (Cetakan II). Jakarta: Kencana. 2005, halaman 155.
[27] Azyumardi Azra, halaman 157.
[28] Azyumardi Azra, halaman 158.
[29] Azyumardi Azra, halaman 250-254.
[30] Badri Yatim. Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci: Hijaz (Mekah dan Madinah) 1800—1925. Jakarta: Logos. 1999, halaman 11.
[31] Badri Yatim, halaman 12.
[32] Badri Yatim, halaman 103.
[33] Badri Yatim, halaman 165.
[34] Badri Yatim, halaman 167.
[35] Badri Yatim, halaman 105.
[36] Badri Yatim, halaman 172.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar