JIKA PERAYAAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW SESAT ATAU JIARAH KUBUR SESAT MENGAPA PARA ULAMA DI MUI TIDAK MEMBERI FATWA SESAT.....?
Atau Para Ustad yang anti maulid nabi dan jiarah kubur yang dengan lantang berkoar di atas mimbar bahwa itu sesat , memiliki ilmu pemahaman yang lebih tinggi dari para ulama yang nota bene sudah kenyang belajar kitab dan berguru PADA BEBERAPA Alim ulama besar yang punya izajah sanad yang tidak terputus .... ? Begitu sombongnya dan merasa paling benar hingga mereka merasa lebih tau dari pada Alim ulama hanya karna mereka baca dari kitab saja tanpa berguru pada guru yang sanad nya tidak terputus sampai rosullullah...?
Ini lah Uraian tentang Peringatan Maulid Nabi,
Dalam memPeringatan Maulid Nabi ,selama yang melaksanakannya berkeyakinan sebagai amal kebaikan tidaklah masalah
Yang bermasalah adalah jika
yang melaksanakan Maulid Nabi berkeyakinan sebagai sebuah kewajiban yang jika
ditinggalkan berdosa karena Allah Azza wa Jalla tidak pernah menetapkannya
sebagai kewajiban
Perkara yang ditinggalkan
berdosa (kewajiban) maupun yang dilanggar berdosa (larangan dan pengharaman)
adalah hak Allah Azza wa Jalla menetapkannya
Perkara yang ditinggalkan
berdosa (kewajiban) maupun yang dilanggar berdosa (larangan dan pengharaman)
adalah yang disebut sebagai perkara syariat atau dibeberapa hadits disebut
dengan istilah "urusan agama" atau "urusan kami"
Dari Ibnu ‘Abbas r.a.
berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “sesungguhnya agama
itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa
kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah
telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa)), maka jangan kamu
langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka
jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai
tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan
dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Perkara Syariat atau
"urusan agama" atau "urusan kami" telah sempurna
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan
kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu
” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)
“mendekatkan dari surga” =
perkara kewajiban (ditinggalkan berdosa)
“menjauhkan dari neraka” =
perkara larangan dan perkara pengharaman (dikerjakan berdosa)
Jika ulama berfatwa dalam
perkara kewajiban (ditinggalkan berdosa), perkara larangan (dikerjakan berdosa)
dan perkara pengharaman (dikerjakan berdosa) wajib berlandaskan dengan apa yang
telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla
Perkara Syariat harus sesuai
dengan apa yang telah dilakukan atau dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam
Dalam perkara syariat
berlaku “hukum asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang mensyari’atkannya
atau menetapkannya”
Perkara baru dalam perkara
syariat adalah bid'ah dholalah
Sedangkan perkara baru
(bid'ah) diluar perkara syariat, jika bertentang dengan Al Qur'an dan As Sunnah
adalah termasuk bid'ah dholalah dan jika tidak bertentangan dengan Al Qur'an
dan As Sunnah adalah termasuk bid'ah hasanah.
Imam Syafi’i ~rahimahullah
berkata
“Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul
atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dhalalah. Dan
apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal
tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)”
Imam Syafi’i ~rahimahullah
berkata “Perkara-perkara yang baru (al muhdats) terbagi dua, Pertama : perkara
baru yang bertentangan dengan kitab, sunnah, atsar para sahabat dan ijma’, ini
adalah bid’ah dlalalah, kedua: perkara baru yang baik dan tidak bertentangan
dengan salah satu dari hal-hal di atas, maka ini adalah perkara baru yang tidak
tercela” (Diriwayatkan oleh al Hafizh al Baihaqi dalam kitabnya “Manaqib
asy-Syafi’i”, Juz I, h. 469)
Perkara diluar perkara
syariat tidak harus selalu sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah
Dalam perkara diluar perkara
syariat berlaku "hukum asal segala sesuatu adalah mubah sampai ada dalil
yang melarangnya”
Para Hafidh (ahli hadits
yang hafal 100.000 hadits dan dapat menshahihkan sanad dan matan hadis dan
dapat men-ta'dil-kan dan men-jarh-kan rawinya) menyampaikan pendapat mereka
tentang peringatan Maulid Nabi
Imam Al hafidh Abu Syaamah
rahimahullah (Guru imam Nawawi) : “Merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman
kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran
Rasul shallallahu alaihi wasallam dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu
para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul shallallahu alaihi
wasallam dan membangkitkan rasa cinta pada beliau shallallahu alaihi wasallam,
dan bersyukur kepada Allah ta’ala dengan kelahiran Nabi shallallahu alaihi
wasallam“.
Imamul Qurra’ Alhafidh
Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissyariif
: “Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa
keadaanmu?, ia menjawab : “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam
senin, itu semua sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku
atas kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam dan karena Tsuwaibah
menyusuinya ” (shahih Bukhari hadits no.4813). maka apabila Abu Lahab Kafir
yang Alqur’an turun mengatakannya di neraka mendapat keringanan sebab ia
gembira dengan kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka bagaimana
dengan muslim ummat Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang gembira atas
kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam?, maka demi usiaku, sungguh balasan
dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh-sungguh ia akan dimasukkan ke sorga
kenikmatan Nya dengan sebab anugerah Nya“.
Imam Al Hafidh Assakhawiy
dalam kitab Sirah Al Halabiyah berkata “tidak dilaksanakan maulid oleh salaf
hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan setelahnya, dan tetap melaksanakannya
umat Islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah pada malamnya dengan
berbagai macam sedekah dan memperhatikan pembacaan maulid, dan berlimpah
terhadap mereka keberkahan yang sangat besar”.
Imam Al hafidh Ibn Abidin
rahimahullah dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : “ketahuilah salah satu
bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi shallallahu
alaihi wasallam”
Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi
rahimahullah, dengan karangan maulidnya yang terkenal “al aruus” juga beliau
berkata tentang pembacaan maulid, “Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu,
dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang
membacanya serta merayakannya”.
Imam Al Hafidh Al
Qasthalaniy rahimahullah dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148
cetakan al maktab al islami berkata: “Maka Allah akan menurukan rahmat Nya
kepada orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”.
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam menyampaikan bahwa di masa kemudian akan ada sekte / firqoh
yang memerangi (memusuhi) kaum muslim pada umumnya, mereka membuat-buat
larangan-larangan ataupun kewajiban berdasarkan akal pikirannya sendiri bukan
berlandaskan Al Qur’an dan As Sunnah
Dari Ibnu ‘Abbas r.a.
berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di masa
kemudian akan ada peperangan di antara orang-orang yang beriman.” Seorang
Sahabat bertanya: “Mengapa kita (orang-orang yang beriman) memerangi orang yang
beriman, yang mereka itu sama berkata: ‘Kami telah beriman’.” Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ya, karena mengada-adakan di dalam agama
(mengada-ada dalam perkara yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkannya yakni
perkara kewajiban, larangan dan pengharaman) , apabila mereka mengerjakan agama
dengan pemahaman berdasarkan akal pikiran, padahal di dalam agama itu tidak ada
pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan,
perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).
Allah Azza wa Jalla
berfirman,
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ
وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain
Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para
rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan
selain Allah?”
Nabi menjawab, “tidak”
« أما أنهم لم يكونوا يعبدونهم ولكنهم كانوا إذا أحلوا لهم شيئاً استحلوه
وإذا حرموا عليهم شيئاً حرموه
»
“Mereka tidak menyembah para
rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan
sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan
pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain
disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu
telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu
yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya
kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Firman Allah Azza wa Jalla
yang artinya,
“Katakanlah! Siapakah yang
berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah diberikan kepada hamba-hambaNya
dan beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan
hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan
dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu
yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama)
Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf: 32-33)
“Dan janganlah kamu
mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal
dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”
[QS. An-Nahl : 116].
Dalam hadits Qudsi ,
Rasulullah bersabda: “Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus,
tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian
membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku
halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku
dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (Riwayat Muslim).
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda :
من حلل حراما او حرم حلالا
فقد كفر
“Barangsiapa menghalalkan
sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal, maka dia telah kafir.”
Pada zaman sekarang sudah
mulai tampak orang-orang yang melarang menjalankan peringatan Maulid. Mereka
mengada-ada larangan berdasarkan akal pikirannya sendiri. Mereka
adalah korban hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis
Yahudi. Mereka terhasut memahami Al Qur'an dan As Sunnah dengan akal pikiran
mereka sendiri dan "meninggalkan" pemahaman Imam Mazhab yang empat,
pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim pada umumnya yang bertalaqqi (mengaji)
langsung dengan Salafush Sholeh
Salah satu penghasutnya
adalah perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence yang dikenal
oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens Of Arabian. Laurens menyelidiki dimana
letak kekuatan umat Islam dan berkesimpulan bahwa kekuatan umat Islam terletak
kepada ketaatan dengan mazhab (bermazhab) dan istiqomah mengikuti tharikat-tharikat
tasawuf. Laurens mengupah ulama-ulama yang anti tharikat dan anti mazhab untuk
menulis buku buku yang menyerang tharikat dan mazhab. Buku tersebut
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh pihak orientalis.
Andaikan peringatan Maulid
Nabi adalah sesat tentulah Majelis Ulama Indonesia telah menyampaikan
fatwanya.
Kita , kaum muslim khususnya
di Indonesia
telah menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi turun temurun yang merupakan
hasil pengajaran ulama-ulama keturunan cucu Rasulullah.
Prof.Dr.H. Abdul Malik Karim
Amrullah (HAMKA) dalam majalah tengah bulanan “Panji Masyarakat” No.169/ tahun
ke XV11 15 februari 1975 (4 Shafar 1395 H) halaman 37-38 telah menjelaskan
bahwa umat Islam khususnya di Indonesia
merupakan buah hasil pengajaran ulama-ulama keturunan cucu Rasulullah dan
menyebarluaskan mazhab Imam Sayfi'i
Berikut kutipannya
awal kutipan
“Rasulallah shallallahu alaihi wasallam
mempunyai empat anak-anak lelaki yang semuanya wafat waktu kecil dan mempunyai
empat anak wanita. Dari empat anak wanita ini hanya satu saja yaitu (Siti)
Fathimah yang memberikan beliau shallallahu alaihi wasallam dua cucu lelaki
dari perkawinannya dengan Ali bin Abi Thalib. Dua anak ini bernama Al-Hasan dan
Al-Husain dan keturunan dari dua anak ini disebut orang Sayyid jamaknya ialah Sadat.
Sebab Nabi sendiri mengatakan, ‘kedua anakku ini menjadi Sayyid (Tuan) dari
pemuda-pemuda di Syurga’. Dan sebagian negeri lainnya memanggil keturunan
Al-Hasan dan Al-Husain Syarif yang berarti orang mulia dan jamaknya adalah Asyraf.
Sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan Al-Hasan dan Al-Husain itu
datang ketanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, kepulauan Indonesia
dan Pilipina.
Harus diakui banyak jasa
mereka dalam penyebaran Islam diseluruh Nusantara ini. Diantaranya Penyebar
Islam dan pembangunan kerajaan Banten dan Cirebon
adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh. Syarif kebungsuan
tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanao
dan Sulu. Yang pernah jadi raja di Aceh adalah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail,
di Pontianak pernah diperintah bangsa Sayyid Al-Qadri. Di Siak oleh keluaga
Sayyid bin Syahab, Perlis (Malaysia )
dirajai oleh bangsa Sayyid Jamalullail. Yang dipertuan Agung 111 Malaysia Sayyid
Putera adalah Raja Perlis. Gubernur Serawak yang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang
dari keluarga Alaydrus.
Kedudukan mereka dinegeri
ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri dimana
mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi Ulama. Mereka datang dari hadramaut dari
keturunan Isa Al-Muhajir dan Fagih Al-Muqaddam. Yang banyak kita kenal dinegeri
kita yaitu keluarga Alatas, Assegaf, Alkaff, Bafaqih, Balfaqih, Alaydrus, bin
Syekh Abubakar, Alhabsyi, Alhaddad, Al Jufri, Albar, Almusawa, bin Smith, bin
Syahab, bin Yahya …..dan seterusnya.
Yang terbanyak dari mereka
adalah keturunan dari Al-Husain dari Hadra- maut (Yaman selatan), ada juga yang
keturunan Al-Hasan yang datang dari Hejaz, keturunan syarif-syarif Makkah Abi
Numay, tetapi tidak sebanyak dari Hadramaut. Selain dipanggil Tuan Sayid mereka
juga dipanggil Habib. Mereka ini telah tersebar didunia. Di negeri-negeri besar
seperti Mesir, Baqdad, Syam dan lain-lain mereka adakan NAQIB, yaitu yang
bertugas mencatat dan mendaftarkan keturunan-keturunan Sadat tersebut. Disaat
sekarang umum- nya mencapai 36-37-38 silsilah sampai kepada Sayyidina Ali bin
Abi Thalib dan Sayyidati Fathimah Az-Zahra ra.
Baik Habib Tanggul di Jawa
Timur dan Almarhum Habib Ali di Kwitang, Jakarta, memanglah mereka keturunan
dari Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang berpindah dari Bashrah/Iraq ke Hadramaut,
dan Ahmad bin Isa ini cucu yang ke tujuh dari cucu Rasulallah saw. Al-Husain
bin Ali bin Abi Thalib.”.
akhir kutipan
Ulama-ulama kita dahulu
bersatu dalam mazhab Imam Syafi'i. KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah dan KH
Hasyim Azhari pendiri NU memiliki guru yang sama yaitu KH Sholeh Darat. Di
Saudi, mereka juga memiliki guru yang sama, yaitu Syekh Ahmad Khatib Al
Minangkabawi – ulama kelahiran Padang
yang di masa itu dapat menduduki posisi Imam di Mekah karena ketinggian
ilmunya. Syekh Ahmad Khatib adalah ulama bermazhab Syafi’i.
Namun belakangan ini ada
saja kaum muslim mengikuti pemahaman ulama-ulama yang mengaku mengikuti
pemahaman Salafush Sholeh namun sudah jelas-jelas mereka tidak bertalaqqi
(mengaji) dengan Salafush Sholeh. Darimana mereka mendapatkan pemahaman
Salafush Sholeh kalau bukan pemahaman mereka sendiri dengan akal pikiran mereka
sendiri.
Seharusnya mereka mengetahui
apa yang disampaikan ulama-ulama terdahulu sekitar abad 12 Hijriah
seperti
Dari kalangan ulama madzhab
al-Maliki, al-Imam Ahmad bin Muhammad al-Shawi al-Maliki, ulama terkemuka abad
12 Hijriah dan semasa dengan pendiri Wahhabi, berkata dalam Hasyiyah ‘ala
Tafsir al-Jalalain sebagai berikut:
هَذِهِ اْلآَيَةُ نَزَلَتْ
فِي الْخَوَارِجِ الَّذِيْنَ يُحَرِّفُوْنَ تَأْوِيْلَ
الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَيَسْتَحِلُّوْنَ بِذَلِكَ
دِمَاءَ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَمْوَالَهُمْ كَمَا هُوَ مُشَاهَدٌ اْلآَنَ فِيْ نَظَائِرِهِمْ
وَهُمْ فِرْقَةٌ بِأَرْضِ الْحِجَازِ يُقَالُ لَهُمُ الْوَهَّابِيَّةُ يَحْسَبُوْنَ أَنَّهُمْ عَلىَ شَيْءٍ أَلاَ
إِنَّهُمْ هُمُ الْكَاذِبُوْنَ.حاشية الصاوي
على تفسير الجلالين، ٣/ ٣٠٧.
“Ayat ini turun mengenai
orang-orang Khawarij, yaitu mereka yang mendistorsi penafsiran al-Qur’an dan
Sunnah, dan oleh sebab itu mereka menghalalkan darah dan harta benda kaum
Muslimin sebagaimana yang terjadi dewasa ini pada golongan mereka, yaitu
kelompok di negeri Hijaz yang disebut dengan aliran Wahhabiyah, mereka
menyangka bahwa mereka akan memperoleh sesuatu (manfaat), padahal merekalah
orang-orang pendusta.” (Hasyiyah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain, juz 3, hal.
307).
Dari kalangan ulama madzhab
Hanafi, al-Imam Muhammad Amin Afandi yang populer dengan sebutan Ibn Abidin,
juga berkata dalam kitabnya, Hasyiyah Radd al-Muhtar sebagai berikut:
“مَطْلَبٌ فِي أَتْبَاعِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْوَهَّابِ الْخَوَارِجِ فِيْ زَمَانِنَا :كَمَا وَقَعَ
فِيْ زَمَانِنَافِيْ أَتْبَاعِ ابْنِ عَبْدِ الْوَهَّابِ الَّذِيْنَ خَرَجُوْا مِنْ نَجْدٍ وَتَغَلَّبُوْا
عَلَى الْحَرَمَيْنِ وَكَانُوْايَنْتَحِلُوْنَ مَذْهَبَ الْحَنَابِلَةِ لَكِنَّهُمْ اِعْتَقَدُوْا
أَنَّهُمْ هُمُ الْمُسْلِمُوْنَ وَأَنَّ مَنْ خَالَفَاعْتِقَادَهُمْ مُشْرِكُوْنَ وَاسْتَبَاحُوْا بِذَلِكَ قَتْلَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَقَتْلَ عُلَمَائِهِمْ حَتَى
كَسَرَ اللهُشَوْكَتَهُمْ وَخَرَبَ
بِلاَدَهُمْ وَظَفِرَ بِهِمْ عَسَاكِرُ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَ ثَلاَثٍ وَثَلاَثِيْنَ وَمِائَتَيْنِوَأَلْفٍ.” اهـ
(ابن عابدين، حاشية رد المحتار، ٤/٢٦٢).
“Keterangan tentang pengikut
Muhammad bin Abdul Wahhab, kaum Khawarij pada masa kita. Sebagaimana terjadi
pada masa kita, pada pengikut Ibn Abdil Wahhab yang keluar dari Najd dan berupaya keras menguasai dua tanah suci. Mereka
mengikuti madzhab Hanabilah. Akan tetapi mereka meyakini bahwa mereka saja kaum
Muslimin, sedangkan orang yang berbeda dengan keyakinan mereka adalah
orang-orang musyrik. Dan oleh sebab itu mereka menghalalkan membunuh
Ahlussunnah dan para ulamanya sampai akhirnya Allah memecah kekuatan mereka,
merusak negeri mereka dan dikuasai oleh tentara kaum Muslimin pada tahun 1233
H.” (Ibn
Abidin, Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, juz 4, hal. 262).
Dari kalangan ulama madzhab Hanbali, al-Imam Muhammad bin Abdullah bin
Humaid al-Najdi berkata dalam kitabnya al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih
al-Hanabilah ketika menulis biografi Syaikh Abdul Wahhab, ayah pendiri Wahhabi,
sebagai berikut:
عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ سُلَيْمَانَ التَّمِيْمِيُّ النَّجْدِيُّ وَهُوَ وَالِدُ صَاحِبِ الدَّعْوَةِ الَّتِيْ انْتَشَرَشَرَرُهَا فِي اْلأَفَاقِ لَكِنْ بَيْنَهُمَا تَبَايُنٌ مَعَ أَنَّ مُحَمَّدًا لَمْ يَتَظَاهَرْ بِالدَّعْوَةِ إِلاَّ
بَعْدَمَوْتِ وَالِدِهِ وَأَخْبَرَنِيْ بَعْضُ مَنْ لَقِيْتُهُ عَنْ بَعْضِ أَهْلِ
الْعِلْمِ عَمَّنْ
عَاصَرَ الشَّيْخَ عَبْدَالْوَهَّابِ هَذَا أَنَّهُ كَانَ غَاضِبًا عَلىَ وَلَدِهِ مُحَمَّدٍ لِكَوْنِهِ لَمْ يَرْضَ أَنْ يَشْتَغِلَ بِالْفِقْهِكَأَسْلاَفِهِ وَأَهْلِ جِهَتِهِ
وَيَتَفَرَّسُ فِيْه أَنَّهُ
يَحْدُثُ مِنْهُ أَمْرٌ
.فَكَانَ يَقُوْلُ لِلنَّاسِ: يَا مَا تَرَوْنَ
مِنْ مُحَمَّدٍ مِنَ
الشَّرِّ فَقَدَّرَ اللهُ أَنْ صَارَ مَاصَارَ
وَكَذَلِكَ ابْنُهُ
سُلَيْمَانُ أَخُوْ مُحَمَّدٍ كَانَ مُنَافِيًا لَهُ
فِيْ دَعْوَتِهِ
وَرَدَّ عَلَيْهِ رَدًّا جَيِّداًبِاْلآَياَتِ
وَاْلآَثاَرِ وَسَمَّى
الشَّيْخُ سُلَيْمَانُ رَدَّهُ عَلَيْهِ ( فَصْلُ الْخِطَابِ فِي الرَّدِّ عَلىَمُحَمَّدِ بْنِ
عَبْدِ الْوَهَّابِ ) وَسَلَّمَهُ اللهُ مِنْ شَرِّهِ وَمَكْرِهِ مَعَ
تِلْكَ الصَّوْلَةِ الْهَائِلَةِ الَّتِيْأَرْعَبَتِ اْلأَبَاعِدَ
فَإِنَّهُ كَانَ إِذَا بَايَنَهُ أَحَدٌ وَرَدَّ عَلَيْهِ وَلَمْ يَقْدِرْ
عَلَى قَتْلِهِ مُجَاهَرَةًيُرْسِلُ إِلَيْهِ مَنْ يَغْتَالُهُ فِيْ
فِرَاشِهِ أَوْ فِي السُّوْقِ لَيْلاً لِقَوْلِهِ بِتَكْفِيْرِ مَنْ
خَالَفَهُوَاسْتِحْلاَلِ قَتْلِهِ. اهـ (ابن حميد النجدي، السحب الوابلة
على ضرائح الحنابلة، ٢٧٥.
“Abdul Wahhab bin Sulaiman
al-Tamimi al-Najdi, adalah ayah pembawa dakwah Wahhabiyah, yang percikan apinya
telah tersebar di berbagai penjuru. Akan tetapi antara keduanya terdapat
perbedaan. Padahal Muhammad (pendiri Wahhabi) tidak terang-terangan berdakwah
kecuali setelah meninggalnya sang ayah. Sebagian ulama yang aku jumpai
menginformasikan kepadaku, dari orang yang semasa dengan Syaikh Abdul Wahhab
ini, bahwa beliau sangat murka kepada anaknya, karena ia tidak suka belajar
ilmu fiqih seperti para pendahulu dan orang-orang di daerahnya. Sang ayah
selalu berfirasat tidak baik tentang anaknya pada masa yang akan datang. Beliau
selalu berkata kepada masyarakat, “Hati-hati, kalian akan menemukan keburukan
dari Muhammad.” Sampai akhirnya takdir Allah benar-benar terjadi. Demikian pula
putra beliau, Syaikh Sulaiman (kakak Muhammad bin Abdul Wahhab), juga menentang
terhadap dakwahnya dan membantahnya dengan bantahan yang baik berdasarkan
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Syaikh
Sulaiman menamakan bantahannya dengan judul Fashl al-Khithab fi al-Radd ‘ala
Muhammad bin Abdul Wahhab. Allah telah menyelamatkan Syaikh Sulaiman dari
keburukan dan tipu daya adiknya meskipun ia sering melakukan serangan besar
yang mengerikan terhadap orang-orang yang jauh darinya. Karena setiap ada orang
yang menentangnya, dan membantahnya, lalu ia tidak mampu membunuhnya secara
terang-terangan, maka ia akan mengirim orang yang akan menculik dari tempat
tidurnya atau di pasar pada malam hari karena pendapatnya yang mengkafirkan dan
menghalalkan membunuh orang yang menyelisihinya.” (Ibn Humaid al-Najdi, al-Suhub
al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah, hal. 275).
Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar