Ajaran Tauhid dan penolakan atas penyekutuan atas Allah Yang Maha Esa, merupakan ajaran terpenting yang menjadi asas ajaran Ilahiyah yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul. Dari ajaran Tauhid inilah kita bisa mengenal siapa sebenarnya Tuhan kita, dan dengannya kita bisa mengetahui sifat-sifat-Nya yang layak bagi-Nya dan yang tidak layak bagi-Nya.
Allah Swt sendiri berfirman : “Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan.” 1]
Ini bermakna bahwa Allah Yang Maha Kuasa tidak layak disifatkan oleh mereka yang bodoh dan tidak mengenal-Nya. Orang-orang bodoh tidak pantas untuk membicarakan sifat-sifat Allah Swt, karena penyifatan kepadanya justru hanya akan membatasi kesempurnaan-Nya.
Imam Ali as mengatakan di dalam khotbahnya, “..Kesempurnaan pembenaran atas-Nya ialah mempercayai Keesaan-Nya, kesempurnaan iman akan Keesaan-Nya ialah memandang Dia Suci, dan kesempurnaan Kesucian-Nya ialah menolak sifat-sifat-Nya, karena setiap sifat merupakan bukti bahwa (sifat) itu berbeda dengan apa yang kepadanya hal itu disifatkan, dan setiap sesuatu yang kepadanya sesuatu disifatkan berbeda dengan sifat itu.
Maka barangsiapa melekatkan suatu sifat kepada Allah (berarti) ia mengakui keserupaan-Nya, dan barangsiapa mengakui keserupaan-Nya maka ia memandang-Nya dua, dan barangsiapa memandang-Nya dua, mengakui bagian-bagian bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui bagian-bagian bagi-Nya (berarti) tidak mengenal-Nya, dan barangsiapa tidak mengenal-Nya maka ia menunjuk-Nya, dan barangsiapa menunjuk-Nya (berarti) ia mengakui batas-batas bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui batas-batas bagi-Nya (berarti) ia mengatakan jumlah-Nya.”
Penjelasan Tauhid yang disampaikan oleh Amirul Mu’minin Ali binAbi Thalib as ini merupakan penjelasan yang sangat dalam, padat dan kokoh. Kata-kata beliau ini tidak bisa dipahami oleh sembarang orang. Hanya orang-orang yang benar-benar serius menggunakan akal dan merenunginya secara hati-hatilah yang dapat memahami
kandungannya.
Dari ujaran Imam inilah kita bisa menyadari bahwa ajaran Tauhid bukan sembarang ajaran yang bisa diumbar ke sana-kemari tanpa pemaknaan yang proporsional. Kita menyadari bahwa ajaran Tauhid adalah ajaran yang mulia, tinggi dan tidak ternilai pentingnya.
Namun jika ada segelintir orang-orang bodoh yang hanya bermodalkan bahasa Arab seperti yang juga dulu dikuasai Abu Jahal, lalu menyerukan ajaran Tauhid seraya berteriak ke sana-kemari menyesatkan semua orang kecuali dirinya atau golongannya, maka ajaran ‘Tauhid’ dan ajaran-ajaran Islam lainnya menjadi terlihat ganjil dan aneh. Tentu saja ini bukan karena ajaran Islam itu sendiri yang dangkal tetapi karena orang yang kurang cerdas mencoba memaksakan diri untuk menjadi mubaligh atau ustadz, padahal kemampuan otaknya jauh dari memadai.
Inilah yang terjadi dengan ajaran Tauhid ketika berada di tangan oarang-orang yang sangat terbatas kemampuan akalnya. Dan tentu saja Anda sudah bisa menebak siapa orang-orang yang sedemikian nekad berdakwah tentang Tauhid yang merupakan ajaran yang telah disampaikan oleh orang-orang supergenius seperti para Nabi dan para Rasul as.
Mungkin ungkapan yang paling relevan adalah: “Burung beo tetaplah burung beo walaupun yang diucapkannya adalah kata-kata orang bijak!”
Akan tetapi semua ini jauh berbeda dengan ungkapan di atas, karena orang-orang bodoh ini menyampaikan ajaran Tauhid di tengah orang banyak dengan keyakinan bahwa hanya mereka saja yang ber-Tauhid sementara semua orang selain dirinya dan kelompoknya, sedang berada dalam gelimang kesyirikan. Ini sangat sangat berbahaya!
Inilah yang terjadi dengan ajaran Tauhid ketika berada di tangan kaum Badwi Wahabi-Salafy yang terkenal bodoh dan kasar. Ajaran Tauhid di tangan mereka menjadi ajaran yang dangkal dan ngawur!
Benarkah?
Mari kita lihat bagaimana kaum Badwi Wahabi-Salafy ini memandang atau menyifati Allah Swt.
Wahabi: Kedua Tangan Allah adalah Kanan
Di dalam situs-situs kaum Wahabi yang tersebar di jaringan internet, kaum Wahabi menafsirkan Tangan Allah di dalam ayat-ayat al-Quran dengan penafsiran literal atau tekstual. Sepereti ayat :
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya. Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Rabb dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS az-Zumar [39] ayat 67) 2]
Apa komentar Wahabi atas ayat-ayat seperti ayat di atas?
Mereka menafsirkan ayat ini dengan menyertakan sebuah hadis Shahih Muslim : “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil di sisi Allah (mereka berada) di atas mimbar dari cahaya dari sisi kanan Allah Azza wa Jalla. Dan Kedua Tangan Allah adalah Kanan…”
Dengan panjang lebar akhirnya kaum Wahabi-Salafy ini mengatakan : Jadi, kedua tangan Allah itu kanan, karena kiri mengandung makna kekurangan! (Baca tentang ini pada situs mereka : www.salafy.or.id )
Apakah Tauhid yang seperti ini yang dianggap benar? Lalu apakah orang-orang yang tidak berpaham seperti ini dianggap musyrik?
Tentu saja pernyatan-pernyataan semacam itu hanya akan menjadi tertawaan orang-orang yang sehat akalnya.
Muslim Sunni maupun Muslim Syi’ah beriman kepada ayat-ayat Quran maupun hadis-hadis seperti itu, namun keduanya tidak memaknainya secara literal atau tekstual. Inilah yang membedakan pemahaman Wahabi-Salafy dengan Sunni maupun Syiah, yang mana keduanya (Sunni – Syiah) menafsirkan ayat-ayat seperti itu secara majazi (metaphora), karena keduanya meyakini bahwa Allah Swt tidak bisa disifati seperti makhluk-Nya. Maha Suci Allah dari penyifatan seperti itu.
Apakah badwi-badwi itu tidak pernah membaca ayat di bawah ini?
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS Al-Syura [42] ayat 11)
ALLAH MEMILIKI JARI JEMARI?
Kaum Wahabi-Salafy juga percaya bahwa Allah Swt juga mempunyai jari jemari, seraya mengutip sebuah hadis dari Bukhari dan Muslim : “Telah datang seorang rahib Yahudi lalu berkata, “Allah meletakkan langit-langit di jari-Nya pada hari kiamat”, maka Rasulullah Saw pun terkagum-kagum membenarkan berita tersebut.
Hadis ini tidak aneh, tetapi akan menjadi ganjil jika dipahami bahwa jari-jemari Allah itu ada dalam bentuk jism atau tubuh. Nah inilah yang diyakini sebagai salah satu akidah kaum Wahabi-Salafy.
Masih banyak keanehan dan keganjilan akidah Tauhid yang dianut oleh kaum Wahabi-Salafy ini, disamping itu ada banyak kekeliruan yang fatal atas pemikiran mereka dalam tulisan-tulisan para gembong Wahabi seperti salah satu contohnya, termaktub dalam kitab Fathul Majid Syarah Kitab Al-Tauhid 3] :
“Idza Jalasa Al-Rabbu ‘Ala al-Kursi.” Yang artinya : “Apabila Telah Duduk (jalasa) Tuhan Di Atas Kursi.” 4]
Si penulis kitab tersebut menyebut kalimat di atas sebagai hadis Nabi Saw padahal kalimat di atas itu bukanlah hadis. Inikah Syekh Wahabi-Salafy yang dikatakan ahli hadis itu? Mengapa keliru sampai sejauh ini? Inikah orang yang menjadi kebanggaan kaum Wahabi-Salafy sehingga mereka menggembargemborkan tentang dalil-dalil syar’i dan sebagainya?
Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi di dalam kitab Najm al-Muhtadi menukil dari Al-Qadi Husain bahwa Imam Syafi’i menyatakan, “Barangsiapa beranggapan bahwa Allah duduk diatas ‘Arsy maka dia Kafir.”
Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi di dalam kitab Najm al-Muhtadi menukil dari Al-Qadi Husain bahwa Imam Syafi’i menyatakan, “Barangsiapa beranggapan bahwa Allah duduk diatas ‘Arsy maka dia Kafir.”
Saya tidak bermaksud ingin mengkafirkan golongan A atau B, tapi saya hanya ingin menekankan bahwa Imam Syafi’i yang merupakan salah satu Ulama Ahlus Sunnah ternama menganggap bahwa orang-orang yang berpaham tajsimiyyah atau men-tasybih-kan Allah dengan makhluk-Nya itu bukanlah dari golongan Ahlus Sunnah!
Bahkan lebih jauh lagi, Syekh Shaleh Utsaimin yang banyak dikutip para blogger Wahabi-Salafy mengatakan di dalam Tafsir Ayat Kursi : “Kursi itulah tempat (Allah) meletakkan kedua belah kaki Allah.”
Luar biasa! Kemurnian Tauhid macam apa yang diingin para baduwi dungu itu jika pemahaman mereka akan Tuhan seperti ini?
Catatan Kaki :
[1] QS Al-Shâffât [37] ayat 159
[2] Lihat juga ayat2 : QS al-Haaqqah [69] : 44-46
[3] Syekh Abdur Rahman bin Hasan, Fathul Majid Syarah Kitab Al-Tauhid, dan telah dishahihkan oleh Abdullah Bin Baz yang termasyhur kegarangannya itu.
[4] Perhatikan, kata yang digunakan sang Syekh bukan Istawa (bersemayam) seperti yang digunakan di dalam ayat2 al-Quran tetapi Jalasa (duduk).
Sumber : http://ummatipress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar