Beredarnya buku-buku tulisan
H. Mahrus Ali di berbagai tempat di wilayah Indonesia benar-benar sangat
meresahkan ummat Islam.
Otomatis itu menjadikan
fitnah besar bagi kaum Nahdhiyyin dan bisa mengancam persatuan dan kesatuan
ummat Islam di Indonesia, bahkan bisa mengancam eksistensi Indonesia sebagai
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang menganut ideologi Pancasila dan
berazaskan Undang-undang Dasar 1945. Atas dasar itu, Tim Sarkub bersama
kawan-kawan yang tergabung dalam group “SARKUBIYAH” melakukan silaturrahim ke
rumah kediaman H. Mahrus Ali di Tambakwaru Sidoarjo, Surabaya - Jawa Timur untuk meminta
penjelasan langsung mengenai buku-buku tulisannya yang meresahkan masyarakat
dan menyesatkan itu.
Inilah dia Buku yang di susun oleh H. Mahrus Ali Yang mengaku mantan Kyai NU .
Inilah Foto ketika Tim Sarkub bersilaturahim ke rumahnya H. Mahmud:
Senin Wage, 22 November 2010
M/ 15 Dzulhijjah 1431 H menjadi hari bersejarah bagi Tim Sarkub.
Di hari itulah
mereka memulai perjalanan untuk ‘menginvestigasi” H. Mahrus Ali, pengarang
buku-buku yang menyudutkan NU, di kediamannya di
Tambakwaru Sidoarjo - Jawa
Timur. Sebe lum menuju rumahnya H. Mahrus Ali (yang ngaku2 Mantan Kiai
NU), mereka berlima silaturrahim terlebih dahulu ke rumah keponakannya yang
bernama H. Mahmud alumni pesantren Langitan untuk berbincang-bincang sebentar
sambil mengemukakan maksud dan tujuan kedatangan baik kami ke sana. Karena,
rumahnya H. Mahmud terletak pas berada di gang yang mau menuju rumahnya H.
Mahrus Ali. Tentunya tidaklahh sopan apabila melewati rumahnya begitu
saja.
Dalam silaturrahim itu
mereka mendapat gambaran tentang ajaran yang dianut oleh Mahrus Ali, bahkan
mereka mendapat informasi bahwa Mahrus Ali itu mengharamkan makan daging ayam
dikarenakan ayam mempunyai cakar. Begitupula, Mahrus Ali mengharamkan makan
tahu dengan alasan tahu itu mengandung cuka.
Setelah bersilaturrahim kemudian mereka menuju langsung ke rumahnya Mahrus Ali untuk bersilaturrahim dan ingin menanyakan langsung tentang penggunaan istilah “Mantan Kiai NU” dalam setiap karangannya.
Alhamdulillah berkat anugerah Allah swt mereka bisa menemui dia dengan begitu mudahnya. Padahal menurut informasi yang didapatkan di masyarakatnya bahwa dia itu sulit sekali ditemuinya terutama dengan orang yang tidak sepaham dengannya. Bahkan ibu kandungnya sendiri ketika sakit keras, dia (Mahrus Ali) tidak mau menemuinya dengan alasan tidak sepaham dengannya.
Dalam silaturrahim itu Tim Sarkub sempat berdialog langsung dengannya dan alhamdulillah mereka berhasil membongkar kebohongan dan kebusukan Mahrus Ali yang menganut paham Wahhabi beserta penerbit buku-buku karangannya, yang telah menghina dan melecehkan NU. Dengan demikian, mereka sudah sepantasnya diseret ke pengadilan untuk diadili dan mendapatkan hukuman yang setimpal sesuai dengan perbuatan mereka.
Setelah bersilaturrahim kemudian mereka menuju langsung ke rumahnya Mahrus Ali untuk bersilaturrahim dan ingin menanyakan langsung tentang penggunaan istilah “Mantan Kiai NU” dalam setiap karangannya.
Alhamdulillah berkat anugerah Allah swt mereka bisa menemui dia dengan begitu mudahnya. Padahal menurut informasi yang didapatkan di masyarakatnya bahwa dia itu sulit sekali ditemuinya terutama dengan orang yang tidak sepaham dengannya. Bahkan ibu kandungnya sendiri ketika sakit keras, dia (Mahrus Ali) tidak mau menemuinya dengan alasan tidak sepaham dengannya.
Dalam silaturrahim itu Tim Sarkub sempat berdialog langsung dengannya dan alhamdulillah mereka berhasil membongkar kebohongan dan kebusukan Mahrus Ali yang menganut paham Wahhabi beserta penerbit buku-buku karangannya, yang telah menghina dan melecehkan NU. Dengan demikian, mereka sudah sepantasnya diseret ke pengadilan untuk diadili dan mendapatkan hukuman yang setimpal sesuai dengan perbuatan mereka.
Mereka sempat
mengambil foto secara rahasia lewat hp untuk dijadikan sebagai data dan bukti
yang valid. Karena, H. Mahrus Ali tidak mau difoto dan menghukumi haram masalah
foto. Begitupula, mereka sempat berdialog dan mengajukan beberapa pertanyaan
kepada Mahrus Ali termasuk masalah penggunaan istilah “Mantan Kyai NU” di
setiap buku karangannya. Ternyata dalam jawaban Mahrus Ali penggunaan istilah
“Mantan Kiai NU” itu bukanlah dari kemauan H. Mahrus Ali (Wahhabi tulen)
sendiri, tetapi istilah itu merupakan keinginan dan hasil rekayasa dari
penerbit “Laa Tasyuk” yang menerbitkan buku-buku karangannya dengan tujuan agar
buku-buku tersebut best seller di pasaran.
Buku2 tersebut pada hakikatnya merupakan suatu pelecehan dan penghinaan terhadap eksistensi NU baik di forum nasional maupun internasional. Dengan demikian, mereka meminta langsung kepada H Mahrus Ali dengan sejujurnya untuk membuat pernyataan mengenai istilah Mantan Kyai NU yang merupakan bukan pilihannya sendiri sebagai suatu klarifikasi agar tidak menjadi fitnah berkepanjangan di kemudian hari.
Buku2 tersebut pada hakikatnya merupakan suatu pelecehan dan penghinaan terhadap eksistensi NU baik di forum nasional maupun internasional. Dengan demikian, mereka meminta langsung kepada H Mahrus Ali dengan sejujurnya untuk membuat pernyataan mengenai istilah Mantan Kyai NU yang merupakan bukan pilihannya sendiri sebagai suatu klarifikasi agar tidak menjadi fitnah berkepanjangan di kemudian hari.
Kyai Thobary bersama Mahrus Ali di sampingnya yang sedang menulis Surat Pernyataan.
Inilah surat
pernyataan Mahrus Ali yang sejujurnya kepada Kyai Thobary. Mahrus mengatakan
bahwa penggunaan istilah “Mantan Kiai NU” bukan berasal dari dia sendiri.
Tetapi itu merupakan pilihan dari pihak penerbit “Laa Tasyuk” yang terlalu
dipaksakan demi untuk mengeruk keuntungan pribadi lewat buku2 tulisan Mahrus
Ali yang diterbitkannya. Untuk lebih jelasnya lagi kami salin kembali surat pernyataan Mahrus
Ali di bawah ini :
“MANTAN KYAI NU BUKAN PILIHAN SAYA DAN SAYA SUDAH BILANGKAN
KEPADA WARTAWAN AULA, SAYA MINTA AGAR DIGANTI TAPI SAYA TIDAK MAMPU”
TGL 15 DZULHIJJAH 1431 H
WASSALAM
MAHRUS
Surat Pernyataan dari H. Mahrus Ali
Jadi, dalam hal ini penerbit
“Laa Tasyuk” bersalah secara hukum.
Begitupula dengan Mahrus Ali. Olehkarena
itu, pihak NU harus menuntut dan menyeret mereka ke pengadilan demi tegaknya
hukum di Indonesia. Kalau dibiarkan saja, pasti fitnah yang ditimbulkan oleh
penerbit “Laa Tasyuk” dan H.Mahrus Ali akan semakin berkobar saja dan dapat
mengancam kewibawaan NU, bahkan bisa merugikan bangsa Indonesia. Dengan
demikian, Mahrus Ali dan penerbt “Laa Tasyuk” ini merupakan manusia-manusia
pembohong besar. Pernah dia diundang debat terbuka di UIN Sunan Ampel di
Surabaya Jawa Timur untuk mempertanggung-jawabkan buku karangannya yang
menghina NU dan tidak ilmiah itu, tapi dianya tidak hadir dengan bermacam-macam
alasan.
Dengan ketidakhadirannya
itu, takut ketahuan belangnya kali ya konspirasi politik Wahhabi ini?. Awas dan
hati2 dengan fitnah dan kebohongan “The Phantom of Opera” ini !!!. Sekarang H.
Mahrus Ali sedang dilanda ketakutan karena merasa bersalah. Dia juga suka
nongkrong di warung kopi di depan balai desa di dekat rumahnya di desa Tambak
Sumur RT 01 / RW 01 Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Itupun
beraninya kalau keadaannya sedang sepi. Hidupnya pun semakin susah saja bahkan
sudah terasing dari masyarakatnya. Dia itu ibarat cacing tanah kepanasan yang
menjadi cemoohan masyarakat sampai ke anak-anak kecil. Itulah adzab Allah swt
yang selalu menimpa dia dikarenakan atas perbuatannya sendiri. Mudah-mudahan
ini menjadi pelajaran bagi kita !!.
Inilah Warjok alias Warung
Pojok, tempat nongkrongnya Mahrus Ali minum kopi di depan Balai Desa Tambakwaru
Sidoarjo Jatim. Itupun dia lakukan kalau kondisinya sedang sepi. Kalau lagi
ramai, waaaahh dia sangat ketakutan sekali. Kebetulan warjok itu sedang tutup
ketika Tim Sarkub berkunjung ke rumahnya. Waaaah inget2 umur belasan tahun aja
nich tukang nongkrong di jalanan bersama kawan2.
Adapun mengenai
tulisan-tulisan H Mahrus Ali di setiap buku karangannya, semuanya itu berisikan
pengkajian dan pembahasan yang tidak ilmiah dan mengandung ketidakbenaran,
karena tidak disertai dengan dalil-dalil yang kuat dan penjelasan-penjelasan
yang ilmiah secara keilmuan. Hanya saja dalil-dalil yang diambil olehnya baik
dari Al-Qur’an maupun Hadits Nabi hanyalah merupakan hasil terjemahan secara
tekstual atau letterleg saja sehingga sama sekali tidak mengenai sasaran yang
tepat. Bahkan dalam mengartikan ayat-ayat suci al-Quran yang ada asbabun
nuzulnya, dia itu sangat anti sekali dengan asbabun nuzul (sebab2 diturunkannya
ayat2 suci Al-Qur’an). Karena, menurut dia asbabun nuzul itu dipenuhi dengan
sanad-sanad (sandaran-sandaran hukum) yang dhaif atau lemah. Selain itu beliau
sangat anti sekali terhadap kitab-kitab karangan Imam Syafi’i. Dia hanya
menggunakan tafsir yang dilakukan oleh sahabat Nabi SAW. Dengan demikian,
pengkajian Al-Qur’an yang ia lakukan merupakan suatu kekeliruan dan
penyimpangan yang besar, karena tidak berdasarkan ilmu tafsir Al-Qur’an dari
para ulama yang tidak diragukan lagi mengenai kredibilitas keilmuan mereka.
Padahal ilmu tafsir Al-Qur’an itu sangat penting sekali dalam memecahkan setiap
permasalah hidup (problem solving) terutama yang berkaitan dengan ayat-ayat
mutasyabbihat dan ayat-ayat kauniyah.
Selain itu, dia menganggap
bahwa ilmu hisab itu bid’ah dholalah dan yang paling benar hanyalah ilmu rukyat
semata dalam penentuan awal bulan Qamariyah seperti awal Ramadhan, Syawal dan
Dzul-Hijjah. Bahkan dia menyalahkan NU, Muhammadiyah, PERSIS dan ormas-ormas
Islam lainnya. Dalam masalah jatuhnya waktu wukuf di Padang Arafah Saudi Arabia
dan masalah jatuhnya hari puasa Arafah di Indonesia juga dia mengikuti
keputusan pemerintah Saudi Arabia. Alasannya pemerintah Saudi Arabia itu
menggunakan rukyat dan rukyatnya didukung dengan teropong-teropong yang canggih
dari Maroko. Kata saya kepadanya: “Bagaimana kita dapat melakukan rukyat
(melihat hilal) dengan baik dan benar kalau tanpa didukung dengan data hisab
yang akurat”? Karena, rukyat yang baik itu harus dilakukan hisab terlebih
dahulu, dengan kata lain
” الرؤية بعد الحساب
“.
Rukyat tanpa data hisab yang akurat sudah barangtentu akan terjadi kesalahan
dalam merukyat. Karena, untuk mengetahui posisi dan ketinggian hilal itu harus
menggunakan ilmu hisab. Begitupula lamanya hilal di atas atau di bawah ufuk itu
hanya bisa diketahui dengan ilmu hisab, yaitu lamanya hanya sekitar beberapa
menit atau detik saja tergantung ketinggian hilalnya.
Salah seorang dari mereka,
KH. Thobary Syadzily berkata kepada Mahrus Ali: “Ilmu hisab itu ibarat
alamat lengkap seseorang pak. Sedangkan, rukyat itu ibarat rumah seseorang.
Bagaimana kita bisa menemukan rumah seseorang kalau tanpa adanya alamat yang
jelas. Coba bapak pikirkan baik-baik !. Saya ini datang dari jauh dan ingin ke
rumah bapak. Apakah saya akan menemukan rumah bapak kalau saya tidak mempunyai
alamat rumah bapak yang jelas?”. Jawab Mahrus Ali: “Oh iya ya pasti
sampeyan tidak bisa menemukan alamat rumah saya!”. Itulah penjelasan KH.
Thobary kepada Mahrus Ali dan diapun mengakuinya secara jujur.
Kemudian KH. Thobary
bertanya lagi kepada dia: “Ngomong-ngomong ! Apakah bapak bisa tidak ilmu
hisab?.”
Jawab dia ( Mahrus Ali ):
“Saya tidak
bisa sama sekali ilmu hisab.“
KH. Thobary Bertanya lagi :
“Mengapa bapak menulis ilmu
hisab di buku karangan bapak yang berjudul “Amaliyah Sesat Di Bulan Ramadhan?.
”
tanya KH. Thobary lagi.
“Bahkan bapak mencela NU dan Muhammdiyah
serta Kementrian Agama Republik Indonesia. “
Jawab Mahrus Ali:
“Oh
itu saya ambil dari internet saja. “
Kata KH. Thobary:
“Memangnya
bapak punya internet?.”
“Ya, saya punya.”, jawab
Mahrus Ali.
Itulah pengakuan sejujurnya
Mahrus Ali kepada KH. Thobary Syadzily. Karena, mereka berusaha meyakinkan dan
memeluruskan pemahaman dia yang salah dan keliru itu tentang ilmu hisab.
Wal
hasil H Mahrus Ali itu tidak faham sama sekali tentang ilmu hisab dan rukyat.
Ternyata tulisan dia tentang hisab itu hanyalah merupakan copy paste dari
internet alias Kitab google saja.
Adapun dalam masalah
penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzul-Hijjah di Indonesia dia menyerahkan
sepenuhnya kepada NU.
Dari sini kita fahami bahwa dia tidak konsisten dengan
pendiriannya semula, padahal secara keilmuan NU itu menggunakan perpaduan
antara Hisab dan Rukyat. Tapi, mengapa dia menganggap ilmu hisdab itu bid’ah
(maksudnya bid’ah dholalah atau sesat).
Bukan hanya itu saja, H.
Mahrus Ali pun sama sekali tidak paham tentang ilmu mantik (logics).
Bagaimana
dia bisa memahami isi Al-Qur’an dan Hadits kalau dia tidak paham tentang ilmu
itu Apakah benar di dulu seorang kyai...? .
Sedangkan, ilmu mantiq merupakan salah satu pendukung untuk membongkar
rahasia Al-Qur’an dan Hadits.
Begitupula ketika ditanya tentang ilmu tauhid pun
pemahamannya sangat dangkal sekali, sehingga apa yang dia pahami dalam masalah
ilmu tauhid tidak sesuai dengan pemahaman aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Dengan demikian, pemahaman keilmuan H. Mahrus Ali benar-benar sangat diragukan
tentang kebenarannya karena tidak sesuai denagn fakta-fakta keilmuan yang
berlaku di dalam ajaran agama Islam.
Itulah ajaran Wahhabi yang dianut oleh H.
Mahrus Ali untuk menyesatkan ummat Islam di Indonesia.
Memang Mahrus Ali itu otaknya
sudah dicuci oleh Wahhabi ketika dia belajar dahulu di Saudi Arabia selama 8
tahun.
Inilah buku karangan Mahrus
Ali yang ternyata cuma diambil dari internet saja! ( Sanad ilmu copy paste ) Masihkah kalian Bangga dengan orang yang mengaku mantan kiyai NU ini .......?
Buku ini dan buku2 lainnya karangan H. Mahrus
Ali penuh dengan kebohongan dan hasil rekayasa dari Wahhabi di atasnya saja.
Dengan kata lain, buku2 itu hanyalah sebagai penyambung lidah Wahhabi (termasuk
penerbit buku “LAA TASYUK” Jln Pengirian No 82 Surabaya dan oknum2 yang berada
di belakangnya) saja yang bertujuan untuk mengadu domba antara NU,
Muhammadiyah, Persis dan ormas2 lainnya dan memperdaya ummat Islam di Indonesia
khususnya para warga Nahdhiyyin. Itulah gaya politik Wahhabi yang murahan dan
rendahan (cheap and low political style of Wahhabi) yang selalu ditampilkan
dalam da’wahnya. Cirinya: Wahhabi itu sangat licik sekali dan suka memecah
belah ummat Islam saja. Cara berpikirnya pun sangat dangkal sekali dan sangat
egoistis alias ingin menang sendiri saja serta suka usilan terhadap urusan
ibadah orang lain yang tidak sepaham dengannya dengan mengecam sesat, musyrik
dan murtad. Dalam hal ini Wahhabi bukannya memajukan ummat Islam di bidang
sains & tehnologi, justru sebaliknya hanya membuat ummat Islam semakin
terperangkap saja dalam jurang kebodohan, sehingga sikapnya itu bisa menjadikan
Indonesia sebagai negara yang tidak bermartabat dan bermoral baik di forum nasional
maupun internasional. Pengarang buku ini sebenarnya bukan mantan kiai NU,
apalagi pernah menjadi anggota atau menjabat di NU. Dia itu orang kampung biasa
yang keadaan hidupnya sangat sederhana sekali dan tidak punya power sedikitpun
di masyarakatnya. Olehkarena itu, penerbit “Laa Tasyuk” memanfa’atkan dia untuk
dijadikan sebagai tumbal politik ekonominya.
Kalau melihat tampang muka dan tata cara shalatnya beserta jama’ahnya, pasti
semua orang menilai bahwa aliran yang dianutnya sangat menyesatkan ummat Islam.
Coba saja lihat di sini foto-foto profil aslinya beserta jama’ahnya !!.
Ini benar-benar
merupakan foto-foto asli dan bukan hasil rekayasa:
Khutbah Jum’atan di rumahnya sendiri diikuti sedikit jamaah yang mungkin sama-sama kurang waras.
Sujud di atas tanah dan memakai sandal ketika sholat jum’at bertempat di rumahnya Mahrus Ali. (gile bener!)
Mahrus Ali bersama komplotannya di kediamannya usai sholat jum’at.
Shalat pake sandal di atas tanah, tidak mau shalat di atas keramik atau ubin.
Jama’ahnya masih waras gak ya?
Sujud langsung di atas tanah tanpa alas, lalu kaki masih terbungkus sandal. bagai mana kalau di atas tanah itu ada kotoran ayam yang sudah kering... apakah shalat di antara najis syah... secara fiqih...?
Pengikutnya bertampang alim pake sorban
Shalat pakai sandal jepit di rumahnya Mahrus Ali. Bisakah menjamin di bawah sandal ini tidak menginjak kotoran atau bekas bangkai sewaktu di jalan...?
Kesesatannya sempat terekam
oleh stasiun tv swasta nasional sewaktu shalat Id.
Shalat Id dengan komplotannya di atas tanah
Tulisan ini semata-mata
sebagai nasehat agar tidak mudah menerima (menelan) informasi yang datang
kepada kita tanpa mengecek atau meneliti informasi tersebut.
Dan Tim Sarkub
telah berhasil menginvestigasi langsung H. Mahrus Ali yang meresahkan ummat
itu. Maka sangatlah mengherankan dengan sikap sebagian kalangan yang tidak
pernah mau mengambil hikmah dan pelajaran dari fenomena kebohongan yang
mengatas namakan ulama seperti kasus di atas, yaitu seorang H. Mahrus Ali yang
mengaku sebagai mantan Kiayi NU dengan tujuan memojokkan NU.
Al-Qur’an telah mengajarkan
kepada kita agar tidak mudah mengambil begitu saja informasi-informasi yang
datang kepada kita, semua itu agar kita terhindar dari tindakan yang bisa
menyebabkan kerugian terhadap orang lain, baik berupa fitnah atau yang lainnya,
sebagaimana tercantum dalam surat Al-Hujarat ayat 6 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ
بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا
فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
‘Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu”
Berikut ini salah satu kutipan yang jelas-jelas bohong, yang berasal dari penulis buku “Menggugat Tahlilan” dan mengatas namakan pengarang kitab I’anath Thalibin,
Didalam buku yang berjudul “Membongkar Kesesatan Tahlilan”, hal. 31, disana dituliskan :
“Dan di antara bid’ah munkaroh yang sangat dibenci adalah apa yang dilakukan orang di hari ketujuh dan di hari ke-40-nya. semua itu haram hukumnya” (lihat buku Membongkar Kesesatan Tahlilan, hal. 31).
Penulis buku tersebut mengutip kalimat tersebut dari kitab Ianatuth Thalibin, yang mana kalimatnya telah di gunting/dipotong atau belum tuntas dan ini yang dijadikan rujukan oleh remaja korban internet. Kutipan diatas juga tercantum dalam buku “Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan”, isinya sebagai berikut :
“Di antara bid’ah munkarat yang tidak disukai ialah perkara yang sangat biasa diamalkan oleh individu dalam majelis untuk menyampaikan rasa duka cita (kenduri arwah), berkumpul dan membuat jamuan majelis untuk kematian pada hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram” (lihat buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, hal. 69).
Berikut ini salah satu kutipan yang jelas-jelas bohong, yang berasal dari penulis buku “Menggugat Tahlilan” dan mengatas namakan pengarang kitab I’anath Thalibin,
Didalam buku yang berjudul “Membongkar Kesesatan Tahlilan”, hal. 31, disana dituliskan :
“Dan di antara bid’ah munkaroh yang sangat dibenci adalah apa yang dilakukan orang di hari ketujuh dan di hari ke-40-nya. semua itu haram hukumnya” (lihat buku Membongkar Kesesatan Tahlilan, hal. 31).
Penulis buku tersebut mengutip kalimat tersebut dari kitab Ianatuth Thalibin, yang mana kalimatnya telah di gunting/dipotong atau belum tuntas dan ini yang dijadikan rujukan oleh remaja korban internet. Kutipan diatas juga tercantum dalam buku “Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan”, isinya sebagai berikut :
“Di antara bid’ah munkarat yang tidak disukai ialah perkara yang sangat biasa diamalkan oleh individu dalam majelis untuk menyampaikan rasa duka cita (kenduri arwah), berkumpul dan membuat jamuan majelis untuk kematian pada hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram” (lihat buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, hal. 69).
Perhatikanlah kutipan
kalimat diatas, maka silahkan bandingkan dengan teks asli dari kitab I’anah,
وفي
حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله
الناس من الوحشة والجمع والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت
عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك
.
“Dan didalam kitab Hasiyatul
Jamal ‘alaa Syarh al-Minhaj (karangan Al-‘Allamah asy-Syekh Sulaiman al-Jamal)
; “dan sebagian dari bid’ah Munkarah dan Makruh mengerjakannya yaitu apa yang
dilakukan orang daripada berduka cita , berkumpul dan 40 harian, bahkan semua
itu haram jika (dibiayai) dari harta yang terlarang, atau dari (harta) mayyit
yang memiliki (tanggungan) hutang atau (dari harta) yang bisa menimbulkan
bahaya atasnya, atau yang lain sebagainya”
Kalimat yang seharusnya di
lanjutkan tapi di potong. Mereka telah menyembunyikan maksud yang sebenarnya
dari ungkapan ulama yang berasal dari kitab aslinya. Mereka memenggal
kalimat secara “seksama” (penipuan yang direncanakan/kebohongan disengaja, red)
demi tercapainya tujuan mereka yaitu melarang bahkan mengharamkan Tahlilan,
seolah olah tujuan mereka didukung oleh pendapat Ulama, padahal hanya didukung
oleh tipu daya mereka sendiri yang mengatas namakan ulama. Bukankah hal semacam
ini juga termasuk telah memfitnah Ulama ? Ucapan mereka yang katanya
menghidupkan sunnah sangat bertolak belakang dengan prilaku penipuan dan
kebohongan yang mereka lakukan.
Mengenai Kebohongan H. Mahrus Ali dalam bukunya, bisa anda baca di buku yang telah diterbitkan oleh Tim Bahtsul Masail PC NU Jember, bukunya berjudul :
“MEMBONGKAR KEBOHONGAN BUKU MANTAN KIAI NU MENGGUGAT
SHOLAWAT & DZIKIR SYIRIK H.MAHRUS ALI”
Sumber : kompasiana sarkub
Tidak ada komentar:
Posting Komentar