Karena malaikat maut tak kunjung menjemput, esok hari lehernya dipenggal. Tubuh tanpa kepala itu disiram minyak dan dibakar. Abu jenazahnya dibawa ke menara pengintai, ditabur-taburkan agar dibawa lari angin dan jatuh hanyut ke aliran deras sungai Tigris.
Kepala tanpa tubuh dikirim ke Khurasan, sebuah kawasan pengikut setia ajaran al-Hallaj. Peristiwa horor ini dilakukan di arena publik, di gerbang kota Baghdad yang selalu ramai sebagai pelintasan penduduk Baghdad atau pun para pendatang.
Sejenak kita bisa bertanya, apa yang dilakukan oleh al-Hallaj sampai ia disiksa dan dihukum mati dengan sadis? Bagi pengikut setia al-Hallaj, ia dibunuh karena aktivitas politiknya. Ia dituduh misionaris Qaramithah — sebuah kelompok yang melancarkan kudeta terhadap Dinasti Abbasi — oleh karena itu bentuk hukuman al-Hallaj seperti mereka yang dituding musuh politik penguasa, disebut “hirabah”, ”bughat” dan pengacau sosial (al-fasad). Mereka dieksekusi, dipancung, dan disalib.
Bagi murid-muridnya ajaran al-Hallaj mengajarkan tauhid paling tinggi. Al-Hallaj mengalami wahdatu al-syuhud (kesatuan penyaksian) — di mana dan kapan pun bisa melihat Allah, karena dirinya telah sirna (fana) dalam hakikat Tuhan. Diriwayatkan dari al-Hallaj berkata, “aku melihat Tuhanku dengan mata hatiku, kusapa Dia “siapa Kamu?” Dia menjawab “kamu”.
Pun pengaruh ajaran dan politik al-Hallaj membawa kekhawatiran dua kubu di penguasa pemerintah Abbasi. Pertama, kubu politik Dinasti Abbasi yang takut pengaruh al-Hallaj akan membawa bentuk pembangkangan baru, setelah sebelumnya pemerintahan ini didera pelbagai pembangkangan politik seperti “Revolusi Negro”, Qaramithah, rongrongan Dinasti Fathimi yang beraliran Syiah Ismailiyah di Tunisia.
Mereka memiliki prasangka yang buruk terhadap al-Hallaj yang dikenal memiliki latar belakang keluarga dan pengikut yang masuk dalam kelompok oposan terhadap penguasa.
Kondisi politik dan ekonomi pemerintahan Abbasi saat itu sedang kacau, akibat
pemberontakan di mana-mana yang menggerus kas negara. Salah satu usaha yang dilakukan adalah menarik upeti dari rakyat dengan harga yang mencekik dan tak jarang melalui perampasan.
Kedermawanan al-Hallaj yang langsung membantu dan membagikan uang pada rakyat tanpa menyerahkannya ke kas negara (baitul mal) membuat penguasa marah.
Kelompok kedua adalah ulama fiqh yang hidup dengan menyusu pada penguasa, yaitu ulama fiqh Maliki dan Dhahiri. Mereka pun melihat ajaran al-Hallaj mengancam doktrin agama dan sumber kehidupan mereka.
Al-Hallaj bersama kalangan sufi lainnya mementingkan ”makna batin” dari teks dan ajaran agama, sedangkan kalangan fiqh berusaha menjelaskan ”makna lahir’ dari teks agama.
Dua kubu yang korup ini bersatu untuk menghancurkan al-Hallaj yang dituding bisa mengancam eksistensi mereka. Cara yang paling efektif untuk memojokkan al-Hallaj dengan dua tuduhan: ia murtad dan zindiq yang berarti musuh agama, ia penganjur ajaran Qaramithah yang berarti ia musuh kerajaan.
Tahun 297 H / 909 M keluar fatwa dari Muhammad bin Dawud ulama madzhab Dhahiri yang mengafirkan al-Hallaj atas tuduhan dia telah bersatu dengan Allah. Al-Hallaj ditangkap dijebloskan ke penjara. Namun Ibn Suraij seorang ulama besar dari madzhab Syafii memberikan pembelaan dengan kata-katanya yang terkenal
”Aku melihatnya orang yang hafal al-Quran, dan memiliki pemahaman yang baik terhadapnya. Ia mahir dalam ilmu fiqh, ilmu hadis, sejarah, dan biografi, ia berpuasa di siang hari, dan shalat di malam hari… ia menangis dan berkata dengan ucapan yang tidak aku pahami, tapi aku tidak menganggapnya sebagai orang kafir”
Pendapat Ibn Suraij ini mampu membantah pendapat Bin Dawud. Untuk sementara, al-Hallaj selamat dari eksekusi. Setelah Ibn Suraij wafat, maka pembela al-Hallaj dari kalangan ulama fiqh yang berpengaruh sudah tidak ada. Kekacauan ekonomi dalam pemerintahan Abbasi menyebabkan krisis politik yang berujung bongkar-pasang kabinet menteri.
Seorang menteri penjilat dan penarik upeti yang kejam diberi wewenang yang besar dalam keputusan politik. Ia bernama Hamid bin al-Abbas. Eksekusi yang gagal terhadap al-Hallaj dirancang kembali.
Hamid menyusun makar untuk menggelar sebuah pengadilan agama untuk ajaran al-Hallaj yang dipimpinnya sendiri. Seorang ulama madzhab Hanbali bernama Ibn Atha’ yang simpati pada al-Hallaj dipukuli sampai sekarat, setelah itu dipulangkan ke rumahnya dan meninggal.
Hamid dibantu Abu Umar bin al-Hamadi ulama fiqh dari Madzhab Maliki yang diketahui memiliki ambisi untuk menduduki posisi hakim-agung (qadli al-qudlat). Seorang ulama dari madzbab Hanafi Ibn Bahlul yang tampak enggan mengikuti persidangan diganti dengan hakim Hanafi lain yang mau bekerjasama. Sedangkan ulama dari kalangan madzhab Syafii dan Hanbali memboikot persidangan ini.
Mudah ditebak, akhirnya jatuh vonis hukuman mati untuk al-Hallaj, tanggal 25 Dzul Qa’dah 309/26 Maret 922. Vonis dari sebuah pengadilan yang penuh rekayasa berasal dari aliansi kotor penguasa yang pengecut dan korup serta ulama yang jahat.
Di kayu salib, al-Hallaj berseru: O Tuhan, lihatlah hamba-hamba-Mu berkumpul menginginkan kematianku, karena ingin membela agama-Mu dan dekat dengan-Mu. Ampuni mereka. Karena apabila engkau menyingkap (Kebenaran) pada mereka seperti yang Kau singkap untukku, mereka takkan melakukan tindakan ini, dan apabila Engkau menutupiku (atas Kebenaran) seperti yang Kau tutupi pada mereka, maka, aku tidak akan diberi cobaan seperti yang aku alami sekarang.
Dalam proses penyiksaan al-Hallaj mengadu O Tuhanku, Engkau mengasihi orang yang menyakitimu, bagaimana Engkau tidak mau mengasihi orang yang disakiti karena-Mu?
Kutipan-kutipan tadi hanya keluar dari orang yang benar-benar merasa dekat, intim, dan menyatu pada Tuhannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar