Oleh : Ibnu Abdillah Al-Katibiy
Telah beredar di internet khususnya dalam situs-situs para penentang madzhab sebuah tulisan yang bersifat sangat profokasi dan merusak persatuan umat Muslim, tulisan yang berisikan tentang bahaya fanatic madzhab yang disasarkan kepada jumhur muslimin yang bermadzhab, sungguh penulisnya yaitu Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi menulisnya berdasarkan :
1. Kebodohan akan persoalan
ijtihad dan madzhab
2. Telah melakukan
kebohongan public
3. Pembodohan besar-besaran
terhadap pembacanya
4. Memvonis kaum muslimin
yang mayoritas ini dengan ta’ashshub pada madzhabnya masing-masing
Abu Ubaidah telah
menunjukkan kedangkalan cara berpikirnya di dalam memahami persoalan
ijtihadiyyah dan mazdhabiyyah, dan kalau mau jujur semua tulisannya justru
berdasarkan taqlid buta kepada para ulama yang juga kontra terhadap madzhab
jumhurul muslimin.
Di sini al-Faqir akan
membongkar pembohongan public Abu Ubaidah di dalam menukil sebuah pujian para
ulama atas para imamnya.
# Di awal tulisan Abu
Ubaidah membawakan sebuah syi’ir pujian sebagai berikut :
Abu Ubaidah :
فَلَعْنَةُ رَبِّنَا أَعْدَادَ رَمْلٍ عَلَى مَنْ رَدَّ قَوْلَ أَبِيْ
حَنِيْفَةَ
La’nat Rabb kami sejumlah
bilangan pasir
Terhadap orang yang menolak
perkataan Abu Hanifah.
Jawaban saya :
Pertama : Abu Ubaidah salah di
dalam menyebutkan sumber dari potongan bait tsb yang sebenarnya adalah
bersumber dari Abdullah bin Mubarak, beriku kelengkapan baitnya :
لقد زان البلاد ومن عليها إمام المسلمين أبو حنيفه بأحكام وآثار وفقه كآيات الزبور على صحيفه فما في
المشرقين له نظير ولا في المغربين ولا بكوفه يبيت
مشمرا سهر الليالي وصام نهاره لله خيفه فمن كأبي حنيفة في علاه إمام
للخليفة والخليقه رأيت العائبين له سفاها خلاف الحق مع حجج ضعيفه وكيف يحل أن يؤذى فقيه له في الأرض آثار شريفه وقد قال ابن إدريس مقالا صحيح النقل في حكم لطيفه بأن الناس
في فقه عيال على فقه الإمام أبي حنيفه فلعنة ربنا أعداد رمل على من رد قول أبي حنيفه
(Raddul Mukhtar ‘ala Ad-Durri Al-Mukhtar juz : 1 hal : 61)
Kedua : Rupanya Abu Ubaidah
tidak mengetahui maksud dari potongan bait Ibnu Al-Mubarak tsb, atau memang ia
sengaja membohongi public dengan menutupi maksud yang sebenarnya.
Inilah syarh / penjelsan
dari makna bait tsb :
( قوله : على من رد قول أبي حنيفة ) أي على من رد ما قاله من
الأحكام الشرعية محتقرا لها ، فإن ذلك موجب للطرد والإبعاد ، لا بمجرد الطعن في
الاستدلال ; لأن الأئمة لم تزل يرد بعضهم قول بعض ، ولا بمجرد الطعن في الإمام
نفسه ، لأن غايته الحرمة فلا يوجب اللعن ، لكن ليس فيه لعن شخص معين فهو كلعن الكاذبين
ونحوهم من العصاة فافهم
“ Ucapan ; La’nat Rabb
kami sejumlah bilangan pasir. Terhadap orang yang menolak perkataan Abu
Hanifah. Maksudnya adalah “ Terhadap orang yang yang menolak dengan merendahkan
ucapan Abu Hanifah dari hukum-hukum syare’atnya, karena hal itu memang
mengahruskan penngusiran dan penolakan (terhadap yg menolaknya hukum syare’at),
bukan semata-mata mencela dari sisi pengambilan dalilnya. Karena sesungguhnya
para imam madzhab memang saling berbeda dengan yang lainnya, dan bukan karena
semata-mata mencela diri pribadi imam tsb, karena hal itu adalah haram. Dalam
bait tsb bukanlah melaknat pada orang tertentu melainkan seperti melaknta
orang2 pendusta, para pelaku maskyiat, maka pahamilah hal ini “.
(Raddul mukhtar juz 1 hal :
63)
# Kemudian Abu Ubaidah
menukil kalam seorang ulama besar dari kalangan madhzab Hanbali yaitu Abul
Hasan Al-Karkhi dengan bertujuan meremehkannya dan memvonisnya telah melakukan
fanatic buta pada madzhabnya, berikut petikannya :
Abul Hasan Al-Karkhiy
Al-Hanafi juga mengatakan: “Setiap ayat dan hadits yang menyelisihi
penganut madzhab kami (Hanafiyyah), maka dia harus dita’wil (diselewengkan
artinya) atau mansukh (dihapus hukumnya)”. (Lihat Ma Laa Yajuzu Al-Khilaf
Bainal Muslimin hal. 95).
Jawaban saya :
Lagi-lagi Abu Ubaidah hanya
meangambil ucapan tersebut dengan memtong-motongnya. Dan ia pun tak paham
maksud dari ucapan tersebut.
Berikut lengkapnya :
لأصل أن كل آية تخالف قول أصحابنا فإنها تحمل على النسخ أو على الترجيح
والأولى أن تحمل على التأويل من جهة التوفيق
“ Pokok berikutnya adalah “
Setiap ayat yang menyelisihi pendapat para ulama kami, maka diarahkan pada
naskh atau diarahkan kepada yang lebih tarjih (kuat), namun yang lebih utama
diarahkan pada ta’wil dari sisi taufiq “. (Usul Al-Karkhi : 84)
Inilah maksud dari ucapan
tersebut :
والفهم الموضوعي المتجرد لهذا الأصل: يشير بكل بساطة إلى مدى حرص فقهاء
الأحناف – كغيرهم من الفقهاء – في عدم تجاوزهم لنصوص الكتاب والسنة وإن بدا شيء من
ذلك ظاهرا فذلك لوقوفهم على علة في ذلك النص من نسخ أو تأويل أو ترجيح دعاهم إلى
صرف النظر عنه.
“ Pemahaman yang objektif
terhadap pokok tersebut adalah : Mengisyaratkan sejauh optimisme para ulama
fiqih Hanafi (sbgaimana juga ulama fiqih madzhab lainnya) untuk tidak melampaui
nash-nash al-Quran dan sunnah. Dan jika Nampak perkara yang mnyelisihi terhadap
al-Quran atau sunnah, maka hal itu disebabkan mereka (para ulama) masih
meneliti atau memahami sebuah illat /alasannya di dalam nash tsb yang berupa
naskh, takwil atau tarjih yang mendorong mereka untuk tidak
Mengabaikan hal ini “.
(Al-Fikru Al-Ushuli : 122-124)
Artinya : “ Terkadang ucapan
para ulama kita berselisih dengan nash al-Quran dengan ijma’ (konsesus) para
sahabat Nabi Saw, atau ditarjih dengan hadits. Maka yang dimaksud ucapan di
atas adalah takhshis yaitu mentakhshis ayat dengan hadits dan hal itu sudah hal
biasa dalam ilmu tafsir. Maka jelaslah bahwa ucapan syaikh Abul Hasan bukanlah
ta’ashshub (fanatik) terhadap madzhabnya “.
Seorang ulama ahli fiqih
yang mendalam seperti beliau tidak mungkin mengatakan harus lebih mendahulukan
pendapat ulama ketimbang al-Quran dan sunnah, sungguh ini tidak mungkin dalam
benak beliau.
Hal ini pun telah dijelaskan
maksudnya oleh syaikh Al-Bazdawi :
وقوله : الأصل أن كل خبر يجيء بخلاف قول أصحابنا فإنه يحمل على النسخ أو
دليل آخر أو ترجيح فيه بما يحتج به أصحابنا من وجوه الترجيح أو يحمل على التوفيق،
وإنما يفعل ذلك على حسب قيام الدليل، فإن قامت دلالة النسخ يحمل عليه وإن قامت
الدلالة على غيره صرنا إليه.
“ Ucpannya : Prinsip dasar
bahwa setiap hadits yang berseberangan dengan pendapat ulama kita, maka
dimungkinkan pada naskh, atau dalil lain atau ditarjih dengan beberapa wujuh
tarjih, atau dimungkinkan berdasarkan taufiq. Sesungguhnya melakukan hal itu
hanyalah sesuai akan tegagknya dalil. Jika tegak dalil adanya naskh, maka
diarahkan ke naskh, dan jika tegak dalil atas selainnya, maka juga di arahkan
kesana “.
Dan ini sesuai dengan
penafssiran Ibnu Taimiyyah :
"وليعلم أنه ليس
أحد من الأئمة المقبولين عند الأمة قبولا عاما يتعمد مخالفة رسول الله صلى الله
عليه وسلم في شيء من سنته، دقيق ولا جليل، فإنهم متفقون اتفاقا يقينيا على وجوب
اتباع الرسول وعلى أن كل أحد من الناس يؤخذ من قوله ويترك إلا رسول الله صلى الله
عليه وسلم ولكن إذا وجد لواحد منهم قول قد جاء حديث صحيح بخلافه فلا بد له من عذر
في تركه .
وجميع الأعذار ثلاثة أصناف :
أحدها : عدم اعتقاده أن النبي صلى الله عليه وسلم قاله
.
والثاني : عدم اعتقاده إرادة تلك المسألة بذلك القول .
والثالث : اعتقاده أن ذلك الحكم منسوخ
رفع الملام عن الأئمة الأعلام (1 / 9، 10.
“ Ketahuilah, sesungguhnya
tidak ada satupun dari para imam madzhab yang diterima oleh umat secara
menyeluruh itu menyalahai Rasulullah Saw di dalam satu sunnahnya saja baik yang
lembut maupun yang jelas. Karena sesungguhnya mereka bersepakat dengan yakin
atas wajibnya mengikuti Nabi Saw, dan setiap ucapan manusia ditolak kecuali
Rasulullah Saw. Akan tetapi jika menemukan salah satu pendapat mereka yang
berselisih dengan hadits shohih, maka harus ada alasan di dalam
meninggalkannya.
Seluruh alasan ada tiga
macam :
Pertama : Tidak meyakini
bahwa Nabi Saw mengatakannya
Kedua : Tidak meyakini
menginginkan masalah tersebut dengan ucapan tersebut
Ketiga : Meyakini bahwa
hukum tersebut dimansukh (dihapus) “.
(Raf’ul malam ‘an aimmatil
a’lam juz : 1 hal : 9-10)
# Kemudian Abu Ubaidah
menampilkan sebagian ucapan yang masyhur dikalangan Malikiyyah :
لَوْ لَمْ يَكُنْ مَالِكاً لَكَانَ الدِّيْنُ هَالِكًا
“ Seandainy bukan karena
Malik, maka agama ini akan hancur “.
Jawaban saya :
Sungguh jika Abu Ubaidah
menuduh pengikut madzhab imam Malik sebagai pengikut yang fanatic dan
berlebihan atas dasar ucapan tsb, maka dia telah menuduh dan memvonis mereka
atas tuduhan yang bersumber dari kedangkalan cara berfikirnya tersebut.
Ucapan tersebut adalah
sebuah wujud rasa syukur para pengikutnya atas anugerah Allah Swt yang
diberikan melalui seorang ulama besar bernama imam Malik, yang telah banyak
berjasa dalam syare’at Islam ini, Kaum muslimin diseluruh penjuru dunia sungguh
telah merasakan jasa beliau dalam hal keagamaan. sehingga agama menjadi kuat
sebabnya. Bukan sebuah ucapan fanatic atau berlebihan. Maka patutlah imam Malik
mendapat pujian semacam itu.
Ucapan-ucapan senada banyak
termaktub di kitab-kitab para ulama, di anataranya pujian imam Syafi’I kepada
imam Abu Hanifah berikut :
قال ابن حجر : وقال الشافعي رضي الله
تعالى عنه : من أراد أن يتبحر في الفقه فهو عيال على أبي حنيفة
“ Ibnu Hajar berkata :
Berkata imam Malik Radhiallahu ‘anhu “ Barangsiapa ingin mendalami dalam ilmu
fiqih, maka dia butuh (merujuk) pada Abu Hanifah “ (Raddu al-Mukhtar : 63)
Dasn juga pujian imam Ahmad
bin Hanbal kepada imam Syafi’I berikut :
قال الإمام أحمد بن حنبل
: ما مس أحد محبرة ولا قلما إلا وللشافعي في عنقه منة
“ Imam Ahmad bin Hanbal
berkata “ Tidaklah seseorang menyentuh tinta dan pena kecuali imam terdapat
jasa imam Syafi’i di dalamnya “.
Beranikah Abu Ubaidah
mengatakan imam Sayfi’I dan imam Ahmad telah fanatic buta pada sesorang ?? atau
berlebihan di dalam pujian ??
# Selanjutnya Abu Ubadiah
berkata “ Dalam madzhab Syafi’iyyah, imam Al-Juwaini As-Syafi’i rahimahullah berkata:
“Menurut kami, setiap orang berakal dan seluruh kaum muslimin, baik di timur
maupun barat, jarak dekat maupun jauh wajib mengikuti madzhab Syafi’i. Bagi
orang yang masih awam dan jahil, mereka harus mengikuti madzhab Syafi’i dan
tidak mencari pengganti lainnya”. (LihatMughitsul Al-Khalq hal. 15-16)
Jawaban saya :
Kedangkalan cara berpikir
Abu Ubaidah semakin nyata saat menampilkan kalam Imam Ibnu Juwaini sebagai
hujjah untuk memvonis ulama syafi’iyyah telah berfanatik buta pada gurunya.
Inilah kalam Ibnu Juwaini
lengkapnya :
وقال إمام الحرمين
الجويني الشافعي نحن ندعي أن يجب على كافة العاقلين وعامة المسلمين شرقا وغربا
بعدا وقربا انتحال مذهب الشافعي ويجب على العوام الطغام والجهال الأنذال أيضا
انتحال مذهبه بحيث لا يبغون عنه حولا ولا يريدون به بدلا
Ucapan beliau menjelaskan
akan pentingnya bertaqlid bagi orang awam kepada seorang ulama yang ahli dalam
berijtihad, bahkan menjadi suatu kewajiban untuk bertaqlid. Dan tidak mengikuti
pendapat orang lain yang tidak ahli dalam berijtihad. Hal ini sudah mnjadi
fakta sejarah dari generasi salaf hingga masa para imam madzhab, bahwa taqlid
atau madzhab adalah sebuah keniscayaan yang tdk bisa diabaikan.
Dalam persoalan ini
saya akan membahasnya secara tersendiri, karena akan butuh penjelsan panjang
dan luas dalam persoalan madzhabiyyah.
# Berikutnya Abu Ubaidah
menampilkan kalam sebagian pengikut madzhab Hanbali :
Perhatikanlah ungkapan ‘Alauddin
Al-Haskafiy Al-Hanafiy ketika memuji imam Abu Hanifahrahimahullah:
“Kesimpulanya, imam Abu
Hanifah merupakan mu’jizat Nabi yang paling besar setelah Al-Qur’an.…”.
(Lihat Ad-Durrul
Mukhtar 1/55-58 diringkas dari Zawabi’ fi Wajhi Sunnah hal. 223
oleh Syaikh Sholah Maqbul Ahmad dan Kutub Hadzara Minha Ulama’ (1/158-167)
oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman).
Jawaban saya :
Sunnguh Abu Ubaidah
sebenarnya justru telah taqlid buta dengan mencomot ucapan tersebut begitu saja
dan langsung memvonis tanpa mau memahami makna yang sebenarnya.
والحاصل
إن أبا حنيفة من أعظم معجزات المصطفى بعد القرآن
Ucapan imam Muhammad bin
‘Alauddin ini, memang benar adanya. Berdasarkan hadits Nabi Saw yang shohih
berikut ini :
عن ابي هريرة رض الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لو كان
العلم بالثريا لتنواله اناس من ابناء فارس
Rasulullah Saw bersabda “
Andaikan ilmu agama itu bergantung di bintang tujuh, niscaya akan dijamah oleh
orang-orang dari putra Parsi “.
(HR. Ahmad dan dishohikan
oleh Ibnu Hibban : 7309)
Menurut para ulama seperti
al-Hafidz as-Suyuthi dan lain-lain, hadits tersebut paling tepat sebagai
isyarat dan rekomendasi terhadap imam Abu Hanifah. Karena dari sekian banyak
ulama yang berasal dari keturunan Parsi, hanya imam Abu Hanifah yang memiliki
reputasi dan popularitas tertinggi dan diikuti oleh banyak umat dari dulu
hingga kini.
Maka pantas beliau disebut
bagian dari mu’jiat Nabi Saw, karena sebelum kelahirannya Nabi Saw telah
mengkabarkannya kepada kita dan kabar gaib ini merupakan mu’jizat Nabi Saw.
Bahkan kalau kita mau
melihat bagaimana para pengagum Ibnu Taimiyyah Al-Harrani memuji Ibnu
Taimiyyah, maka sungguh terlihat mengada-ngada dan bahkan berlebihan :
ما ذا يقول الواصفون له # وصفاته جلت عن الحصر
هو حجة لله قاهرة # هو بيننا اعجوبة الدهر
هو اية في الخلق ظاهرة # انوارها اربت على الفجر
“ Dapatkah mereka melukiskan
sifat-sifat Ibu Taimiyyah #
Sedangkan sifat-sifatnya
yang terpuji telah melampaui batas.
Dia adalah hujjah Allah yang
kokoh #
Dan keajiban masa diantara
kami.
Dia adalah ayat yang terang
bagi makhluk, cahayanya mengalahkan sinar matahari “.
(kitab Ar-Radul wafer, Ibnu
Nashir hal : 96)
Di dalam Hadist Nabi Saw tak
disebutkan bahwa Ibnu Taimiyyah adalah ayat Allah yang diwahyukan untuk
manusia.
Maka beranikah Abu Ubaidah
memvonis para pengagum Ibnu Taimiyyah ini sebagai pengikut yang fanatic buta
dan berlebihan kepada Ibnu Taimiyyah ???
CATATAN :
Kalau Abu Ubaidah mau jujur,
sebenrnya dia sendiri telah melakukan fanatic buta terhadap orang yang belum
jelas keilmuannya, semua tulisannya hanyalah copas dari sebuah situs berikut
ini; http://www.islamadvice.com/ilm/ilm20.htm yang ia terjemahkan ke dalam
bahasa Indoensia dan sedikit ia tambahkan bukan murni hasil dari ijtihad atau penelitiannya.
(Ibnu Abdillah
Al-Katibiy)
14. 10.2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar