Gerakan Wahhabisme mengawali kemunculannya di jazirah Arab pada abad ke-18 dengan pertumpahan darah dan jatuhnya banyak korban. Ironisnya, ini terjadi di antara kaum Muslim sendiri. Tak heran, sebab doktrin yang dogmatis, intoleran, sangat literal dan kaku yang diusung kelompok ini telah melahirkan penolakan total terhadap aliran pemikiran lain sampai ke tingkat yang membabi buta, yakni doktrin takfiri, yang menganggap kelompok lainnya sebagai kafir. Atas dasar klaim purifikasi, yaitu pemurnian ajaran untuk kembali kepada Islam yang benar (menurut versi mereka), gerakan ini mengijinkan perlawanan terhadap semua kaum Muslim yang dipandang tidak sejalan dengan ajarannya. Maka perpecahan di tubuh Islam pun menjadi tak terelakkan. Peradaban Islam pun menjadi semakin jauh tertinggal karena terlalu disibukkan dengan persoalan internal yang sudah usang.
I. Wahhabi Sebagai Sekte Tersendiri
Istilah Wahhabi tidak diproklamirkan oleh pendiri ataupun pengikutnya, melainkan datang dari orang-orang yang berada di luar. Nama tersebut diambil dari perumus doktrin ajaran ini, yaitu Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb (1115 H/ 1703 M – 1206 H/ 1791 M). Hingga saat ini, Wahhabi dijadikan mazhab resmi di Arab Saudi yang pahamnya mendominasi berbagai aspek kehidupan di sana.
Pengikut aliran ini sendiri menolak sebutan Wahhabi, sebab sejak awal telah menjadi stigma yang melahirkan kesan buruk, sehingga mereka lebih memilih istilah al-Muwahhidûn atau Ahl al-Tawhîd, yang berarti orang-orang yang mentauhidkan Allah. Namun justru nama yang mereka gunakan itu mencerminkan keinginan untuk menggunakan secara eksklusif prinsip tauhid yang merupakan landasan pokok Islam. Menurut Prof. Hamid Algar, tidak ada alasan untuk menerima monopoli atas prinsip tauhid tersebut, sebab gerakan ini merupakan hasil ijtihad seorang anak manusia yang bisa benar bisa juga salah. Maka, cukup beralasan dan lazim untuk menyebutnya “Wahhabisme” dan “kaum Wahhabi”.
Para pengikut Wahhabi menyatakan diri bahwa tujuan mereka semata-mata hanya untuk memurnikan tauhid. Tauhid harus dimurnikan sebab telah bercampur dengan apa yang mereka namakan sebagai syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat. Islam yang sarat
beban historis harus dirampingkan dan dibersihkan dengan cara mengembalikan umat Islam kepada induk ajarannya, Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Wahhabisme merupakan fenomena yang bersifat spesifik, yang mesti dipandang sebagai mazhab pemikiran terpisah atau sekte tersendiri. Para pengamat, khususnya non-Muslim, banyak yang melakukan deskripsi ringkas keliru tentang mereka dengan menyebutnya sebagai kelompok Sunni ekstrim atau konservatif. Padahal sejak awal, para ulama Sunni sendiri menganggap mereka bukan bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah. Hal itu disebabkan karena hampir seluruh praktik, tradisi, dan kepercayaan yang merupakan bagian integral Islam Sunni, dikecam oleh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Bahwa kaum Wahhabi kini dianggap sebagai Sunni hal itu mengindikasikan bahwa istilah “Sunni” telah diberi makna yang sangat longgar, yakni sekadar pengakuan terhadap legitimasi empat khalifah yang pertama. Bahkan istilah Sunni yang berkembang sekarang tidak lebih berarti “non-Syi’ah”.Karena itulah, penulis menganggap Wahhabi merupakan sekte atau mazhab tersendiri dalam Islam.
II. Perjalanan Wahhabisme dalam Sejarah
Pendiri gerakan Wahhabi, Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, berasal dari keluarga klan Tamim yang menganut mazhab Hambali, dan sangat terpengaruh oleh tulisan-tulisan seorang ulama bermazhab Hambali bernama Ibnu Taimiyah yang hidup di abad ke-14 M.
Sebelum menjadi mubaligh, ia banyak melakukan perjalanan ke berbagai wilayah yang motifnya tidak begitu jelas Mekkah, Madinah, Baghdad dan Bashrah (Irak), Damaskus (Syria), Qum (Iran), Afghanistan serta India adalah wilayah yang sempat ia kunjungi.
Setelah berkelana dan belajar di berbagai kota, lantas ia pun membawa doktrin-doktrin yang kemudian dijadikan landasan pemikiran dan keyakinannya, yang nantinya dinilai bermasalah oleh mayoritas kalangan Sunni ataupun Syi’ah.
Sebagian peneliti meragukan motif utama Wahhabisme sebagai gerakan keagamaan murni. Mereka mengajukan bukti yang mengarah kepada keraguan tersebut. Salah satunya adalah bukti yang diajukan oleh Dr. Abdullah Mohammad Sindi, seorang professor yang berasal dari Saudi Arabia. Dalam makalahnya yang berjudul “Britain and the Rise of Wahhabism and the House of Saud” ia mengutip sebuah memoar yang ditulis seorang agen rahasia Inggris yang berjuluk Hempher.
Dalam “Confession of a British Spy” , demikian judul memoar tersebut, Hempher mengakui adanya sebuah konspirasi Inggris untuk menggoyang kekuasaan Imperium Ottoman (Utsmaniyah) serta untuk menciptakan konflik di antara kaum Muslim.
Hempher yang berpura-pura memeluk Islam itu menjalin persahabatan panjang dengan Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Hingga akhirnya berhasil melakukan brainwash terhadap Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, sehingga mampu meyakinkannya bahwa kebanyakan kaum Muslim saat itu telah menyimpang dari ajaran yang benar. Dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhab adalah manusia terpilih yang bisa menyelamatkan Islam dari berbagai penyimpangan.
Tentang kepribadian Ibn Abdul-Wahhab, Hempher menggambarkannya sebagai seorang yang tidak stabil, berperangai buruk, gugup, sombong, dan bodoh.
Jika memoar tersebut benar adanya, maka tak diragukan bahwa gerakan Wahhabisme sejak awal sudah terlibat dalam konspirasi yang disusun oleh kolonial Inggris.
Namun karena adanya sebagian peneliti yang meragukan memoar tersebut dengan menunjukkan beberapa kejanggalan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa gerakan Wahhabisme pada awalnya memang merupakan gerakan keagamaan.
Meskipun pada perkembangan berikutnya, adanya campur tangan Inggris tak bisa dipungkiri lagi.
Untuk menarik berbagai analisa dari sebuah gerakan kontroversial ini, penulis membagi perjalanan sejarah Wahhabisme dalam tiga periode:
Periode Pertama (1744-1818): Babak Awal Aliansi Wahhabi-Saudi
Huraymilah terletak di Najd, sebuah wilayah di bagian timur jazirah Arab. Di sinilah dakwah Ibnu ‘Abdul Wahhab dimulai setelah kembali dari pengembaraannya. Ajarannya yang keras itu mengalami penolakan dari masyarakat setempat, termasuk dari ayah dan saudaranya sendiri.
Pada periode ini, Ibnu ‘Abdul Wahhab menyusun sebuah buku kecil sederhana yang diberi judul Kitâb al-Tawhîd, sebuah rujukan yang miskin bobot intelektual, sebab di dalamnya tidak ada penjelasan yang menunjukkan bangunan kerangka berpikir sang penulis. Tentang kitab ini, simak komentar Prof. Hamid Algar:
Alih-alih menguraikan doktrin Islam yang paling fundamental seperti tercermin dari judulnya, buku kecil itu hanya berisi kumpulan hadits tanpa diberi komentar, yang disusun dalam enam puluh tujuh bab.
……
Adalah lebih mendekati kebenaran untuk mengatakan buku ini dan karya-karya lain Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab merupakan catatan-catatan seorang pelajar.
……
Tampaknya para pelindung Wahhabisme merasa malu dengan ketipisan karya Muhammad bin ‘Abd Wahhab, sehingga mereka memandang karya itu perlu dipertebal ukurannya.
Setelah empat belas tahun menyebarkan ajarannya, ia kembali ke tempat kelahirannya, ‘Uyaynah, yang kini memiliki kondisi yang lebih menguntungkan. Penguasa setempat, yaitu ‘Utsman ibn Mu’ammar memperluas perlindungannya kepada Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dan bersumpah untuk setia kepada pemahaman tauhid yang didakwahkan oleh Ibnu ‘Abdul Wahhab.
Perlindungan penguasa membuat Ibnu ‘Abdul Wahhab semakin tak terkendali. Ia semakin terang-terangan mengkafirkan semua kaum Muslimin yang dianggapnya melakukan bid’ah. Ia mulai mengutuk berbagai tradisi dan akidah kaum Muslimin serta menolak berbagai tafsir Al-Qur’an yang dianggapnya menyimpang.
Namun ini tidak berlangsung lama. Penguasa saat itu, ‘Utsman ibn Mu’ammar, menyerah kepada pimpinan suku yang kuat di wilayah itu, sehingga pada tahun 1744 ia diusir penguasa baru yang membuatnya pindah ke Al-Dir’iyyah (masih di Najd), ibu kota keamiran Muhammad bin Sa’ud, yang notabene bermusuhan dengan amir ‘Uyainah saat itu. Di sinilah Ibnu ‘Abdul Wahhâb mendapat perlindungan. Selanjutnya terbentuklah sebuah aliansi permanen yang meliputi tiga aspek: politik, keagamaan, dan perkawinan. Di bidang politik, sebagai amir Ibnu Sa’ud mendapatkan legitimasi keagamaan; dalam bidang keagamaan Ibnu ‘Abdul Wahhab diuntungkan dengan diangkatnya menjadi qadi serta ajarannya dinyatakan sebagai mazhab resmi; dan dalam perkawinan Ibnu Sa’ud mengawini salah seorang putri Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Sebuah aliansi yang tentu saja menguntungkan kedua belah pihak.
Prof. Abdullah Mohammad Sindi menyebutkan bahwa lagi-lagi Inggris mengambil peran penting dalam rangka terwujudnya aliansi tersebut.
Melalui dukungan uang dan senjata, Inggris semakin mudah menghasut mereka aliansi tersebut.
Inilah babak awal lahirnya sebuah negara teokratik yang kelak mengontrol ketat segala macam bentuk interpretasi keagamaan khususnya di Arab Saudi.
Muhammad bin Saud kemudian menyatakan secara terbuka penerimaannya terhadap berbagai pemikiran dan pandangan keagamaan Muhammad bin Abdul Wahhab. Tahun 1159 H/ 1746 M, aliansi Wahhabi-Saudi melakukan proklamasi formal jihad melawan semua orang yang tidak sejalan dengan pemahaman tauhid Wahhabisme, yaitu orang-orang yang dianggap sebagai kafir, musyrik, dan murtad.
Mula-mula mereka menyerang mazhab Syi’ah, kemudian kaum sufi, lalu mulai menyerang orang-orang Sunni. Semua yang tidak mau mengikuti mazhab mereka dianggap kafir dan halal darahnya.
Dalam kurun waktu 10 tahun, aliansi tersebut tumbuh pesat menjadi kekuatan dominan di jazirah Arab. Wilayah kekuasaan Muhammad bin Sa’ud berkembang seluas 30 mil persegi.
Tahun 1206 H/ 1791 M, tidak lama sesudah bentrokan dengan penguasa Madinah, Muhammad bin ‘Abdul Wahhab meninggal. Namun hal ini tidak mengurangi motivasi untuk melakukan penaklukan dan pembantaian. Malah, kekuatan mereka tumbuh semakin besar.
Pada bulan April tahun 1801, mereka membantai kaum Syi’ah di Karbala, tercatat 4000 orang dibantai secara kejam. Secara brutal pula mereka menghancurkan makam Imam Husain di sana. Tahun 1810 mereka membunuh orang-orang tak bersalah di jazirah Arab.
Di Makkah mereka menjarah orang-orang yang menunaikan ibadah haji. Di Madinah mereka menyerang dan menodai Masjid dan makam Nabi.
Menyadari kekuatan yang semakin besar, maka target selanjutnya adalah melepaskan diri dari dari Imperium Utsmani.
Tidak butuh waktu lama, ekspansi Wahhabi berhasil menimbulkan instabilitas di wilayah kekhalifahan tersebut, terutama di semenanjung Arabia, Irak dan Syam.
Periode Kedua (1818-1932): Kekalahan dan
Kebangkitan Baru
Pendudukan kaum Wahhabi atas Haramain memaksa pewaris kekhalifahan yang resmi, yakni Kerajaan Utsmaniyah, untuk bertindak tegas. Terlebih, berbagai aksi teror yang dilancarkan kelompok Wahhabi itu telah membangkitkan kemarahan kaum Muslim sedunia.
Untuk menindaklanjutinya, Istanbul mengirim pasukan Mesir untuk menumpas gerakan tersebut. Tahun 1818 M, Ibrahim Pasya dari Mesir mengalahkan kelompok Wahhabi. Dir’iyyah pun diratakan dengan tanah.
Abdullah al-Sa’ud, amir saat itu, beserta dua pengikutnya diseret ke Istanbul. Di depan publik kepalanya dipenggal. Sebagian lagi dibawa ke Kairo untuk ditahan di sana. Ini merupakan sebuah pelajaran yang hendak ditunjukkan Kerajaan Utsmaniyah kepada orang-orang yang menggabungkan ambisi politik dengan penyimpangan agama.
Kekalahan itu membuat kelompok Wahhabi yang tersisa semakin terbakar api permusuhan terhadap kelompok Muslim lainnya.
Tapi ironisnya, semakin mendekatkan diri kepada kolonial Inggris. Ini terlihat ketika tahun 1851, Faisal Ibn Turki al-Saud yang sebelumnya berhasil meloloskan diri dari tahanannya di Kairo, kembali meminta dukungan Inggris. Sebagai tindak lanjut hubungan itu, tahun 1865 Inggris mengirim Kolonel Lewis Pelly ke Riyadh untuk membuat suatu perjanjian.
Di awal abad ke-20, tatkala kekuatan dan strategi Inggris semakin berhasil merongrong kekhalifahan Utsmaniyah, kembali pemimpin Wahhabi saat itu, Abdul ‘Aziz, dimanfaatkan.
Lagi-lagi, teror kembali dilakukan kelompok Wahhabi. Dilaporkan, sekitar 1200 orang yang membangkang dibantai secara kejam.
Berkat sokongan Inggris, perlahan tapi pasti aliansi Wahhabi-Saudi di bawah kepemimpinan Abdul ‘Aziz berhasil menaklukkan hampir seluruh jazirah Arab. Puncaknya, tahun 1932 kerajaan Saudi Arabia terbentuk.
Ini menandai periode kebangkitan baru aliansi Wahhabi-Saudi.
Periode Ketiga (1932-Sekarang): Patron Baru dan Melemahnya Ikatan
Periode ini ditandai dengan perolehan atas kekayaan minyak dan peralihan dari Inggris ke Amerika sebagai patron asing utama mereka. Kembali aliansi ini dijadikan instrumen istimewa untuk kepentingan Amerika dan sekutunya di Timur Tengah.
Melalui kucuran petrodollar, dalam beberapa dekade terakhir ini Saudi dan Wahhabismenya itu berupaya tidak saja menghilangkan stigma buruk yang melekat kepadanya, tetapi juga secara dramatis berusaha meningkatkan citra diri di tengah dunia Islam. Oleh karena itu, Wahhabisme kini telah disajikan sebagai gerakan reformis yang semata-mata bertujuan untuk melakukan purifikasi di tubuh Islam.
Sang pendiri, Muhammad Ibn Abdul-Wahhab pun ditampilkan sebagai tokoh pembaharu yang telah berhasil memurnikan Islam dari berbagai noda.
Hal-hal memalukan yang menjadi sorotan dunia pun berusaha dieliminasi. Perlakuan diskriminasi terhadap kaum perempuan sebagai warga kelas tiga semakin dikurangi. Tetapi isu-isu sektarian yang menyangkut perlakuan buruk terhadap mazhab minoritas, tetap berlangsung.
Namun seiring berjalannya waktu, gejala melemahnya ikatan antara kelompok keagamaan Wahhabi dan keluarga Saudi pun semakin kentara. Pemicu utamanya adalah maraknya korupsi, gaya hidup hedonis, serta mulai munculnya gejala sekularisasi.
Sejumlah kecil orang mulai berani mengecam dan berani mengungkap penyimpangan-penyimpangan rezim Saudi.
Pemberontakan di Mekkah bulan November 1979, yang dipimpin oleh Juhaiman Muhammad ‘Utaibi, seorang mantan Kopral Garda Nasional Saudi, menjadi peringatan awal adanya kekecewaan pada sebagian kalangan terhadap kerajaan Saudi. Dikuasainya Masjidil Haram oleh sekelompok bersenjata cukup mengejutkan dunia. Gejolak politik pun meledak. Lalu tentara Amerika dan Eropa bersatu membantu pemerintah Saudi memulihkan situasi di tanah suci.
Perang teluk 1991 dan ekspansi besar kehadiran Amerika semakin membuat lebarnya jurang antara kelompok Wahhabi dan rezim Saud.
Sementara pemerintah Saudi semakin mesra dengan Amerika, para ulama Wahhabi justru menganggap Amerika dan sekutunya adalah musuh yang harus diperangi.
Lantas orang bertanya, jika demikian, di mana ulama-ulama Wahhabi ketika Irak diluluhlantakkan Amerika, ketika Hizbullah menahan gempuran Israel selama 33 hari, juga ketika genosida terhadap rakyat Palestina berlangsung hingga kini? Jawabnya sederhana: haram membantu perjuangan orang-orang yang tidak seakidah dengan mereka.
Itu pula yang menyebabkan kerajaan Saudi setengah hati ketika mendukung penyerangan Amerika terhadap tentara Taliban di Afghanistan yang nota bene berpaham Wahhabi.
Maka ketika World Trade Center di New York luluh lantak pada tanggal 11 September 2001, ulama Wahhabi bernama ‘Abdullah bin Jibrin mengeluarkan fatwa yang tidak hanya membenarkan serangan terhadap WTC, tetapi juga mengutuk orang-orang murtad dan kaum Muslim yang berkolaborasi dengan Amerika, sebuah kategori yang jelas di dalamnya termasuk keluarga Kerajaan Saudi.
Namun meski demikian, masih banyak jajaran ulama Wahhabi yang tetap setia dengan rezim Saudi.
III. Salafisme: Wajah Baru Wahhabisme?
Ada pengertian yang agak kabur antara Wahhabisme dan Salafisme, apakah keduanya sama atau berbeda. Pasalnya, kaum Wahhabi sering pula mengatasnamakan diri sebagai As-Salaf.
Namun jika ditinjau dari kategorisasi historis, terdapat perbedaan di antara keduanya.
Sebagai respons terhadap berbagai perkembangan yang terjadi di dunia Islam, berkaitan dengan makin luasnya dominasi kaum imperialis Barat, muncullah tokoh-tokoh pembaharu seperti Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, lalu dilanjutkan dengan Ikhwan al-Muslimin, dan singkatnya diteruskan oleh berbagai tokoh dan gerakan yang dikenal sebagai Salafiyah.
Diantara tokoh-tokoh pembaharu di atas, Rasyid Ridha dikenal paling fundamentalis dan konservatif. Seperti Ibn Abdul Wahhab, referensi langsungnya adalah kepada masa lalu dan para pendahulu yang saleh (al-salaf al-shâlih), karena itu gerakan mereka disebut sebagai Salafiyah. Namun tidak seperti Wahhabisme, gerakan ini berusaha merekonsiliasi ide-ide “modern” dan Islam dengan menemukan (dan menafsirkan) kembali kebaikan-kebaikan yang menurut mereka terdapat dalam agama.
Akibat situasi politik di dunia Arab, era 1960-an tercipta hubungan yang lebih erat antara Salafi dan Wahhabi ketika tejadi perang dingin antara kubu Mesir dan Arab Saudi. Di bawah payung organisasi Liga Dunia Muslim yang dibentuk Arab Saudi tahun 1962, kaitan lebih erat antara kaum Salafi dan Wahhabi terwujud.
Para anggota Ikhwan al-Muslimin di Mesir (dan belakangan di Suriah) hampir sulit disalahkan jika mereka mendekatkan diri kepada Arab Saudi, mengingat serangan-serangan yang mereka terima di negeri mereka sendiri. Padahal kekhawatiran mereka sangat beralasan, yakni semakin prihatin dengan cengkeraman imperialisme asing. Mungkin itulah sebabnya orang-orang dengan kecenderungan Salafi seperti Rasyid Ridha, yang dengan perasaan kecewa tengah mencari seorang pahlawan, mulai bersimpati pada Wahhabisme.
Di tengah transformasi Islam yang berkembang di Timur Tengah saat itu, salah satu yang dikenal bercorak Tegas adalah yang lahir dari buah pemikiran Sayyid Quthb (w.1960). Awalnya ia menggambarkan kondisi masyarakat kontemporer sebagai neo-Jahiliyyah,
namun kemudian ditafsirkan secara radikal oleh aliran Islamis yang lebih muda dan ekstrem di Mesir (dan di beberapa tempat di Timur Tengah). Implikasi paling serius yang telah dielaborasi adalah konsep takfir. Muslim nominal (Islam “KTP”) telah menjadi kafir dan karena itu secara potensial diperbolehkan dibunuh.
Watak radikal itulah barangkali yang membuat sebagian orang menyamakan Salafisme dengan Wahhabisme.
Memang Salafisme memiliki sejumlah kesamaan pandangan keberagamaan dengan Wahhabisme, tetapi perbedaannya cukup mencolok.
Adapun yang membedakannya adalah sebagai berikut:
1. Salafi lebih menekankan persuasi daripada pemaksaan dalam rangka mengajak kaum Muslim untuk menerima pandangan mereka.
2. Salafi memiliki kesadaran dan pengetahuan mengenai krisis politik dan sosial-ekonomi yang melanda dunia Islam.
3. Salafi merekonsiliasikan ide-ide modern dengan nilai-nilai dalam Islam.
Perbedaan di atas bisa ditarik ketika—sekali lagi—istilah Salafisme dikaitkan dengan kategorisasi historis sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Mengingat saat ini agak kabur untuk membedakan keduanya, terutama yang berkembang di Indonesia.
IV. Sekilas Ajaran Wahhabisme
Setelah memaparkan sejarah perkembangan Wahhabisme, penting kiranya untuk sedikit menyinggung doktrin utama ajaran mereka.
Dari paparan sejarah sebelumnya, sebetulnya dapat terbaca bagaimana corak ajaran mereka. Namun di bagian ini penulis akan mencoba meringkasnya seraya menambahkan beberapa poin yang penulis anggap penting.
Kaum Wahhabi, seperti pendirinya, adalah orang-orang yang berpikir sangat linier, literal, kaku, serta sangat denotatif dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits.
Umumnya mereka menolak majâz (metafora). Bagi mereka, semua inovasi itu sesat dan semua yang sesat itu masuk neraka. Sehingga bid’ah hanyalah sebuah eufimisme, kata pelembut untuk ‘kafir’
Mereka juga menolak keberadaan seni dan budaya dalam Islam, serta tidak mementingkan peninggalan sejarah Islam. Oleh karena itu, tempat-tempat bersejarah Islam seperti rumah tempat kelahiran Nabi, rumah Ummul Mu’minîn Khadîjah, serta tempat tinggal Nabi dihancurkan.
Padahal, menurut Syaikh Ja’far Subhani, awalnya Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab memusatkan upayanya hanya untuk menghancurkan kuburan-kuburan saja, bukan menghancurkan setiap peninggalan yang ditinggalkan Rasulullah dan para sahabatnya yang mulia.
Tetapi para pengikutnya kini telah meluaskan usahanya dengan melakukan pemusnahan setiap peninggalan Islam, dengan dalih perluasan kedua tempat suci, Makkah dan Madinah.
Ini tentu sangat disayangkan dan penting untuk diperhatikan kaum Muslim di seluruh dunia.
Kian hari umat Islam mengalami persoalan yang kian menumpuk. Namun bagi Wahhabi, persoalan utama umat Islam terletak pada masalah tauhid, di mana mereka membaginya menjadi tiga bagian:
1). Tauhid al-Rububiyyah
Tauhid ini mengandung arti pengakuan bahwa hanya Allah semata yang memiliki sifat rabb, penguasa dan pencipta dunia, yang menghidupkan dan mematikan. Tauhid ini sekadar pengakuan verbal yang dengannya saja belum memadai untuk mencapai kualitas sebagai Muslim.
2). Tauhid al-Asma wa al-Sifat
Mengandung pengertian hanya membenarkan nama dan sifat yang disebut dalam Al-Qur’an. Tidak diperbolehkan menerapkan nama-nama tersebut kepada siapapun selain Tuhan. Ini merupakan ulangan dari apa yang dirumuskan oleh Ibn Taymiyyah yang mengecam antropomorfisme.
3). Tauhid al-‘Ibâdah
Mengandung pengertian bahwa seluruh ibadah hanya ditujukan kepada Allah. Tauhid inilah yang dianggap paling penting, yang membatasi secara tegas antara Islam dan kufur, antara tauhid dan syirik. Di sini tauhîd al-‘ibâdah didefinisikan secara negatif, dalam arti menghindari praktik-praktik tertentu; bukan secara afirmatif. Inilah yang mengakibatkan perasaan takut terhadap apa yang dianggap sebagai penyimpangan. Ini membantu menjelaskan mengapa Wahhabisme memiliki watak yang sangat keras.
Maka segala macam bentuk tawassul, ziyarah, tabarruk, syafâ’ah, hingga praktik-praktik yang telah menjadi tradisi dalam Islam Sunni dan Syi’ah sepeti maulid, dianggap sebagai pelanggaran atas tauhîd al-‘ibâdah.
Dalam pandangan Wahhabi, bid’ah dibagi menjadi dua:
1). Bid’ah dalam adat dan tradisi;
2). Bid’ah dalam agama. Bid’ah yang pertama hukumnya mubah/ boleh, sedangkan yang kedua haram dan sesat.
Bid’ah yang kedua kemudian dibagi lagi menjadi dua:
bid’ah qawliyyah i’tiqadiyyah dan bid’ah fi al-‘ibadah.
Bagi Wahhabi, kaum Syi’ah, Sufi, dan kebanyakan kaum Sunni telah melakukan bid’ah baik bid’ah qawliyyah i’tiqadiyyah maupun bid’ah fi al-‘ibadah.
Maka dari itu boleh (bahkan harus) diperangi.
V. Refleksi
Wahhabisme pada awalnya memang merupakan sebuah gerakan keagamaan murni hasil pemikiran seorang anak manusia sebagai respons terhadap praktik-praktik lokal keberagamaan yang dipandang menodai kemurnian Islam.
Bahwa kemudian ia dijadikan alat oleh Inggris untuk menancapkan hegemoninya, ini adalah hal lain yang memang tak dapat dipungkiri, bukti-bukti sejarah menunjukkan demikian.
Namun mengatakannya bahwa sejak awal memang sudah diatur oleh Inggris, memerlukan bukti-bukti yang lebih kuat lagi. Adapun memoar ‘Confession of a British Spy’ tidak cukup kuat dijadikan bukti karena mengandung beberapa kejanggalan, walaupun tetap patut dibaca untuk ‘meraba’ situasi jazirah Arab saat itu.
Jika saja aliansi Wahhabi-Saudi tak memiliki kekayaan berupa cadangan minyak raksasa, gerakan Wahhabisme mungkin hanya tergores dalam catatan sejarah sebagai gerakan pemikiran yang secara intelektual bersifat marjinal dan berumur pendek saja.
Namun nasib baik sebagai negeri kaya raya mampu membuat mereka eksis hingga saat ini. Mereka memiliki modal kuat sehingga mampu menyebarluaskan paham Wahhabisme di dunia Islam, hingga ke Indonesia.
Dan penyebaran paham Wahhabisme di Indonesia terbilang cukup pesat. Inilah salah satu sebab mengapa Indonesia yang sebelumnya sering disebut sebagai contoh par excellence masyarakat Muslim yang lembut dan sejuk, perlahan mengalami radikalisasi akibat pengaruh ideologi dan kebudayaan luar.
Karakteristik Wahhabisme yang sangat kaku telah ikut membunuh tradisi dialektika yang mewarnai peradaban Islam berabad-abad lamanya. Contoh konkretnya bisa didapati di Makkah dan Madinah. Sangat disayangkan bahwa Haramain yang telah berabad-abad lamanya menjadi pusat intelektual dunia Islam, di tangan Wahhabi berakhir.
Nyaris tak menyisakan apapun kecuali lembaga-lembaga dakwah Wahhabisme yang secara absurd diberi label Universitas.
Padahal kegiatan intelektual menentukan perkembangan peradaban suatu bangsa. Selama masih dalam genggaman kekuasaan Wahhabi, sulit mengembalikan Makkah dan Madinah ke masa-masa awal ketika kedua kota tersebut masih menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam.
Imbas ekspansi Wahhabisme menyentuh pula aspek seni dan budaya. Fakta yang ditemukan kini, nyaris tak ada peninggalan seni dan budaya Islam di Arab Saudi. Maka menjadi sebuah ancaman serius ketika mereka berhasil mengekspor pahamnya hingga berhasil memberangus seni dan budaya yang merupakan muatan lokal suatu wilayah.
Memang sulit diterima ketika Wahhabisme menolak keragaman budaya dan apresiasi terhadap seni. Sejak dulu kala keragaman seni dan budaya dalam Islam begitu kaya, ekspresinya amat berwarna. Bahkan dalam pandangan sufistik, seni merupakan manifestasi keindahan ilahiah yang mampu membangkitkan gairah spiritualisme.
Hal lainnya yang patut menjadi sorotan adalah masalah persatuan Islam. Cara-cara radikal yang mereka tempuh telah mengantarkan kepada tindakan kontra produktif. Persatuan Islam yang selama ini telah dijaga utuh oleh berbagai kalangan baik Sunni ataupun Syi’ah terancam secara serius akibat pandangan sempit kelompok Wahhabi, yang sayangnya lagi, mudah dijadikan alat adu domba oleh musuh Islam yang sesungguhnya.
Telah banyak sarjana, baik Muslim maupun non-Muslim, yang merasa prihatin dengan implikasi negatif ekspansi Wahhabisme. Mereka cukup produktif menghasilkan karya ilmiah untuk mengungkap sejarah kelam Wahhabisme.
Sayangnya, isu ini bukan sesuatu yang menarik bagi sebagian besar masyarakat kita. Maka akibat sikap lalai, tak heran jika paham Wahhabisme dengan mudahnya masuk ke sekolah-sekolah hingga ke Universitas.
Mungkin membingungkan mengapa para mahasiswa dapat tertarik pada pandangan Wahhabisme. Namun ketertarikan itu bisa jadi wajar, mengingat para mahasiswa terbiasa dengan pandangan dunia rasionalistik yang didorong oleh studi mereka di bidang teknologi, rekayasa dan ilmu alam.
Lantas mereka mendapati di dalam Wahhabisme ada Islam yang (seolah) telah dirasionalkan, yakni Islam yang telah dibersihkan dari kompleksitas teologi dan kerumitan sufisme, yang dinilai sebagai tambahan yang tergolong bid’ah. Singkatnya, mereka menemukan bahwa Islam yang disajikan dalam bentuk sederhana dan “hitam-putih” cocok bagi mereka.
Perlu dicatat bahwa tidak semua paham Wahhabi dan Salafi yang ada sekarang setuju dengan cara-cara kekerasan. Ini seiring dengan dinamika kehidupan, spektrum yang terbentuk menjadi semakin lebar dan melahirkan kategorisasi-kategorisasi baru.
Dalam hal ini, selama mereka tidak menggunakan cara-cara kekerasan, dakwah mereka tidak dapat disalahkan. Justru ini menjadi PR besar bagi kita untuk berusaha menyajikan ilmu-ilmu agama “orisinil” sebagai menu yang mengundang selera anak-anak muda sejak dini.
Sebab, bisa jadi mudahnya mereka terdoktrin oleh ajaran Wahhabisme disebabkan karena kebanyakan dari mereka belum menyadari betapa samudera keilmuan Islam sesungguhnya begitu luas dan mempesona
Tidak ada komentar:
Posting Komentar