Adapun Imam Ja’far Asshadiq, maka Al-Hafidh Ibnu Hajar menyatakan, dalam menulis riwayat hidupnya :
Ali bin Al-Ja’ad meriwayatkan dari Zuhair berkata kepada Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad :
“Sesungguhnya aku mempunyai seorang tetangga yang beranggapan bahwa engkau berlepas diri (tidak mengakui dan tidak mencintai) Abu Bakar dan Umar”. Abu Abdillah Ja’far berkata :Semoga Allah melalaikan orang itu (menjauhkan dia dari rahmat-Nya). Demi Allah, sesungguhnya aku berharap semoga Allah memberi manfaat kepadaku dengan adanya hubungan kekerabatan antara aku dengan Abu Bakar”.
Hafsu Ibnu Ghiats berkata :
“Saya mendengar Ja’far Asshadiq bin Muhammad Al-Bagir berkata: “Tiadalah aku mengharap syafa’at dari Ali melainkan aku mengharap syafa’at serupa pula dari Abu Bakar”
Salim bin Abi Hafshah berkata :
“Saya mendatangi Ja’far bin Muhammad, menjenguk beliau ketika sedang sakit, Ja’far berkata : “Ya Allah sesungguhnya aku mencintai Abu Bakar dan Umar serta mengakui mereka sebagai pemimpin. Ya Allah, jika sekiranya di dalam hatiku ada perasaan selain yang demikian, maka semoga aku tidak mendapat syafa’at Nabi Muhammad SAW“. Salim ini adalah seorang yang dapat dipercaya (thigah), hanya saja dia seorang Syi’ah yang ekstrim membenci kedua sesepuh (Assyaikhain) Abu Bakar dan Umar“. (Penulis buku ini Habib Alwi bin Thahir Al-Haddadmemberi komentar sebagai berikut : Keterangan terakhir yang menyatakan bahwa pembawa riwayat ini adalah seorang Syi’ah yang ekstrim malah dapat menjadi bukti yang kuat atas kebenaran riwayat ini, karena dia meriwayatkan sesuatu yang dapat menjadi alasan yang kuat bagi mereka yang bertentangan dengan dia, lagi pula dia meriwayatkannya dari Imam Ja’far Asshadiq yang diakui sebagai salah seorang imamnya. Demikian Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad).[1]
Abbas Al-Hamdzani meriwayatkan katanya :
“Ketika kami akan pergi meninggalkan kota Madinah, Imam Ja’far Asshadiq bin Muhammad Al-Bagir datang kepada kami dan berkata “Kalian Insya Allah tergolong orang-orang terbaik di negeri kalian, maka hendaklah kalian sampaikan kepada penduduk negerimu dari aku (Ja’far Asshadiq) hal-hal sebagai berikut : Barang siapa beranggapan aku ini sebagai Imam yang wajib ditaati, maka aku berlepas diri dari orang itu dan barang siapa beranggapan aku berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar dan tidak mengakui rnereka sehagai khalifah yang sah, maka aku berlepas diri dari padanya”.
Dalam kitab Masyra’ Arrawiy diriwayatkan :
“Ada orang bertanya kepada Ja’far Asshadiq (katanya) ada segolongan orang beranggapan, orang yang mengucapkan talak (cerai) tiga sekaligus tanpa pengetahuan, maka talak itu dikembalikan kepada sunnah menjadi satu talak dan mereka rneriwayatkan dari anda “. Imam Ja’far Asshadiqmenjawab : “Semoga Allah melindungi kami (dari hal itu), Kami tidak pernah berkata demikian. Barang siapa mengucapkan talak tiga (sekaligus), maka berlakulah apa yang diucapkannya”.
Penulis (Habib Alwi bin Thahir) berkata :
“Imam Annaqib Muhammad bin Ali Uraidhi pernah juga ditanya tentang hal semacam itu dan juga memberi jawaban sama dengan jawaban datuknya. Drngan soal-soal semacam ini dan soal-soal lain orang dapat mengambil kesimpulan bahwa beliau tidah tergolong pengikut Madzhab Syi’ah Imamiyah (yang berpendirian bahwa talak tiga yang diucapkan sekaligus dihitung satu talak) seperti mereka yang mendasarkan pendapatnya pada perkiraan dan dugaan semata.
Hal itu diriwayatkan oleh Muhammad bin Manshur Al-Kufi Al-Muradi dengan sanadnya kepada Imam Ja’far Asshadiq melalui riwayat Husain bin Zaid bin Ali dari Imam Ja’far.Juga melalui riwayat Abu Dhamrah, Hatim, Abu Hamzah, Ibrahim bin Yahya dan Assariy bin Abdillah Assulami serta Muhammad bin Ali bin Ja’far, berkata : “Muhammad bin Ja’far telah meriwayatkan kepadaku dari ayahnya Abu Ja’far, bahwa seseorang bertanya kepadanya, katanya dia telah menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus. Beliau menjawab :“Engkau telah melakukan kesalahan dan bertanggung jawab atas kesalahan itu. (yakni talak itu berlaku)”.
Orang yang dimaksud dengan Muhammad bin Ali adalah Muhammad Al-Azraq, kakek Imam Ahmad Al-Muhajir, dan Muhammad bin Ja’far adalah paman Muhammad bin Ali ini, terkenal dengan julukan Addibaj. Beliau inilah yang pernah dibai’at sebagai khalifah pada masa berkecamuknya perang saudara antara Amin dan Ma’mun (putra-putra Harun Al Rasyid). Keponakannya Muhammad bin Ali Uraidhi yang terkenal dengan julukan Al-Azraqadalah di antara orang-orang yang telah membai’atnya, demikian pula saudaranya Ali Al-Uraidhi. Muhammad bin Manshur berkata : “Abu Kuraib meriwayatkan kepada kami dariHafzh bin Ghiats katanya : “saya mendengar Ja’far bin Muhammad berkata : “barangsiapa mengucapkan talak tiga, maka akan berlaku baginya talak tiga. Itulah pendirian kita Ahlul Bait. Barangsiapa mengucapkan talak tiga akan jatuh tiga.
Muhammad b. Manshur berkata : “Saya bertanya kepada Ahmad bin Isa bin Zaid, tentang seseorang yang mengucapkan talak tiga terhadap istrinya. Ahmad bin Isa menjawab : “Berlakulah talak itu dan bercerailah dia dari istrinya. Kita tidak berpendirian seperti golongan Rafidhah “.
Semua riwayat tersebut bersumber dari kita “badai’il Anwar Fi Ikhtilafi U’lama’i Ahlil Bait”karya Muhammad bin Manshur Al-Muradi.
Mengapa soal Aqidah ini diuraikan secara panjang lebar?
Mungkin ada orang yang merasa heran membaca apa yang telah kami tulis disini tentang Aqidah para Sadah Al-Alawiyin, sebab hal itu merupakan sesuatu yang sudah banyak diketahui orang. Tersurat dalam karya-karya tulis dan biografi mereka baik yang ditulis oleh mereka sendiri maupun oleh orang lain yang bertindak menguraikan ihwaql dan perilaku mereka.
Perlu kami kemukakan di sini, bahwa yang menjadi sebab mengapa kami berbuat demikian (menulis tentang aqidah para Sadah Al-Alawiyin), ialah bahwa pada zaman ini, zaman yang penuh dengan hal-hal aneh dan ganjil – ada tokoh tertentu yang bertindak melakukan pembelaan terhadap golongan Imamiyah dan Madzhabnya serta menyanggah golongan Ahlussunah Wal Jama’ah, demi untuk membela Madzhab mereka, bahkan juga telah menyanggah golonganSyi’ah Zaidiyah, karena perselisihan yang terjadi sejak dahulu di antara kedua golongan Syi’ah tersebut. Menurut golongan Imamiyah – atau sebagian mereka- golongan Zaidiyah ini adalah golongan yang wajib lebih dahulu diperangi sebelum orang-orang kafir, sesuai penafsiran bagi ayat ini :
ياايّهاالذين امنوا قاتلوا الذين يلونكم من الكفّار وليجد وافيكم غلظة
“Hai orang-orang yang beriman perangilah orang-orang kafir di sekitarmu dan hendaknya mereka mendapatkan kekerasan dari padamu “.
Maka demi memenuhi perintah untuk bertindak keras, mereka telah membunuh anak-anak dan orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam peperangan, persis yang pernah dilakukan oleh golongan Khawarij.
Itulah salah satu sebab yang menimbulkan bencana dan pemberontakan secara beruntun dan terus menerus di negeri Yaman -karena adanya golongan Imamiyah di Harran, di Najran dan di Aden, disamping beberapa tempat yang lain.
Oleh karena itu, maka tokoh pembela golongan Imamiyah ini telah secara suka rela melakukan tindakannya itu dalam membela mereka dari golongan Zaidiyah disamping golongan Asy’ariyah, bahkan dia telah melakukan tindakan yang tidak patut dilakukannya, yaitu menjauhkan para pendahulunya (Salaf) dari Aqidah dan Thariqah yang benar, dengan mengatakan mereka sejak semula adalah penganut Madzhab Imamiyah alias “Rafidhah”.
Golongan Imamiyah ini adalah golongan yang berpendirian bahwa sebagian besar sahabat Nabi SAW, -kecuali beberapa saja- telah menjadi fasiq bahkan telah menjadi kafir, serta menganggap bahwa sebagian Ahlul Bait telah menjadi fasiq dan kafir. Dengan demikian mereka telah menolak riwayat yang tegas lagi benar dan telah diriwayatkan oleh sebagian besar ahli-ahli sejarah bahwa mereka bukanlah penganut Madzhab Imamiyah, dia menyanggah anggapan yang tidak dapat diterima ini dengan angan-angan yang bertolak belakang dengan kenyataan, serta dengan rekaan yang tidak benar lagi tidak terpuji, dan usaha coba-coba yang dinilai dengan pikiran yang sehat, bukti dan fakta yang kuat, tidaklah digolongkan sebagai kebenaran.
Rupanya orang ini telah tertipu oleh propaganda golongan Imamiyah yang ekstrim tanpa meneliti fakta yang tersembunyi dibalik permukaan dan tanpa pendalaman dengan akal sehat secara semestinya.
Golongan Imamiyah termasuk diantara golongan umat ini yang telah terpecah-pecah dan tercabik-cabik, sehingga ada yang menyatakan bahwa pecahan-pecahan itu telah mencapai lebih dari tujuh puluh golongan. Ditengah-tengah golongan ini telah timbul berbagai faham yang tidak pernah terdengar kekejian semacam itu pada golongan-golongan lain, seperti menitisnya Roh Allah pada sebagian makhluk (hulul), faham reinkarnasi (tanasukh Al-Arwah), adanya faham Raj’ah(kebangkitan kembali orang yang telah mati sebelum kiamat), menafsirkan arti syari’at yang tegas dengan tafsiran-tafsiran yang membatalkannya. Mereka balik perintah agama dengan meninggalkan perintah itu dan menjalankan larangan-larangan-Nya. Menganggap semua benda yang berbentuk sebagai bernyawa. Mena’wilkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan penafsiran yang tidak berdasar, memberikan pangkat ketuhanan pada sebagian Imam-Imam mereka. Tidak berlakunya sebagian kewajiban agama atas mereka. Batalnya hukum-hukum dan amalan. Di tengah mereka telah muncul golongan golongan Majusi yang berkedok Islam dan menyembunyikan kekafirannya dan para Dajjal yang menipu atas nama agama. Di tengah mereka telah muncul pula golongan yang berfaham Wahdatul Wujud (Pantheisme). Mereka mengakui reinkarnasi dengan berbagai tingkatannya seperti yang diyakini oleh sebagian faham Majusi[2].
Golongan Imamiyah telah menyatakan faham-faham yang aneh sejak zaman Imam Ja’far Asshadiq, bahkan sejak sebelum itu (Imam Asshadiq selalu menyatakan berlepas diri dari mereka yang mengingkari hubungan mereka dengan beliau). Mereka juga berpendirian mena’wilkan sahnya kedudukan Imam tanpa dibai’at, tanpa pembela, tanpa didukung, tanpa menyatakan diri sebagai pemimpin, tanpa menunjukkan amal yang bisa menjadi contoh tauladan, atau ilmu yang tersebar luas untuk memberi petunjuk dan pelajaran, tanpa menjalankan hukum agama atau melaksanakannya, tanpa memiliki kekuasaan atau kekuatan. Lalu mereka beranggapan bahwa kedudukan Imam ini menyerupai maqam (pangkat) wali Quthb, yang diakui oleh golongan Alawiyin. Seolah orang ini tidak tahu bahwa makam Quthbaniyah adalah salah satu tingkat dan pangkat dalam faham Tasawuf, sedang golongan Alawiyin baru mengikuti faham Tasawuf pada abad ke VII Hijriyah, setelah aliran ini tersebar luas di seluruh dunia Islam.
Kendati demikian, kami tidak berputus asa dan tetap berharap semoga Allah memberi petunjuk kepada orang yang kami sebutkan itu kembali menempuh jalan yang benar serta lebih layak baginya, dengan anugrah dan rahmat dari Allah.
Walau demikian, namun bukanlah merupakan tindakan yang benar dan perilaku yang terpuji apabila seseorang mengikuti suatu faham, atau melakukan tindakan yang salah dalam cara berfikir lalu dia menganggap orang lain yang sebenarnya tidak berfaham demikian – sebagai telah mengikuti faham itu. Tuduhan demikian ini bahkan telah dilancarkan terhadap orang – orang yang telah menghadap Tuhannya (wafat) serta akan memikul beban tanggung jawab amal perbuatan yang pernah dilakukan, sedang sejarah telah mencatat perilaku mereka, menerangkan hakekat aqidah dan keyakinan mereka, sehingga tidak sepantasnyalah menuduh para salaf itu dengan hal-hal yang sesungguhnya Allah telah mensucikan mereka daripadanya, atau menghubungkan faham-faham yang menyimpang ini kepada mereka.
Tamat
[1] Ibu Imam Ja’far Asshadiq adalah Ummu Farwah putri Qasim b. Muhammad b. Abu Bakar Asshadiq, sedang Ibu Ummu Arwah adalah Asma’ Ja’far Asshadiq adalah cucuKhalifah Abu Bakar melalui kedua orang putranya, Muhammad dan Abdul Rahman.
[2] Untuk menunjukkan betapa besar dan dalam pengaruh tradisi, kebudayaan dan nasionalisme Iran pada Madzhab Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah ini, adalah apa yang ditulis oleh Hamid Enayat dalam bukunya : “Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah. Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad ke-20″.Penerbit Pustaka Bandung 1408-1988 P.281, sebagai berikut :
“Drama tersebut (terbunuhnya Imam Husain) juga bisa memperoleh arti penting lain dalam konteks khusus budaya Iran, bukan karena adanya warna-warna nasionalistik anti Arab, atau anti Turki dalam versi-versi populernya, tetapi juga karena peleburannya dalam budaya rakyat dengan mitos Darah Siavush dari masa pra-Islam, seperti tercatat dalarn karya Firdausi, Shahnameh, Himne-himne keagamaan kaum Alawi, Ahli Haqq menggambarkan bagaimana Roh Luhur Manusia Sempurna menitis dari Habil, melalui Jamsyid, Iraj dan Siavush kepada Husain. Meskipun mengandung ciri-ciri yang sama sekali berbeda, mitos Siavush didasarkan kepada gagasan identik mengenai “tertumpahnya darah manusia tidak berdosa yang menangis abadi meminta balasan”. Tetapi, sementara legenda Husain melahirkan aspirasi keadilan yang pada intinya bersifat politis, maka legenda Siavush mengilhamkan keyakinan akan adanya pembalasan dendam universal yang menjamin keadilan bagi jiwa jiwa tertindas.”
Sumber tulisan ini diambil dari situs :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar