Oleh : Dean Sasmita
Sementara segolongan orang
terjebak dalam memahami ibadah. Mereka mengira ibadah itu hanyalah ibadah
maghdah saja. Ibadah maghdah (atau ibadah khusus) adalah ibadah yang syarat dan rukunnya telah ditetapkan sesuai dengan
syariat.
Apakah
mereka lupa bahwa hakekat manusia diciptakan di dunia ini adalah untuk
beribadah? "Dan Tidaklah Aku Menciptakan Jin dan Manusia
Kecuali untuk Beribadah Kepada-Ku" (Adz Dzariyat : 56). Padahal segala
bentuk tindakan, hati, pikiran, semuanya, seharusnyalah untuk beribadah kepada-Nya.
Dan segala tindak tanduk kita akan bernilai ibadah jika diniatkan untuk beribadah, "
Bahwasanya segala amal perbuatan itu tergantung pada niat..." (HR. Bukhari-Muslim). Sedangkan
membedakan urusan agama (ibadah) dengan urusan dunia itu adalah konsep sekuler,
yang dianut oleh orang-orang Eropa saat ini. Dan itu bukan konsep ibadah dalam
Islam. Maka berhati-hatilah, mengapa konsep ini tiba-tiba saja ada dalam konsep
mereka yang mengaku umat muslim.
Selain
ibadah maghdah, ada ibadah ghairu maghdah (ibadah umum). Ibadah ghairu mahdah
bisa bercampur dengan perbuatan-perbuatan duniawi kita. Ibadah ghairu mahdah
dapat terkandung (bahkan menjiwai) didalam kita berhubungan dengan antar umat
manusia (muamalah). Selain ibadah maghdah yang memang telah diperintahkan-Nya,
alangkah ruginya kaum muslimin jika hanya melakukan kegiatan-kegiatan
duniawinya tanpa berniat ibadah kepada Allah SWT. Padahal Allah menjamin
nilai
pahalanya.
Ibadah
ghairu maghdah (umum) ada hujahnya di dalam al Qur’an dan/atau sunnah Nabi saw.
Tetapi tata-cara, syarat rukun pelaksanaannya tidak diatur. Ada yang berupa
kebaikan-kebaikan amal, fadhilah, keutamaan-keutamaan, dan amalan sunnah seperti
dzikir, sholawat, dsb. Ada juga yang berupa kegiatan-kegiatan duniawi yang
diniatkan ibadah, seperti bekerja, makan minum, berkunjung, arisan, dll. Hal
itu diperbolehkan sepanjang itu tidak melanggar aturan syara’.
Cara
pandang yang berbeda tentang konsep ibadah inilah yang menyebabkan konsep
bid’ah menjadi berbeda dengan kaum salafy/wahaby.
Mereka
menganggap bahwa ibadah hanya yang maghdah saja, termasuk yang merupakan
fadlilah-fadlilah amal, dzikir, dsb. Sehingga mereka menuntut/menunggu
dalil perintah, tata cara, syarat, rukun mengenai amalan-amalan
dzikir, fadlilah2 amal, dll. Seolah kegiatan duniawi menurut mereka adalah bukan masalah
ibadah. Ini seperti konsep sekuler sebagaimana diterangkan di
atas. Banyak hal-hal yang wahaby anggap bid’ah (yang sesat) bahkan semua bid’ah
adalah sesat. Sementara para ulama ahlus sunnah wal jamaah menganggap itu bukan
bid’ah. Atau kalaupun itu perkara baru, maka bukan bid’ah yang haram, menurut
pembagian Imam Syafi’y. Dan ulama wahaby manakah yang sejajar dengan beliau
seorang pakar hadits dan fiqh ?
Sesuai
dengan perkembangan zaman, jelas banyak perkara baru dalam urusan duniawi, maka
banyak pula perkara-perkara baru yang dapat bernilai ibadah, yang masuk dalam
kategori ibadah ghairu maghdah (umum). Ada bank syariah, ada organisasi, ada
partai politik, dll. Ada macam-macam kegiatan seperti arisan keluarga,
peringatan ulang tahun, ulang tahun anak, ulang tahun proklamasi, dll, termasuk
ulang tahun baginda Nabi Muhamddad SAW (Maulid).
Dengan
demikian, bahwa hukum asal dari suatu perkara adalah halal dan mubah kecuali
jika terdapat dalil yang mengharamkan atau melarangnya tetap berlaku untuk
ibadah-ibadah umum.
Selanjutnya,
dengan semakin banyaknya perkara-perkara baru di dunia ini, ketika kami yang
awam ini tidak mampu menggali hukum sendiri, maka mengikut para ulama adalah
cara terbaik. Bermakmum kepada salafus shaleh, kepada para ulama ahlus sunnah
waljamaah yang sudah teruji madzabnya tidak lekang ditelan zaman. Itulah yang
pendapat-pendapatnya antara lain termaktub di sini.
Ada
sekelompok golongan yang suka membid’ah-bid’ahkan (sesat) berbagai kegiatan
yang baik di masyarakat, seperti peringatan maulid, peringatan isra’ mi’raj,
yasinan, tahlilan dll. Kadang mereka berdalil dengan dalih, Agama
ini telah sempurna. Jika perbuatan itu baik, niscaya Rasulullah
saw telah mencontohkan lebih dulu. Atau mengatakan, Itu bid’ah , karena tidak
pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Atau, jikalau hal tersebut dibenarkan,
maka pasti Rasulullah saw memerintahkannya. Apa kamu merasa lebih pandai dari
Rasulullah?
Mem-vonis
bid’ah sesat suatu amal perbuatan (baru) dengan argumen di atas adalah lemah
sekali. Ada berbagai amal baik yang Baginda Rasul saw tidak mencontohkan
ataupun memerintahkannya. Teriwayatkan dalam berbagai hadits dan dalam fakta
sejarah dibawah ini diantaranya :
1. Hadis
riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. berkata
kepada Bilal ketika shalat fajar (shubuh),
“Hai
Bilal, ceritakan kepadaku amalan apa yang paling engkau harap pahalanya yang
pernah engkau amalkan dalam masa Islam, sebab aku mendengar suara terompamu di
surga. Bilal berkata, “Aku tidak mengamalkan amalan yang paling aku harapkan
lebih dari setiap kali aku berssuci, baik di malam maupun siang hari kecuali
aku shalat untuk bersuciku itu”.
Dalam
riwayat at Turmudzi yang ia shahihkan, Nabi saw. berkata kepada Bilal :
‘Dengan
apa engkau mendahuluiku masuk surga? ” Bilal berkata, “Aku tidak
mengumandangkan adzan melainkan aku shalat dua rakaat, dan aku tidak berhadats
melaikan aku bersuci dan aku mewajibkan atas diriku untuk shalat (sunnah).”
Maka Nabi saw. bersabda “dengan keduanya ini (engkau mendahuluiku masuk surga).
Hadis
di atas juga diriwayatkan oleh Al Hakim dan ia berkata, “Hadis shahih
berdasarkan syarat keduanya (Bukhari & Muslim).” Dan adz Dzahabi
mengakuinya.
Hadis
di atas menerangkan secara mutlak bahwa sahabat ini (Bilal) melakukan sesuatu
dengan maksud ibadah yang sebelumnya tidak pernah dilakukan atau ada perintah
dari Nabi saw.
2. Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan para muhaddis lain pada kitab Shalat,
bab Rabbanâ laka al Hamdu, dari riwayat Rifa’ah ibn Râfi’, ia berkata, “Kami
shalat di belakang Nabi saw., maka ketika beliau mengangkat kepala beliau dari
ruku’ beliau membaca, sami’allahu liman hamidah (Allah maha mendengar orang
yang memuji-Nya), lalu ada seorang di belakang beliau membaca, “Rabbanâ laka al hamdu hamdan katsiran thayyiban
mubarakan fîhi (Tuhan
kami, hanya untuk-Mu segala pujian dengan pujian yang banyak yang indah serta
diberkahi).
Setelah
selesai shalat, Nabi saw. bersabda, “Siapakah orang yang membaca
kalimat-kalimat tadi?” Ia berkata, “Aku.” Nabi bersabda, “Aku menyaksikan tiga
puluh lebih malaikat berebut mencatat pahala bacaaan itu.”
Ibnu
Hajar berkomentar, “Hadis itu dijadikan hujjah/dalil dibolehkannya berkreasi
dalam dzikir dalam shalat selain apa yang diajarkan (khusus oleh Nabi saw.)
jika ia tidak bertentang dengan yang diajarkan. Kedua dibolehkannya mengeraskan
suara dalam berdzikir selama tidak mengganggu.”
3. Imam Muslim dan Abdur Razzaq ash Shan’ani meriwayatkan dari Ibnu Umar,
ia berkata,
Ada
seorang lali-laki datang sementara orang-orang sedang menunaikan shalat, lalu
ketika sampai shaf, ia berkata:
اللهُ أكبرُ كبيرًا، و الحمدُ للهِ كثيرًا و سبحانَ
اللهِ بكْرَةً و أصِيْلاً.
Setelah
selesai shalat, Nabi saw. bersabda, “Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi?
Orang
itu berkata, “Aku wahai Rasulullah saw., aku tidak mengucapkannya melainkan
menginginkan kebaikan.”
Rasulullah
saw. bersabda, “Aku benar-benar menyaksikan pintu-pintu langit terbuka untuk
menyambutnya.”
Ibnu
Umar berkata, “Semenjak aku mendengarnya, aku tidak pernah meninggalkannya.”
Dalam
riwayat an Nasa’i dalam bab ucapan pembuka shalat, hanya saja redaksi yang ia
riwayatkan: “Kalimat-kalimat itu direbut oleh dua belas malaikat.”
Dalam
riwayat lain, Ibnu Umar berkata: “Aku tidak pernah meninggalkannya semenjak aku
mendengar Rasulullah saw. bersabda demikian.”
Di
sini diterangkan secara jelas bahwa seorang sahabat menambahkan kalimat dzikir
dalam i’tidâl dan dalam pembukaan shalat yang tidak/belum pernah dicontohkan
atau diperintahkan oleh Rasulullah saw. Dan reaksi Rasul saw pun membenarkannya
dengan pembenaran dan kerelaan yang luar biasa.
Al
hasil, Rasulullah SAW telah men-taqrîr-kan (membenarkan) sikap sahabat yang
menambah bacaan dzikir dalam shalat yang tidak pernah beliau ajarkan.
4. Imam
Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, pada bab menggabungkan antara dua
surah dalam satu raka’at dari Anas, ia berkata,
“Ada
seorang dari suku Anshar memimpin shalat di masjid Quba’, setiap kali ia shalat
mengawali bacaannya dengan membaca surah Qul Huwa Allahu Ahad sampai selesai
kemudian membaca surah lain bersamanya. Demikian pada setiap raka’atnya ia
berbuat. Teman-temannya menegurnya, mereka berkata, “Engkau selalu mengawali
bacaan dengan surah itu lalu engkau tambah dengan surah lain, jadi sekarang
engkau pilih, apakah membaca surah itu saja atau membaca surah lainnya saja.”
Ia menjawab, “Aku tidak akan meninggalkan apa yang biasa aku kerjakan. Kalau
kalian tidak keberatan aku mau mengimami kalian, kalau tidak carilah orang lain
untuk menjadi imam.” Sementara mereka meyakini bahwa orang ini paling layak
menjadi imam shalat, akan tetapi mereka keberatan dengan apa yang dilakukan.
Ketika
mereka mendatangi Nabi saw. mereka melaporkannya. Nabi menegur orang itu seraya
bersabda, “hai fulan, apa yang mencegahmu melakukan apa yang diperintahkan
teman-temanmu? Apa yang mendorongmu untuk selalu membaca surah itu (Al Ikhlash)
pada setiap raka’at? Ia menjawab, “Aku mencintainya.”
Maka
Nabi saw. bersabda, “Kecintaanmu kepadanya memasukkanmu ke dalam surga.”
Demikianlah
sunnah dan jalan Nabi saw. dalam menyikapi kebaikan dan amal keta’atan walaupun
tidak diajarkan secara khusus oleh beliau, akan tetapi selama amalan-amalan itu
sejalan dengan ajaran kebaikan umum yang beliau bawa maka beliau selalu
merestuinya. Jawaban orang tersebut membuktikan motifasi yang mendorongnya
melakukan apa yang baik kendati tidak ada perintah khusus dalam masalah itu,
akan tetapi ia menyimpulkannya dari dalil umum dianjurkannya
berbanyak-banyak berbuat kebajikan selama tidak bertentangan dengan dasar
tuntunan khusus dalam syari’at Islam.
Kendati
demikian, tidak seorangpun dari ulama Islam yang mengatakan bahwa mengawali
bacaan dalam shalat dengan surah al Ikhlash kemudian membaca surah lain adalah
sunnah yang tetap! Sebab apa yang kontinyu dilakukan Nabi saw. adalah yang
seharusnya dipelihara, akan tetapi ia memberikan kaidah umum dan bukti nyata
bahwa praktik-prakti seperti itu dalam ragamnya yang bermacam-macam walaupun
seakan secara lahiriyah berbeda dengan yang dilakukan Nabi saw. tidak berarti
ia bid’ah (sesat).
5. Imam
Bukhari meriwayatkan dalam kitab at Tauhid,
Dari
Ummul Mukminin Aisyah ra. bahwa Nabi sa. Mengutus seorang memimpin sebuah
pasukan, selama perjalanan orang itu apabila memimpin shalat membaca surah
tertentu kemudian ia menutupnya dengn surah al Ikhlash (Qulhu). Ketika pulang,
mereka melaporkannya kepada nabi saw., maka beliau bersabda, “Tanyakan
kepadanya, mengapa ia melakukannya?” Ketika mereka bertanya kepadanya, ia
menjawab “Sebab surah itu (memuat) sifat ar Rahman (Allah), dan aku suka
membacanya.” Lalu Nabi saw. bersabda, “Beritahukan kepadanya bahwa Allah
mencintainya.” (Hadis Muttafaqun Alaihi).
Apa
yang dilakukan si sahabat itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw., namun
kendati demikian beliau membolehkannya dan mendukung pelakuknya dengan
mengatakan bahwa Allah mencintainya.
Setelah
baginda Nabi saw wafat pun amal-amal perbuatan baik yang baru tetap dilakukan.
Umat islam mengakuinya berdasar dalil-dalil yang shahih. Simak berbagai contoh
berikut :
1. Pembukuan
al Qur’an. Sejarah pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an. Bagaimana sejarah penulisan
ayat-ayat al Qur’an. Hal ini terjadi sejak era sahabat Abubakar, Umar bin
Khattab dan Zaid bin Tsabit ra. Kemudian oleh sahabat Ustman bin ‘Affan ra.
Jauh setelah itu kemudian penomoran ayat/ surat, harakat tanda baca, dll.
2. Sholat
tarawih seperti saat ini. Khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum
muslimin dalam shalat tarawih berma’mum pada seorang imam. Pada perjalanan
berikutnya dapat ditelusuri perkembangan sholat tarawih di masjid Nabawi dari
masa ke masa.
3. Modifikasi
yang dilakukan oleh sahabat Usman Bin Affan ra dalam pelaksanaan sholat Jum’at.
Beliau memberi tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at.
4. Pembukuan hadits. Bagaimana sejarah pengumpulan dari hadits satu ke
hadits lainnya. Bahkan Rasul saw pernah melarang menuliskan hadits2 beliau
karena takut bercampur dengan Al Qur’an. Penulisan hadits baru digalakkan sejak
era Umar ibn Abdul Aziz, sekitar tahun 100 H.
5. Penulisan
sirah Nabawi. Penulisan berbagai kitab nahwu saraf, tata bahasa Arab, dll.
Penulisan kitab Maulid. Kitab dzikir, dll
6.
Saat ini melaksanakan ibadah haji sudah tidak sama dengan zaman Rasul saw atau
para sahabat dan tabi’in. Jamaah haji tidur di hotel berbintang penuh fasilitas
kemewahan, tenda juga diberi fasiltas pendingin untuk yang haji plus, memakai
mobil saat menuju ke Arafah, atau kembali ke Mina dari Arafah dan lainnya.
Dan
masih banyak contoh-contoh lain.
Dibawah
ini tersirat makna Ibadah Maghdlah,
سبل السلام ج: 4 ص: 110
وذهب أكثر الشافعية ونقل عن المالكية إلى أن النذر
مكروه لثبوت النهي واحتجوا بأنه ليس طاعة محضة لأنه لم يقصد به خالص القربة وإنما
قصد أن ينفع نفسه أو يدفع عنها ضررا بما التزم
Dari
kitab Subulussalam karya Syeh Mohammad bin Isma’il As Son’ai (773-852 H. ) cetakan Daru
Ihya’ - Beirut.
Sedangkan
yang dibawah ini menjelaskan tentang bentuk-bentuk ibadah maghdlah,
أنيس الفقهاء ج: 1 ص: 139
فالعبادات على ثلاثة أنواع بدنية محضة كالصلاة ومالية
محضة كالزكاة ومركبة منهما كالحج
Ibadah
Maghdah adalah sebentuk perbuatan yang semata-mata ditujukan untuk beribadah (
seperti sholat, zakat, puasa, haji, ). Lebih jelasnya definisi ibadah maghdah
itu merupakan jawaban dari sebuah contoh pertanyaan, ” untuk apa orang
melaksanakan sholat, puasa, haji atau berzakat ? “
Referensi
lainnya silahkan dilihat dalam Tahrirut Tankih karya Zakariya
al-Anshori atau Fathul
Mu’inkarya al-Malabari
Seseorang
yang pergi bekerja dengan niat hanya untuk mencari dunia semata atau untuk
menumpuk harta tanpa dibarengi niat yg lebih dari itu, yaitu niat ikhlash atau
niat untuk menafkahi anak dan istri dengan rizki yg baik & halal, maka
gugurlah nilai ibadah dari usaha kerja tersebut walaupun dia berhasil
memperoleh apa yang dia inginkan atau niatkan yaitu uang atau harta.
Makan
juga akan bernilai ibadah jika kita niatkan bahwa dengan makan maka kita akan
menjadi sehat dan kuat sehingga kita akan selalu siap untuk beraktivitas,
berfikir dan beribadah dengan baik.
Dzikrullah
setiap saat dimanapun kita berada juga ibadah, baik dalam kesendirian ataupun
berjama'ahan.
Begitupula
ketika kita berinteraksi dengan orang lain baik secara langsung maupun tidak,
seperti halnya di Sebuah Blog ,Website,facebook , banyak sekali nilai-nilai ibadah
yang bisa kita dapatkan.
Maka jadikanlah setiap perilakumu dan tindakanmu
meskipun dalam urusan duniamu sebagai ibadah
Wallaahua'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar