Software islami ensiklopedi hadits kitab 9 imam berisi kumpulan hadits dan terjemah Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
ASSALAMMUALLAIKUM WAROHMATULLAHI WABAROKATUHU SELAMAT DATANG DI WEBSITE http://zonaislami.blogspot.com WEBSITE INI ADALAH KEPANJANGAN DAN PENERUS WARTA DARI WEBSITE-WEBSITE ISLAM YANG ANDA BISA MENGIKUTI WEBSITE-WEBSITE ISLAMI TERSEBUT MELALUI LINK YANG DI TAUTKAN DI BAWAH SETIAP ARTIKEL YANG BERSUMBER DARI WEBSITE ISLAMI YANG DI TAUTKAN SEMOGA DI DALAMNYA BANYAK PENGETAHUAN DAN ILMU YANG ANDA DAPAT. DI WEBSITE INI PUN ADA KOLEKSI EBOOK , SOFTWARE , VIDEO DAN MP3 ISLAMI YANG DAPAT ANDA DOWNLOAD SECARA GRATIS. DAN ANDA BISA MENDENGARKAN STREAMING MURAL AL QUR,AN YANG ANDA BISA TEMUKAN DI BAGIAN PALING BAWAH WEBSITE INI . SEMOGA BERMAMFAAT DAN MENAMBAH PAHALA UNTUK ANDA.. TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANYA WASALAMMU ALAIKUM WAROHMATULLAHI WABAROKATUHUGOOGLE SEACH ENGGINE

Rabu, 21 Maret 2012

PERINGATAN MAULID NABI

Banyak orang keliru dalam memahami subtansi maulid Nabi yang kami propagandakan dan kami anjurkan untuk menyelenggarakannya. Mereka mendefinisikannya secara keliru yang kemudian di atasnya dibangun banyak persoalan-persoalan panjang dan perdebatan-perdebatan yang luas yang membuat mereka menyia-nyiakan waktu mereka dan para pembaca. Persoalan dan perdebatan ini tidak bernilai sama sekali laksana debu yang beterbangan. Karena dibangun di atas asumsi-asumsi yang keliru. Kami telah banyak menulis tema menyangkut maulid Nabi dan mengupasnya berkali-kali di radio dan forum-forum terbuka dengan uraian yang membuat jelas konsep kami tentang maulid. 
Kami katakan dan sebelumnya telah kami kemukakan bahwa berkumpul dalam rangka memperingati maulid Nabi Saw hanyalah sebuah tradisi dan sama sekali bukanlah sebuah ibadah. Inilah yang saya yakini dan saya patuh kepada Allah dengannya. Silahkan, siapapun bisa memberikan interpretasi. Karena seseorang akan dibenarkan atas apa yang dikatakannya tentang dirinya dan substansi keyakinannya, bukan orang lain. Dalam setiap acara, pertemuan dan perayaan saya berkata bahwa pertemuan dengan format demikian adalah sekedar tradisi yang tidak memiliki unsur ibadah sama sekali. Setelah penjelasan ini masihkah tersisa keingkaran orang yang ingkar dan bantahan orang yang membantah?
Namun musibah paling besar sesungguhnya adalah ketidakmengertian. Karena itu Imam Syafi’i berkata :

ما جادلت عالماً إلا غلبته ولا جادلت جاهلاً إلا غلبني

”Saya tidak pernah berdebat dengan orang alim kecuali saya mampu mengalahkannya dan saya tidak pernah berdebat dengan orang bodoh kecuali ia mampu mengalahkanku.”
Pelajar dengan kapasitas keilmuan terendah sekalipun akan mengetahui perbedaan antara tradisi dan ibadah (ritual) dan substansi keduanya. Jika seseorang berkata, “Ini (perayaan) adalah ritual yang disyari’atkan beserta tata caranya,” maka saya akan bertanya kepadanya, “Manakah dalilnya ?” Dan jika ia berkata, “Ini adalah tradisi,” maka saya akan berkata kepadanya, “Berbuatlah sesukamu.” Karena yang berbahaya dan malapetaka yang kami khawatirkan adalah jika tindakan bid’ah yang tidak disyari’atkan namun hanya ijtihad manusia, diberi bungkus ibadah. Hal ini adalah pandangan yang tidak kami setujui dan justru kami perangi dan kami peringatkan.
Walhasil, berkumpul untuk memperingati maulid Nabi hanyalah urusan tradisi. Namun ia adalah salah satu tradisi positif yang mengandung banyak manfaat untuk masyarakat karena memang satu-persatu dari manfaat itu dianjurkan oleh syara’. Salah satu gambaran keliru yang ada dalam benak sebagian orang adalah mereka mengira bahwa kami mengajak menyelenggarakan peringatan maulid Nabi pada malam tertentu, tidak sepanjang tahun. Si pelupa ini tidak tahu bahwa beberapa perkumpulan diselenggarakan dalam rangka memperingati maulid Nabi di Makkah dan di Madinah dalam format luar biasa pada setiap tahun. Dan setiap momen yang terjadi dimana penyelenggara merasa bersuka cita. Hampir setiap siang dan malam di Makkah dan di Madinah diselenggarakan perkumpulan guna memperingati maulid Nabi.
Fakta ini diketahui sebagian orang dan sebagian lagi tidak mengetahuinya. Siapapun yang mengatakan bahwa kami mengingat Nabi hanya pada satu malam saja dan melupakan beliau selama 359 malam maka ia telah melakukan dosa besar dan kebohongan yang nyata. Tempat-tempat diadakannya maulid Nabi ini terselenggara berkat karunia Allah pada sepanjang malam setiap tahun. Nyaris tidak lewat siang atau malam kecuali di sana-sini diselenggarakan maulid Nabi. Kami serukan bahwa mengkhususkan satu malam saja untuk memperingati maulid Nabi adalah tindakan yang sangat kurang patut terhadap Rasulullah. Karena itu, alhamdulillah orang-orang menyambut seruan ini dengan antusias. Siapapun yang menganggap bahwa kami mengkhususkan penyelenggaraan perayaan maulid Nabi di Madinah Munawwarah maka ia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu akan fakta sesungguhnya. Yang bisa kami lakukan hanyalah berdo’a kepada Allah untuknya agar Allah menerangi mata hatinya dan menyingkirkan tirai kebodohan darinya. Agar ia bisa melihat bahwa perayaan maulid Nabi Saw tidak hanya diselenggarakan di Madinah dan bukan hanya pada malam tertentu pada bulan tertentu. Tetapi merata di setiap zaman dan tempat.

وليس يصح في الأذهان شيء   ::   إذا احتاج النهار إلى دليل

Sungguh sama sekali tidak masuk akal
Jika terang benderangnya siang perlu bukti 
Walhasil, kami tidak mengatakan bahwa merayakan maulid Nabi pada malam tertentu itu sunnah. Bahkan orang yang berkeyakinan demikian telah melakukan bid’ah dalam agama. Sebab mengingat dan memiliki keterikatan batin dengan beliau harus ada dalam setiap waktu dan memenuhi seluruh ruang hati. Memang betul bahwa pada bulan kelahiran beliau ada faktor pendorong yang lebih kuat untuk menggugah orang-orang dan membuat mereka berkumpul serta emosi mereka juga meluap-luap akibat keterikatan waktu. Akhirnya, situasi kini membawa memori mereka ke masa lalu dan mengalihkan mereka dari hal yang kasat mata ke hal yang ghaib.  Pertemuan-pertemuan dalam rangka merayakan maulid ini adalah wahana besar untuk mengajak mendekatkan diri kepada Allah. Ia adalah kesempatan emas yang layak untuk tidak dilewatkan begitu saja. Bahkan wajib bagi para da’i dan ulama untuk mengingatkan ummat akan budi pekerti, etika, aktivitas, perjalanan hidup, muamalah dan ibadah beliau dan menasehati serta membimbing mereka menuju kebaikan dan kesuksesan dan memperingatkan mereka akan bencana, bid’ah, keburukan dan fitnah. 
Berkat karunia Allah kami selalu menganjurkan hal di atas, berpartisipasi dan berkata kepada orang-orang, “Tujuan dari perkumpulan ini bukan sekedar berkumpul-kumpul dan formalitas saja. Tapi perkumpulan ini adalah media yang positif untuk meraih target mulia, yaitu ini dan itu. Barangsiapa yang tidak mendapatkan apapun dari agamanya maka ia terhalang dari kebaikan-kebaikan maulid yang mulia. Kami tidak ingin berbicara panjang lebar dengan menyebutkan dalil-dalil dan justifikasi yang kami gali dari tema ini. Karena kami telah menyusun sebuah risalah khusus tentang maulid Nabi yang bernama “Seputar Perayaan Maulid Nabi Yang Mulia.” Hanya saja kami akan menyebutkan secara khusus kisah dimerdekakannya Tsuwaibah. Sebab banyak polemik seputar kisah ini.”

Kisah Dimerdekakannya Tsuwaibah

Dalam literature-literatur hadits dan sirah (sejarah) para ulama menyebutkan kisah Abu Lahab yang memerdekakan hamba sahayanya. Tsuwaibah saat ia mengabarkan kelahiran Nabi Saw kepadanya dan bahwa ‘Abbas ibnu Abdil Muthollib bermimpi bertemu Abu Lahab setelah ia mati dan bertanya mengenai kondisinya. “Saya belum pernah merasakan kenyamanan setelah meninggalkan kalian. Hanya saja di neraka ini saya diberi minum, sebab memerdekakan Tsuwaibah. Dan setiap hari Senin saya mendapat keringanan siksa,” jawab Abu Lahab. Saya katakana bahwa hadits ini diriwayatkan dan dikutip oleh sejumlah imam hadits dan sirah seperti Al-Imam Abdurrazaq As-Shan’aani, Al-Imam Al-Bukhari, Al-Hafizh Ibnu Hajar, Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Hafizh Al-Baihaqi, Ibnu Hisyam, As-Suhaili, Al-Hafizh Al-Baghawi, Ibnu Ad-Diibagh, Al-Askhar, dan Al-‘Aamiri. Insya Allah hal ini akan saya jelaskan secara rinci. 
Adapun Al-Imam Abdurrazaq As-Shan’ani maka ia telah meriwayatkan hadits di atas dalam Al-Mushannaf ( vol. VII hlm. 478 ), sedang Al-Bukhari meriwayatkannya dalam As-Shahih dengan sanadnya yang sampai pada ‘Urwah ibnu Az-Zubair dengan status mursal dalam kitab An-Nikah bab

(وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ).

 Ibnu Hajar menyebutkan dalam Fathul Bari dan mengatakan, “Hadits ini diriwayatkan oleh Al Isma’ili dari jalur Adz-Dzuhali dari Abi Al-Yaman. Juga diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari Ma’mar. Abdurrazaq berkata, “Hadits ini mengandung indikasi bahwa amal shalih kadang memberi manfaat untuk orang kafir di akhirat. Namun hal ini kontradiksi dengan makna konteks ayat Al-Qur’an dimana Allah berfirman :

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ   فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُوراً

”Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.”
(Q.S. Al-Furqan : 23)

Kontradiksi ini bisa dijawab dengan : Pertama, status hadits di atas adalah mursal yang diirsalkan oleh ‘Urwah dan ia tidak menyebutkan sumber yang menyampaikan hadits kepadanya. Bila diibaratkan status hadits ini maushul maka yang terjadi dalam hadits adalah mimpi pada saat tidur yang tidak bisa dijadikan argumentasi. Barangkali yang dilihat Abbas dalam mimpi terjadi sebelum masuk Islam yang otomatis tidak bisa dijadikan hujjah juga. Kedua, jika hadits ini diterima, mungkin apa yang berkaitan dengan Nabi adalah kekhususan (pengecualian) dari firman Allah di atas dengan bukti kisah Abu Thalib di muka yang mendapat keringanan siksa dengan dipindahkan dari bagian neraka yang dalam ke bagian yang dangkal.”
Al-Baihaqi berkata, “Batalnya hadits di atas untuk orang-orang kafir maksudnya adalah bahwa mereka tidak mungkin menghindari neraka dan masuk surga. Boleh juga mereka mendapat keringanan siksa atas dosa selain kufur berkat perbuatan baik yang mereka lakukan. Al-Qadli ‘Iyadl berkata, “Ijma’ telah sepakat bahwa amal perbuatan orang-orang kafir tidak memberi manfaat dan mereka juga tidak mendapat balasan kenikmatan serta keringanan siksa meskipun sebagian mereka mendapat siksaan yang lebih berat dari sebagian yang lain.” Menurut saya pendapat Al-Qadli ‘Iyadl tidak menolak kemungkinan yang dikemukakan Al-Baihaqi. Karena semua informasi yang terkait dengan ketidakmanfaatan amal perbuatan orang kafir berkaitan dwngan dosa kufur. Adapun dosa selain kufur maka faktor apakah yang menghalangi diringankannya siksa?.
Al-Qurthubi menyatakan bahwa keringanan siksa ini khusus untuk Abu Lahab dan orang yang disebut dalam nash. Ibnul Munir dalam Al Hasyiyah menegaskan bahwa dalam konteks ini terdapat dua persoalan. Pertama, sebuah kemustahilan, yaitu diperhitungkannya ketaatan orang kafir yang tetap dalam kekufurannya. Karena syarat ketaatan adalah harus terjadi dengan motif yang benar dan hal ini tadak ditemukan dalam orang kafir. Kedua, orang kafir diberi pahala atas sebagian amal semata-mata berkat karunia Allah. Jika masalah ini telah jelas maka tindakan Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah bukanlah sebuah perbuatan yang benilai ibadah yang diperhitungkan. Boleh saja Allah memberinya karunia apa saja sebagaimana yang telah diberikan kepada Abu Thalib. Dalam konteks ini yang menjadi acuan dalam menetapkan dan menafikan adalah ketentuan langsung dari Allah (Tawqif). 
Menurut saya kelanjutan ucapan Ibnul Munir secara lengkap adalah : karunia di atas ada karena memuliakan seseorang yang mendapatkan perbuatan baik dari orang kafir dan sebagainya. Wallahu a’lam. (Fathul Bari vol. IX hlm. 145). Adapun Al-Hafizh Ibnu Katsir maka ia telah meriwayatkan hadits di atas dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah dan dalam komentarnya ia berkata, “Karena ketika Tsuwaibah menyampaikan kabar gembira akan kelahiran keponakannya “Muhammad” ibnu Abdillah maka seketika itu juga Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah. Akhirnya tindakannya ini dibalas dengan keringanan siksa.” As-Sirah An-Nabawiyyah vol. I hlm. 224. Sedang Al-Hafizh Abdurrahman Ad-Dibai As-Syaibani, penyusun Taisirul Wushul maka ia telah meriwayatkan hadits tentang dimemerdekakannya Tsuwaibah dalam sirahnya dan menegaskan, “Saya katakan : “Keringanan siksa terhadap Abu Lahab semata-mata karena memuliakan Nabi Saw sebagai mana hal yang sama diterima Abu Thalib, bukan karena telah memerdekakan budak berdasarkan firman Allah :

وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

”…….dan lenyaplah di akhirat itu apa yang mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” 
Dari Hadaiqul Anwar fi As-Sirah vol 1 hlm 134. Adapun Al-Hafizh Al Baghawi maka ia telah meriwayatkannya dalam Syarh As-Sunnah vol IX hlm 76. Sedang Al-Imam Al ‘Amiri telah meriwayatkannya dalam Bahjatul Mahafil dan Al-Asykhar pensyarahnya mengatakan, “Ada versi yang menyatakan bahwa keringanan tersebut hanya khusus untuk Abu Lahab semata-mata demi memuliakan Nabi Saw sebagaimana Abu Thalib mendapat keringanan siksa berkat beliau Saw. Versi lain menebutkan bahwa tidak ada halangan bagi orang kafir mendapat keringanan siksa atas perbuatan baik yang ia lakukan.” 
Syarh Al-Bahjah vol. I hlm. 41. 

Adapun Al Suhaili maka ia telah meriwayatkannya dalam Ar-Raudl Al-Anif fi Syarh Al-Bahjah An-Nabawiyyah karya Ibnu Hisyam dan mengatakan setelah mengutip hadits di atas, “Abu Lahab mendapat manfaat dari tindakannya memerdekakan Tsuwaibah pada saat ia berada di neraka seperti halnya saudaranya Abu Tholib memperoleh manfaat dari pembelaannya terhadap Rasulullah. Abu Lahab adalah penghuni neraka yang paling ringan siksaannya. Telah dijelaskan dalam Bab Abi Thalibbahwa keringanan ini semata-mata hanya berkurangnya siksaan. Bila tidak dimaksudkan seperti ini maka seluruh amal perbuatan orang kafir itu hangus menurut kesepakatan bulat para ulama. Maksudnya hangus adalah ia tidak menemukan amal baiknya terdapat dalam timbangan amal dan amal baik itu tidak membuatnya masuk surga.” Ar-Raudl Al-Anif vol V hlm 192.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar