Kami katakan dan sebelumnya
telah kami kemukakan bahwa berkumpul dalam rangka memperingati maulid Nabi Saw
hanyalah sebuah tradisi dan sama sekali bukanlah sebuah ibadah. Inilah yang
saya yakini dan saya patuh kepada Allah dengannya. Silahkan, siapapun bisa
memberikan interpretasi. Karena seseorang akan dibenarkan atas apa yang
dikatakannya tentang dirinya dan substansi keyakinannya, bukan orang
lain. Dalam setiap acara, pertemuan dan perayaan saya berkata bahwa
pertemuan dengan format demikian adalah sekedar tradisi yang tidak memiliki
unsur ibadah sama sekali. Setelah penjelasan ini masihkah tersisa keingkaran orang
yang ingkar dan bantahan orang yang membantah?
ما جادلت عالماً إلا غلبته
ولا جادلت جاهلاً إلا غلبني
”Saya tidak pernah berdebat
dengan orang alim kecuali saya mampu mengalahkannya dan saya tidak pernah
berdebat dengan orang bodoh kecuali ia mampu mengalahkanku.”
Pelajar dengan kapasitas
keilmuan terendah sekalipun akan mengetahui perbedaan antara tradisi dan ibadah
(ritual) dan substansi keduanya. Jika seseorang berkata, “Ini (perayaan) adalah
ritual yang disyari’atkan beserta tata caranya,” maka saya akan bertanya
kepadanya, “Manakah dalilnya ?” Dan jika ia berkata, “Ini adalah tradisi,” maka
saya akan berkata kepadanya, “Berbuatlah sesukamu.” Karena yang berbahaya dan
malapetaka yang kami khawatirkan adalah jika tindakan bid’ah yang tidak
disyari’atkan namun hanya ijtihad manusia, diberi bungkus ibadah. Hal ini
adalah pandangan yang tidak kami setujui dan justru kami perangi dan kami
peringatkan.
Walhasil, berkumpul untuk
memperingati maulid Nabi hanyalah urusan tradisi. Namun ia adalah salah satu
tradisi positif yang mengandung banyak manfaat untuk masyarakat karena memang
satu-persatu dari manfaat itu dianjurkan oleh syara’. Salah satu gambaran
keliru yang ada dalam benak sebagian orang adalah mereka mengira bahwa kami
mengajak menyelenggarakan peringatan maulid Nabi pada malam tertentu, tidak
sepanjang tahun. Si pelupa ini tidak tahu bahwa beberapa perkumpulan
diselenggarakan dalam rangka memperingati maulid Nabi di Makkah dan di Madinah
dalam format luar biasa pada setiap tahun. Dan setiap momen yang terjadi
dimana penyelenggara merasa bersuka cita. Hampir setiap siang dan malam di
Makkah dan di Madinah diselenggarakan perkumpulan guna memperingati maulid
Nabi.
Fakta ini diketahui sebagian orang dan sebagian lagi tidak mengetahuinya.
Siapapun yang mengatakan bahwa kami mengingat Nabi hanya pada satu malam saja
dan melupakan beliau selama 359 malam maka ia telah melakukan dosa besar dan
kebohongan yang nyata. Tempat-tempat diadakannya maulid Nabi ini terselenggara
berkat karunia Allah pada sepanjang malam setiap tahun. Nyaris tidak lewat
siang atau malam kecuali di sana-sini diselenggarakan maulid Nabi. Kami serukan
bahwa mengkhususkan satu malam saja untuk memperingati maulid Nabi adalah
tindakan yang sangat kurang patut terhadap Rasulullah. Karena itu,
alhamdulillah orang-orang menyambut seruan ini dengan antusias. Siapapun
yang menganggap bahwa kami mengkhususkan penyelenggaraan perayaan maulid Nabi
di Madinah Munawwarah maka ia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu akan fakta
sesungguhnya. Yang bisa kami lakukan hanyalah berdo’a kepada Allah untuknya
agar Allah menerangi mata hatinya dan menyingkirkan tirai kebodohan darinya. Agar
ia bisa melihat bahwa perayaan maulid Nabi Saw tidak hanya diselenggarakan di
Madinah dan bukan hanya pada malam tertentu pada bulan tertentu. Tetapi merata di setiap zaman dan tempat.
وليس يصح في الأذهان شيء
:: إذا احتاج النهار إلى دليل
Sungguh sama sekali tidak
masuk akal
Jika terang benderangnya siang perlu bukti
Walhasil, kami tidak mengatakan bahwa merayakan maulid Nabi pada malam
tertentu itu sunnah. Bahkan orang yang berkeyakinan demikian telah melakukan
bid’ah dalam agama. Sebab mengingat dan memiliki keterikatan batin dengan
beliau harus ada dalam setiap waktu dan memenuhi seluruh ruang hati. Memang
betul bahwa pada bulan kelahiran beliau ada faktor pendorong yang lebih kuat
untuk menggugah orang-orang dan membuat mereka berkumpul serta emosi mereka
juga meluap-luap akibat keterikatan waktu. Akhirnya, situasi kini membawa
memori mereka ke masa lalu dan mengalihkan mereka dari hal yang kasat mata ke
hal yang ghaib. Pertemuan-pertemuan dalam rangka merayakan maulid
ini adalah wahana besar untuk mengajak mendekatkan diri kepada Allah. Ia adalah
kesempatan emas yang layak untuk tidak dilewatkan begitu saja. Bahkan wajib
bagi para da’i dan ulama untuk mengingatkan ummat akan budi pekerti, etika,
aktivitas, perjalanan hidup, muamalah dan ibadah beliau dan menasehati serta
membimbing mereka menuju kebaikan dan kesuksesan dan memperingatkan mereka akan
bencana, bid’ah, keburukan dan fitnah.
Berkat karunia Allah kami selalu menganjurkan hal di atas, berpartisipasi
dan berkata kepada orang-orang, “Tujuan dari perkumpulan ini bukan sekedar
berkumpul-kumpul dan formalitas saja. Tapi perkumpulan ini adalah media yang
positif untuk meraih target mulia, yaitu ini dan itu. Barangsiapa yang tidak
mendapatkan apapun dari agamanya maka ia terhalang dari kebaikan-kebaikan
maulid yang mulia. Kami tidak ingin berbicara panjang lebar dengan menyebutkan
dalil-dalil dan justifikasi yang kami gali dari tema ini. Karena kami telah
menyusun sebuah risalah khusus tentang maulid Nabi yang bernama “Seputar
Perayaan Maulid Nabi Yang Mulia.” Hanya saja kami akan menyebutkan secara
khusus kisah dimerdekakannya Tsuwaibah. Sebab banyak polemik seputar kisah
ini.”
Kisah Dimerdekakannya Tsuwaibah
Dalam literature-literatur hadits dan sirah (sejarah) para ulama
menyebutkan kisah Abu Lahab yang memerdekakan hamba sahayanya. Tsuwaibah saat
ia mengabarkan kelahiran Nabi Saw kepadanya dan bahwa ‘Abbas ibnu Abdil
Muthollib bermimpi bertemu Abu Lahab setelah ia mati dan bertanya mengenai
kondisinya. “Saya belum pernah merasakan kenyamanan setelah meninggalkan
kalian. Hanya saja di neraka ini saya diberi minum, sebab memerdekakan
Tsuwaibah. Dan setiap hari Senin saya mendapat keringanan siksa,” jawab Abu
Lahab. Saya katakana bahwa hadits ini diriwayatkan dan dikutip oleh
sejumlah imam hadits dan sirah seperti Al-Imam Abdurrazaq As-Shan’aani, Al-Imam
Al-Bukhari, Al-Hafizh Ibnu Hajar, Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Hafizh Al-Baihaqi,
Ibnu Hisyam, As-Suhaili, Al-Hafizh Al-Baghawi, Ibnu Ad-Diibagh, Al-Askhar, dan
Al-‘Aamiri. Insya Allah hal ini akan
saya jelaskan secara rinci.
Adapun Al-Imam Abdurrazaq
As-Shan’ani maka ia telah meriwayatkan hadits di atas dalam Al-Mushannaf (
vol. VII hlm. 478 ), sedang Al-Bukhari meriwayatkannya dalam As-Shahih dengan
sanadnya yang sampai pada ‘Urwah ibnu Az-Zubair dengan status mursal dalam
kitab An-Nikah bab
(وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ).
Ibnu Hajar menyebutkan dalam Fathul Bari dan
mengatakan, “Hadits ini diriwayatkan oleh Al Isma’ili dari jalur Adz-Dzuhali
dari Abi Al-Yaman. Juga diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari Ma’mar. Abdurrazaq berkata,
“Hadits ini mengandung indikasi bahwa amal shalih kadang memberi manfaat untuk
orang kafir di akhirat. Namun hal ini kontradiksi dengan makna konteks ayat
Al-Qur’an dimana Allah berfirman :
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا
عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُوراً
”Dan kami hadapi segala amal
yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang
berterbangan.”
(Q.S. Al-Furqan : 23)
Kontradiksi ini bisa dijawab
dengan : Pertama, status hadits di atas adalah mursal yang diirsalkan oleh
‘Urwah dan ia tidak menyebutkan sumber yang menyampaikan hadits kepadanya. Bila
diibaratkan status hadits ini maushul maka yang terjadi dalam hadits
adalah mimpi pada saat tidur yang tidak bisa dijadikan argumentasi. Barangkali
yang dilihat Abbas dalam mimpi terjadi sebelum masuk Islam yang otomatis tidak
bisa dijadikan hujjah juga. Kedua, jika hadits ini diterima, mungkin apa yang
berkaitan dengan Nabi adalah kekhususan (pengecualian) dari firman Allah di
atas dengan bukti kisah Abu Thalib di muka yang mendapat keringanan siksa
dengan dipindahkan dari bagian neraka yang dalam ke bagian yang dangkal.”
Al-Baihaqi berkata,
“Batalnya hadits di atas untuk orang-orang kafir maksudnya adalah bahwa mereka
tidak mungkin menghindari neraka dan masuk surga. Boleh juga mereka mendapat
keringanan siksa atas dosa selain kufur berkat perbuatan baik yang mereka
lakukan. Al-Qadli ‘Iyadl berkata, “Ijma’ telah sepakat bahwa amal
perbuatan orang-orang kafir tidak memberi manfaat dan mereka juga tidak
mendapat balasan kenikmatan serta keringanan siksa meskipun sebagian mereka
mendapat siksaan yang lebih berat dari sebagian yang lain.” Menurut saya
pendapat Al-Qadli ‘Iyadl tidak menolak kemungkinan yang dikemukakan Al-Baihaqi.
Karena semua informasi yang terkait dengan ketidakmanfaatan amal perbuatan
orang kafir berkaitan dwngan dosa kufur. Adapun dosa selain kufur maka faktor
apakah yang menghalangi diringankannya siksa?.
Al-Qurthubi menyatakan bahwa
keringanan siksa ini khusus untuk Abu Lahab dan orang yang disebut dalam nash.
Ibnul Munir dalam Al Hasyiyah menegaskan bahwa dalam konteks ini terdapat dua
persoalan. Pertama, sebuah kemustahilan, yaitu diperhitungkannya ketaatan orang
kafir yang tetap dalam kekufurannya. Karena syarat ketaatan adalah harus
terjadi dengan motif yang benar dan hal ini tadak ditemukan dalam orang kafir.
Kedua, orang kafir diberi pahala atas sebagian amal semata-mata berkat karunia
Allah. Jika masalah ini telah jelas maka tindakan Abu Lahab memerdekakan
Tsuwaibah bukanlah sebuah perbuatan yang benilai ibadah yang diperhitungkan.
Boleh saja Allah memberinya karunia apa saja sebagaimana yang telah diberikan
kepada Abu Thalib. Dalam konteks ini yang menjadi acuan dalam menetapkan dan
menafikan adalah ketentuan langsung dari Allah (Tawqif).
Menurut saya kelanjutan
ucapan Ibnul Munir secara lengkap adalah : karunia di atas ada karena
memuliakan seseorang yang mendapatkan perbuatan baik dari orang kafir dan
sebagainya. Wallahu a’lam. (Fathul Bari vol. IX hlm. 145). Adapun
Al-Hafizh Ibnu Katsir maka ia telah meriwayatkan hadits di atas dalam Al-Bidayah
wa An-Nihayah dan dalam komentarnya ia berkata, “Karena ketika Tsuwaibah
menyampaikan kabar gembira akan kelahiran keponakannya “Muhammad” ibnu Abdillah
maka seketika itu juga Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah. Akhirnya tindakannya
ini dibalas dengan keringanan siksa.” As-Sirah An-Nabawiyyah vol. I
hlm. 224. Sedang Al-Hafizh Abdurrahman Ad-Dibai As-Syaibani,
penyusun Taisirul Wushul maka ia telah meriwayatkan hadits tentang
dimemerdekakannya Tsuwaibah dalam sirahnya dan menegaskan, “Saya katakan :
“Keringanan siksa terhadap Abu Lahab semata-mata karena memuliakan Nabi Saw
sebagai mana hal yang sama diterima Abu Thalib, bukan karena telah memerdekakan
budak berdasarkan firman Allah :
وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ
فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
”…….dan lenyaplah di akhirat
itu apa yang mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka
kerjakan.”
Dari Hadaiqul Anwar fi
As-Sirah vol 1 hlm 134. Adapun Al-Hafizh Al Baghawi maka ia telah
meriwayatkannya dalam Syarh As-Sunnah vol IX hlm 76. Sedang
Al-Imam Al ‘Amiri telah meriwayatkannya dalam Bahjatul Mahafil dan Al-Asykhar pensyarahnya
mengatakan, “Ada versi yang menyatakan bahwa keringanan tersebut hanya khusus
untuk Abu Lahab semata-mata demi memuliakan Nabi Saw sebagaimana Abu Thalib
mendapat keringanan siksa berkat beliau Saw. Versi lain menebutkan bahwa tidak
ada halangan bagi orang kafir mendapat keringanan siksa atas perbuatan baik
yang ia lakukan.”
Syarh Al-Bahjah vol. I hlm. 41.
Syarh Al-Bahjah vol. I hlm. 41.
Adapun Al Suhaili maka ia
telah meriwayatkannya dalam Ar-Raudl Al-Anif fi Syarh Al-Bahjah
An-Nabawiyyah karya Ibnu Hisyam dan mengatakan setelah mengutip hadits di
atas, “Abu Lahab mendapat manfaat dari tindakannya memerdekakan Tsuwaibah pada
saat ia berada di neraka seperti halnya saudaranya Abu Tholib memperoleh
manfaat dari pembelaannya terhadap Rasulullah. Abu Lahab adalah penghuni neraka
yang paling ringan siksaannya. Telah dijelaskan dalam Bab Abi Thalibbahwa
keringanan ini semata-mata hanya berkurangnya siksaan. Bila tidak dimaksudkan
seperti ini maka seluruh amal perbuatan orang kafir itu hangus menurut
kesepakatan bulat para ulama. Maksudnya hangus adalah ia tidak menemukan amal
baiknya terdapat dalam timbangan amal dan amal baik itu tidak membuatnya masuk
surga.” Ar-Raudl Al-Anif vol V hlm 192.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar