Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Segala puji bagi
Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga dan sahabatnya.
Tuntunan zaman dan semakin canggihnya teknologi menuntut
generasi muda untuk bisa melek akan hal itu. Sehingga orang tua pun
berlomba-lomba bagaimana bisa menjadikan anaknya pintar komputer dan lancar
bercuap-cuapngomong English. Namun sayangnya karena porsi yang berlebih
terhadap ilmu dunia sampai-sampai karena mesti anak belajar di tempat les sore
hari, kegiatan belajar Al Qur’an pun dilalaikan. Lihatlah tidak sedikit dari
generasi muda saat ini yang tidak bisa baca Qur’an, bahkan ada yang sampai buku
Iqro’ pun tidak tahu.
Merenungkan Ayat
Ayat ini yang patut jadi renungan yaitu firman Allah Ta’ala,
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan
dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar Ruum:
7)
Ath Thobari rahimahullah menyebutkan
sebuah
riwayat dari Ibnu ‘Abbas yang menerangkan mengenai maksud ayat di atas. Yang
dimaksud dalam ayat itu adalah orang-orang kafir. Mereka benar-benar mengetahui
berbagai seluk beluk dunia. Namun terhadap urusan agama, mereka benar-benar jahil
(bodoh). (Tafsir Ath Thobari, 18/462)
Fakhruddin Ar Rozi rahimahullah menjelaskan maksud
ayat di atas, “Ilmu mereka hanyalah terbatas pada dunia saja. Namun mereka
tidak mengetahui dunia dengan sebenarnya. Mereka hanya mengetahui dunia secara
lahiriyah saja yaitu mengetahui kesenangan dan permainannya yang ada. Mereka
tidak mengetahui dunia secara batin, yaitu mereka tidak tahu bahaya dunia dan
tidak tahu kalau dunia itu terlaknat. Mereka memang hanya mengetahui dunia
secara lahir, namun tidak mengetahui kalau dunia itu akan fana.” (Mafatihul
Ghoib, 12/206)
Penulis Al Jalalain rahimahumallah menafsirkan,
“Mereka mengetahui yang zhohir (yang nampak saja dari kehidupan dunia), yaitu
mereka mengetahui bagaimana mencari penghidupan mereka melalui perdagangan, pertanian,
pembangunan, bercocok tanam, dan selain itu. Sedangkan mereka terhadap akhirat
benar-benar lalai.” (Tafsir Al Jalalain, hal. 416)
Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi hafizhohullah menjelaskan
ayat di atas, “Mereka mengetahui kehidupan dunia secara lahiriah saja seperti
mengetahui bagaimana cara mengais rizki dari pertanian, perindustrian dan
perdagangan. Di saat itu, mereka benar-benar lalai dari akhirat. Mereka sungguh
lalai terhadap hal yang wajib mereka tunaikan dan harus mereka hindari, di mana
penunaian ini akan mengantarkan mereka selamat dari siksa neraka dan akan
menetapi surga Ar Rahman.” (Aysarut Tafasir, 4/124-125)
Lalu Syaikh Abu Bakr Al Jazairi mengambil faedah dari ayat
tersebut, “Kebanyakan manusia tidak mengetahui hal-hal yang akan membahagiakan
mereka di akhirat. Mereka pun tidak mengetahui aqidah yang benar, syari’at yang
membawa rahmat. Padahal Islam seseorang tidak akan sempurna dan tidak akan
mencapai bahagia kecuali dengan mengetahui hal-hal tersebut. Kebanyakan manusia
mengetahui dunia secara lahiriyah seperti mencari penghidupan dari bercocok
tanam, industri dan perdagangan. Namun bagaimanakah pengetahuan mereka terhadap
dunia yang batin atau tidak tampak, mereka tidak mengetahui. Sebagaimana pula
mereka benar-benar lalai dari kehidupan akhirat. Mereka tidak membahas apa saja
yang dapat membahagiakan dan mencelakakan mereka kelak di akhirat. Kita
berlindung pada Allah dari kelalaian semacam ini yang membuat kita lupa akan
negeri yang kekal abadi di mana di sana
ditentukan siapakah yang bahagia dan akan sengsara.” (Aysarut Tafasir, 4/125)
Itulah gambaran dalam ayat yang awalnya menerangkan mengenai
kondisi orang kafir. Namun keadaan semacam ini pun menjangkiti kaum muslimin.
Mereka lebih memberi porsi besar pada ilmu dunia, sedangkan kewajiban menuntut
ilmu agama menjadi yang terbelakang. Lihatlah kenyataan di sekitar kita, orang
tua lebih senang anaknya pintar komputer daripada pandai membaca Iqro’ dan Al
Qur’an. Sebagian anak ada yang tidak tahu wudhu dan shalat karena terlalu diberi
porsi lebih pada ilmu dunia sehingga lalai akan agamanya. Sungguh keadaan yang
menyedihkan.
Bahaya Jahil akan Ilmu Agama
Kalau seorang dokter salah memberi obat karena kebodohannya,
maka tentu saja akan membawa bahaya bagi pasiennya. Begitu pula jika seseorang
jahil atau tidak paham akan ilmu agama, tentu itu akan berdampak pada dirinya
sendiri dan orang lain yang mencontoh dirinya.
Allah telah memerintahkan kepada kita untuk mengawali amalan
dengan mengetahui ilmunya terlebih dahulu. Ingin melaksanakan shalat, harus
dengan ilmu. Ingin puasa, harus dengan ilmu. Ingin terjun dalam dunia bisnis,
harus tahu betul seluk beluk hukum dagang. Begitu pula jika ingin beraqidah
yang benar harus dengan ilmu. Allah Ta’alaberfirman,
“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan
yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS.
Muhammad: 19). Dalam ayat ini, Allah memulai dengan ‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah
ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih
dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu
hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.
Sufyan bin ‘Uyainah berdalil dengan ayat ini untuk
menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim
dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar
Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini, lalu mengatakan, “Tidakkah
engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’,
kemudian Allah memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108)
Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang
bermanfaat adalah amalan yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu. Amalan
yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap ganjaran, dan
merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului
dengan ilmu, pen). Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang
gila yang pena diangkat dari dirinya.“ (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 1/144)
Gara-gara tidak memiliki ilmu, jadinya seseorang akan
membuat-buat ibadah tanpa tuntunan atau amalannya jadi tidak sah. Jika
seseorang tidak paham shalat, lalu ia mengarang-ngarang tata cara ibadahnya,
tentu ibadahnya jadi sia-sia. Begitu pula mengarang-ngarang bahwa di malam
Jumat Kliwon dianjurkan baca surat Yasin, padahal nyatanya tidak ada dasar dari
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, maka amalan tersebut juga sia-sia belaka.
Begitu pula jika seseorang berdagang tanpa mau mempelajari fiqih berdagang
terlebih dahulu. Ia pun mengutangkan
kepada pembeli lalu utangan tersebut diminta diganti lebih (alias ada bunga). Karena
kejahilan dirinya dan malas belajar agama, ia tidak tahu kalau telah terjerumus
dalam transaksi riba. Maka berilmulah terlebih dahulu sebelum beramal.
Mu’adz bin Jabal berkata, ”Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada
di belakang setelah adanya ilmu.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar,
hal. 15)
Beramal tanpa
ilmu membawa akibat amalan tersebut jauh dari tuntunan Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam, akhirnya amalan itu jadi sia-sia dan tertolak. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang
bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Kerusakanlah yang
ujung-ujungnya terjadi bukan maslahat yang akan dihasilkan. ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz berkata, ”Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka
dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.” (Al
Amru bil Ma’ruf, hal. 15)
Beri Porsi yang
Adil
Bukan berarti
kita tidak boleh mempelajari ilmu dunia. Dalam satu kondisi mempelajari ilmu
dunia bisa menjadi wajib jika memang belum mencukupi orang yang capable dalam
ilmu tersebut. Misalnya di suatu desa belum ada dokter padahal sangat urgent sehingga
masyarakat bisa mudah berobat. Maka masih ada kewajiban bagi sebagian orang di
desa tersebut untuk mempelajari ilmu kedokteran sehingga terpenuhilah kebutuhan
masyarakat.
Namun yang perlu
diperhatikan di sini bahwa sebagian orang tua hanya memperhatikan sisi dunia
saja apalagi jika melihat anaknya memiliki kecerdasan dan kejeniusan. Orang tua
lebih senang menyekolahkan anaknya sampai jenjang S2 dan S3, menjadi pakar
polimer, dokter, dan bidan, namun sisi agama anaknya tidak ortu perhatikan. Mereka
lebih pakar menghitung, namun bagaimanakah mengerti masalah ibadah yang akan
mereka jalani sehari-hari, mereka tidak paham. Untuk mengerti bahwa
menggantungkan jimat dalam rangka melariskan dagangan atau menghindarkan rumah
dari bahaya, mereka tidak tahu kalau itu syirik. Inilah yang sangat
disayangkan. Ada porsi wajib yang harus seorang anak tahu karena jika ia tidak
mengetahuinya, ia bisa meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. Inilah
yang dinamakan dengan ilmu wajib yang harus dipelajari setiap muslim. Walaupun
anak itu menjadi seorang dokter atau seorang insinyur, ia harus paham
bagaimanakah mentauhidkan Allah, bagaimana tata cara wudhu, tata cara shalat
yang mesti ia jalani dalam kehidupan sehari-hari. Tidak mesti setiap anak kelak
menjadi ustadz. Jika memang anak itu cerdas dan tertarik mempelajari seluk
beluk fiqih Islam, sangat baik baik sekali jika ortu mengerahkan si anak
ke sana. Karena mempelajari Islam juga butuh orang-orang yang ber-IQ tinggi dan
cerdas sebagaimana keadaan ulama dahulu seperti Imam Asy Syafi’i sehingga tidak
salah dalam mengeluarkan fatwa untuk umat. Namun jika memang si anak cenderung
pada ilmu dunia, jangan sampai ia tidak diajarkan ilmu agama yang wajib ia
pelajari.
Dengan paham
agama inilah seseorang akan dianugerahi Allah kebaikan, terserah dia adalah
dokter, engineer, pakar IT dan lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan
seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR.
Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)
Ingatlah pula
bahwa yang diwarisi oleh para Nabi bukanlah harta, namun ilmu diin. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallambersabda, “Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar
dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya,
maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.” (HR Abu Dawud no.
3641 dan Tirmidzi no. 2682, Shahih)
Semoga tulisan
ini semakin mendorong diri kita untuk tidak melalaikan ilmu agama. Begitu pula
pada anak-anak kita, jangan lupa didikan ilmu agama yang wajib mereka pahami
untuk bekal amalan keseharian mereka. Wallahu waiyyut taufiq.
[Muhammad Abduh Tuasikal]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar