Sebaiknya jangan menuduh
saudara muslim lainnya sebagai ahlul bid’ah apalagi tidak paham dengan apa yang
dimaksud dengan bid’ah.
Dalam tulisan sebelumnya
pada
telah
kami uraikan bahwa Definisi bid’ah yang berlaku
sejak Nabi Adam a.s sampai sekarang dan sampai akhir zaman adalah Perkara baru diluar apa yang
telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya Secara umum bid’ah atau
perkara baru atau perkara diluar apa yang telah ditetapkanNya atau
diwajibkanNya ada dua kategori yakni bid’ah dlolalah dan bid’ah hasanah
(mahmudah)
Bid’ah dlolalah adalah
perkara baru yang bertentangan dengan apa yang telah ditetapkanNya atau
diwajibkanNya Bid’ah hasanah adalah perkara baru yang tidak bertentangan dengan apa yang
telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya.
Imam Asy Syafi’i
~rahimahullah berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau
sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang
dhalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi
sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah
mahmudah (terpuji)”
Bahkan al- Imam Nawawi
membaginya dalam 5 status hukum.
أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة
ومكروهة ومباحة
“Sesungguhnya bid’ah terbagi
menjadi 5 macam ; bid’ah yang wajib, mandzubah (sunnah), muharramah (bid’ah
yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (mubah)” [Syarh
An-Nawawi ‘alaa Shahih Muslim, Juz 7, hal 105]
Mereka bertanya kalau
perkara bid’ah secara umum terbagi dalam dua macam perkara sebagaimana yang
telah kami sampaikan lalu apa sebenarnya makna “kullu bid’atin dlolalah”
“Kullu” pada hadits
tersebut bukan arti sebagaimana yang diketahui oleh orang awam yakni
“seluruhnya” namun artinya adalah “pada umumnya” atau “kebanyakan”. Hal ini
bisa dijelaskan dengan alat bahasa nahwu dan shorof.
“Kullu bid’atin dlolalah”
maknanya “pada umumnya atau kebanyakan bid’ah adalah dlolalah atau kesesatan.
Hadits tersebut merupakan hadits yang bersifat umum kemudian dijelaskan pada
hadits-hadits yang lain seperti
Telah menceritakan kepada
kami Ya’qub telah menceritakan kepada kamiIbrahim bin Sa’ad dari bapaknya dari Al
Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata;
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Siapa yang membuat
perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu
tertolak. Diriwayatkan pula oleh ‘Abdullah bin Ja’far Al Makhramiydan ‘Abdul
Wahid bin Abu ‘Aun dari Sa’ad bin Ibrahim. (HR Bukhari 2499)
Link:http://www.indoquran.com/index.php?surano=35&ayatno=7&action=display&option=com_bukhari
Bid’ah dlolalah adalah
perkara baru dalam “Urusan kami” atau di hadits lain “dalam agama” atau perkara
syariat yakni perkara yang ditetapkanNya atau diwajibkanNya.
Perkara yang ditetapkanNya
atau diwajibkanNya adalah perkara yang wajib dikerjakan dan perkara yang wajib
ditinggalkan atau perkara kewajiban, batas/larangan dan pengharaman
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa
kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa
batas/larangan, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan
sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan
beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan
kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
Dari Ibnu ‘Abbas r.a.
berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di masa
kemudian akan ada peperangan di antara orang-orang yang beriman.” Seorang
Sahabat bertanya: “Mengapa kita (orang-orang yang beriman) memerangi orang yang
beriman, yang mereka itu sama berkata: ‘Kami telah beriman’.” Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ya, karena mengada-adakan di dalam agama
(mengada-ada dalam perkara yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkannya yakni
perkara kewajiban, larangan dan pengharaman) , apabila mereka mengerjakan agama
dengan pemahaman berdasarkan akal pikiran, padahal di dalam agama itu tidak ada
pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan,
perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Bagian akhir hadits di atas
menyampaikan bahwa “sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan
larangan-Nya” serta telah sempurna atau telah selesai segala perkara yang
ditetapkanNya atau diwajibkanNya atau telah selesai segala perkara yang wajib
dijalankan manusia dan wajib dijauhi manusia ketika Nabi Sayyidina Muhammad
Shallallahu alaihi wasallam di utus.
Firman Allah Azza wa Jalla
yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”
( QS Al Maaidah [5]:3 )
Jadi kita tidak boleh
membuat perkara baru atau mengada-ada dalam perkara yang merupakan hak Allah
ta’ala untuk menetapkanNya yakni perkara kewajiban, larangan dan
pengharaman.
Contoh Rasulullah
menghindari perkara baru dalam kewajiban
Rasulullah bersabda, “Aku
khawatir bila shalat malam itu ditetapkan sebagai kewajiban atas kalian.” (HR
Bukhari 687). Sumber:http://www.indoquran.com/index.php?surano=10&ayatno=120&action=display&option=com_bukhari
Begitu juga dengan yang
terjadi pada kaum nasrani sebagai yang diriwayatkan berikut,
‘Adi bin Hatim pada suatu
ketika pernah datang ke tempat Rasulullah –pada waktu itu dia lebih dekat pada
Nasrani sebelum ia masuk Islam– setelah dia mendengar ayat yang artinya, “Mereka
menjadikan orang–orang alimnya, dan rahib–rahib mereka sebagai tuhan–tuhan
selain Allah, dan mereka (juga mempertuhankan) al Masih putera Maryam. Padahal,
mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.“
(QS at Taubah [9] : 31) , kemudian ia berkata: “Ya Rasulullah Sesungguhnya
mereka itu tidak menyembah para pastor dan pendeta itu“.
Maka jawab Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Maka jawab Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Jadi perkara baru diluar apa
yang telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya atau mengada-ada yang tidak
diwajibkan menjadi diwajibkan atau sebaliknya , yang halal menjadi haram atau
sebaliknya, yang tidak dilarang menjadi dilarang atau sebaliknya maka itu
adalah dlolalah atau kesesatan karena itu adalah penyembahan diantara yang
menetapkan dan yang mengikuti perkara baru tersebut. Hal ini telah
diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/03/bentuk-penyembahan/
Penyembahan kepada selain
Allah ta’ala adalah kesyirikan yang merupakan dosa yang tidak diampunkan oleh
Allah Azza wa Jalla.
Oleh karenanya dapatlah kita
memahami perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai berikut
إِنَّ اللهَ حَجَبَ
اَلتَّوْبَةَ عَنْ صَاحِبِ كُلِّ بِدْعَةٍ
“Sesungguhnya Allah menutup
taubat dari semua ahli bid’ah”. [Ash-Shahihah No. 1620]
Jadi kita tidak boleh
sembarangan menuduh saudara muslim yang lain sebagai ahli bid’ah karena bid’ah
dlolalah adalah termasuk kesyirikan artinya sama saja kita mengatakan kepada
saudara muslim yang lain sebagai “kamu kafir”.
Kita paham jika yang dituduh
tidak melakukan kesyirikan maka tuduhan itu akan kembali pada yang mengucapkan
(yang menuduh)
Hadits riwayat Bukhori
dan Muslim dari Ibnu Umar:
اِذَا قَالَ الرَّجُلُ لأِخِهِ: يَا كَافِرُ! فَقَدْ
بَاءَ بِهَا أحَدُهُمَا فَاِنْ كَانَ
كَمَا قَالَ وَاِلَى رَجَعَتْ عَلَيْـهِ.
“Barangsiapa yang berkata
pada saudaranya ‘hai kafir’ kata-kata itu akan kembali pada salah satu diantara
keduanya. Jika tidak (artinya yang dituduh tidak demikian) maka kata itu
kembali pada yang mengucapkan (yang menuduh)”.
Hadits riwayat At-Thabrani
dalam Al-Kabir ada sebuah hadits dari Abdullah bin Umar dengan isnad yang baik
bahwa Rasulallah shallallahu alaihi wasallam pernah memerintahkan:
كُفُّوْا عَنْ أهْلِ (لاَ إِِلَهَ إِلاَّ
اللهُ) لاَ تُكَفِّرُوهُمْ بِذَنْبٍ وَفِى رِوَايَةٍ وَلاَ تُخْرِجُوْهُمْ مِنَ
الإِسْلاَمِ بِعَمَلٍ.
“Tahanlah diri kalian
(jangan menyerang) orang ahli ‘Laa ilaaha illallah’ (yakni orang Muslim).
Janganlah kalian mengkafirkan mereka karena suatu dosa”.
Dalam riwayat lain dikatakan
: “Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari Islam karena suatu amal (
perbuatan)”.
Hadits riwayat Bukhori,
Muslim dari Abu Dzarr ra. telah mendengar Rasulallah shallallahu alaihi
wasallam. bersabda:
وَعَنْ أبِي ذَرٍّ (ر) اَنَّهُ سَمِعَ
رَسُوْلَ اللهِ .صَ. يَقُوْلُ : مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أوْ قَالَ: عَـدُوُّ
اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ أِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ(رواه البخاري و مسلم)
“Siapa yang memanggil
seorang dengan kalimat ‘Hai Kafir’, atau ‘musuh Allah’, padahal yang dikatakan
itu tidak demikian, maka akan kembali pada dirinya sendiri”.
Hadits riwayat Bukhori dan
Muslim dari Itban bin Malik ra berkata:
وَعَنْ عِتْبَانَ ابْنِ مَالِكٍ (ر) فِي
حَدِيْثِهِ الطَّوِيْلِ الْمَشْهُوْرِ الَّذِي تَقَدََّّمِ فِي بَابِ
الرََََََََّجََاءِ قَالَ :
قَامَ النَّبِيّ .صَ. يُصَلِّّي فَقَالَ: اَيْنَ
مَالِكُُ بْنُ الدُّخْشُمِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ: ذَالِكَ مُنَافِقٌ, لاَ يُحِبُّ اللهَ
وَلاَ رَسُولَهُ,
فَقَالَ النَّبِيُّ .صَ. : لاَتَقُلْ ذَالِكَ,
أَلاَ تَرَاهُ قَدْ قَالَ: لاَ اِلَهَ اِلاَّ الله ُ
يُرِيْدُ بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ وَاِنَّ
اللهَ قدْ حَرَّمَ عَلَي النَّاِر مَنْ قَالَ :
لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَالِكَ
وَجْهَ الله (رواه البخاري و مسلم)
“Ketika Nabi shallallahu
alaihi wasallam berdiri sholat dan bertanya: Dimanakah Malik bin Adduch-syum?
Lalu dijawab oleh seorang: Itu munafiq, tidak suka kepada Allah dan Rasul-Nya.
Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: Jangan berkata demikian,
tidakkah kau tahu bahwa ia telah mengucapkan ‘Lailahailallah’ dengan ikhlas
karena Allah. Dan Allah telah mengharamkan api neraka atas orang yang
mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas karena Allah”.
Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar