Kesalahpahaman yang satu ini
telah membawa malapetaka berkelanjutan bagi dunia Islam. Tidak bisa dipungkiri,
bahwa sunnah & bid’ah yang selalu dibahas oleh kaum Wahabi atau Salaf(i)
adalah pembahasan lama yang sudah tuntas dijelaskan oleh para ulama sejak
masa salaf dan seterusnya di dalam kitab-kitab mereka. Para
ulama itu seolah sudah menghidangkannya untuk umat dalam bentuk “makanan siap
saji” yang dapat langsung diikuti atau diamalkan. Bahkan perbedaan pendapat
dalam urusan furu’ (cabang) sekalipun sudah selesai dibahas dengan hasil sangat
memuaskan diiringi rasa solidaritas serta saling menghormati antara yang satu
dengan yang lain.
Singkatnya, apa yang
disampaikan para imam 4 mazhab dalam pembahasan perkara syariat yakni apa yang
telah Allah swt tetapkan berupa kewajiban, larangan dan pengharaman, merupakan
hasil ijtihad yang sangat maksimal dalam mengkaji seluruh dalil-dalil agama.
Itu adalah hadiah yang sangat berharga bagi seluruh umat Islam, terlebih lagi
umat belakangan yang bila disuruh mengkaji sendiri dalil-dalil tersebut maka
tidak mungkin dapat mencapai hasil yang sama. Mengapa tidak mungkin, apakah
pintu ijtihad telah tertutup? Pintu ijtihad memang belum tertutup, tetapi
kemampuan dan kriteria berijtihad itulah yang sulit dipenuhi oleh orang
belakangan. Syarat orang berijtihad atau mujtahid, silahkan baca
tulisan pada link di bawah ini :
Apa yang dilakukan oleh kaum
Salafi & Wahabi dalam dakwahnya yang mengajak umat untuk langsung kembali
kepada al-Qur’an & Sunnah Rasulullah Saw., apalagi dengan pemahaman secara
tekstual, harfiah, tersurat terhadap ayat-ayat atau hadis-hadis
tersebut, adalah bagaikan mengurai kembali benang yang sudah selesai disulam.
Artinya, semua itu sudah dikerjakan oleh para ulama terdahulu, dan
kesimpulan-kesimpulan hukum dari proses panjang yang rumit dalam mengkaji dalil
dengan menggunakan metodologi yang maksimal sudah dihasilkan. Mengapa justru
umat yang seharusnya tidak perlu bersusah payah melakukan hal yang sama
(apalagi tanpa kemampuan yang dimiliki para ulama tersebut) dan tinggal
memanfaatkan pembahasan para ulama itu malah diajak oleh kaum Salafi &
Wahabi untuk menggali lagi dasar-dasar agama tersebut.
Sebagai contoh
bagaimana memahami hadits berikut,
Diriwayatkan oleh Imam Abu
Daud, Rasulullah menerangkan sbb: “Jauhilah olehmu sesuatu yang diada-adakan
karena yang diada-adakan itu bid’ah dan sekalian bid’ah adalah dholalah (sesat)”
Hadits ini diterangkan oleh
hadits yang lain seperti
“Barangsiapa yang
menbuat-buat sesuatu dalam urusan kami ini maka sesuatu itu ditolak” (H.R
Muslim – Lihat Syarah Muslim XII – hal 16)
Al-Imam Malik bin Anas
rahimahullah mengatakan: “Barangsiapa yang berbuat satu kebid’ahan di dalam
Islam dan dia menganggapnya baik, berarti dia telah menuduh Rasulullah Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhianati risalah. Karena Allah azza
wajalla telah menyatakan: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian
agama kalian. Dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kalian. Dan Aku ridha
Islam menjadi agama kalian.” (Al- Maidah: 3)
Kedua hadits itu menjelaskan
bid’ah dholalah yang dimaksud adalah bid’ah dalam urusan kami atau bid’ah di
dalam Islam.
Hadist Nabi yang menyatakan
bahwa setiap bid’ah itu adalah sesat, adalah masih dapat menerima pengecualian,
karena lafadz kullu bid’atin adalah isim yang dimudlafkan kepada isim nakirah,
sehingga dlalalah-nya adalah bersifat ‘am (umum). Sedangkan setiap hal yang
bersifat umum pastilah menerima pengecualian. Untuk itulah dijelaskan oleh
hadits yang lain dengan istilah “di dalam Islam” atau “urusan kami”.
Arti kata-kata “kebid’ahan
di dalam Islam” , “dalam urusan kami” ialah kebid’ahan dalam hal yang
telah ditetapkan oleh Allah swt yakni berupa kewajiban, larangan dan
pengharaman atau disebut ibadah mahdah (ibadah ketaatan), Ibadah yang mau
tidak mau harus dilaksanakan dan ditaati bagi seluruh muslim, perkara syariat,
Ibadah yang disyaratkan bagi seluruh umat Islam, ibadah yang wajib
mengikuti apa yang telah dijelaskan/disampaikan/dicontohkan oleh Rasulullah
saw.
Sedangkan kebid’ahan dalam
hal perbuatan/ibadah yang Allah swt telah diamkan/bolehkan tentu dibolehkan.
Logikanya segala sesuatu yang Allah swt telah diamkan/bolehkan tentu juga
perkara baru, bid’ah, inovasi, kreatifitas dibolehkan asalkan tidak melanggar
larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Bahkan perbuatan/ibadah yang Allah swt
telah diamkan/bolehkan, sebagian adalah termasuk perbuatan/ibadah yang Allah
swt anjurkan sehingga bagi muslim yang melaksanakaannya akan mendapatkan
kebaikan/pahala.
Perbuatan/ibadah yang Allah
swt telah diamkan/bolehkan dinamakan ibadah ghairu mahdah, ibadah kebaikan,
amal kebaikan, amal sholeh, perbuatan/ibadah yang tidak disyaratkan
atau tidak dikerjakan tidaklah berdosa, perbuatan/ibadah yang dianjurkan
mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw namun boleh dikerjakan
sesuai dengan kesadaran, keinginan dan kebutuhan kita sendiri asalkan tidak
melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Kebid’ahan dalam ibadah ghairu
mahdah disebut bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan
Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah
telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah
mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa,
maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh
an-Nawawi).
Rujukan Bid’ah dalam bidang
ibadah ghairu mahdah
Rasulullah shallallahu
‘alayhi wasallam telah bersabda:
Maknanya: “Barangsiapa yang
memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan
mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya
setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim dalam
Shahih-nya)
Perhatikan perkataan
Rasulullah saw, “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara
yang baik” maknanya adalah bid’ah dalam ibadah kebaikan atau ibadah
ghairu mahdah
Pendapat Imam Syafi’i
–semoga Allah meridlainya-
“Perkara-perkara yang baru
(al muhdats) terbagi dua, Pertama : perkara baru yang bertentangan dengan
kitab, sunnah, atsar para sahabat dan ijma’, ini adalah bid’ah dlalalah, kedua:
perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan salah satu dari hal-hal di
atas, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela” (Diriwayatkan oleh al
Hafizh al Bayhaqi dalam kitabnya “Manaqib asy-Syafi’i”, Juz I, h. 469)
Imam as Syafii ra berkata “Apa
yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’
atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dlalalah. Dan apa
yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal
tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)”
Perhatikan perkataan Imam
Syafii ra “apa yang baru terjadi dari kebaikan” maknanya adalah
bid’ah dalam ibadah kebaikan atau ibadah ghairu mahdah.
Contoh ibadah ghairu mahdah
, berdoa dan bersholawat
Berdoa dan bersholawat
bukanlah ibadah mahdah atau ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah swt
sebagai kewajiban atau ibadah yang tidak wajib artinya jika ditinggalkan
tidaklah berdosa.
Berdoa dan bersholawat
adalah termasuk ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan atau ibadah ghairu
mahdah namun termasuk pula ibadah yang dianjurkan sehingga bagi yang
mengerjakan akan mendapatkan kebaikan / pahala.
Oleh karenanya berdoa dan
bersholawat dapat dikerjakan sesuai dengan kesadaran, keinginan dan kebutuhan
kita sendiri asalkan memperhatikan adab berdoa dan bersholawat.
Kita boleh berdoa
menggunakan bahasa Indonesia namun dianjurkan mengikuti apa yang dicontohkan
oleh Rasulullah saw.
Kita boleh bersholawat
sesuai dengan kesadaran, keinginan dan kebutuhan kita sendiri atau berdasarkan
keinginan kita mengungkapkan kecintaan kepada Rasulullah saw namun dianjurkan
mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw seperti sholawat
ibrahimiyah. Bacaan sholawat dalam bahasa kita yang sering diucapkan
adalah “Salam dan Sholawat atas junjungan kita Nabi Muhammad Saw”. Contoh
sholawat lain yang diucapkan oleh Imam Syafi’i ra yang artinya “Ya Allah,
limpakanlah shalawat atas Nabi kami, Muhammad, selama orang-orang yang ingat
menyebut-Mu dan orang-orang yang lalai melupakan untuk menyebut-Mu ”
Dari kesalahpahaman tentang
bid’ah kaum wahabi atau salaf(i) secara tidak disadari, mereka dapat keliru
menjuluki saudara-saudara muslim lainnya sebagai ahli bid’ah karena mereka
tidak dapat dengan baik membedakan perkara baru (bid’ah) dalam ibadah mahdah
(ibadah ketaatan) dan ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan)
Sebagian dari mereka bahkan
mensesatkan suadara muslim lainnya berdasarkan kesalahpahaman tentang bid’ah,
yang sesungguhnya perbuatan mensesatkan itu lebih mendekati perbuatan
pentakfiran.
Pen-takfir-an secara gegabah
tersebut tidak hanya berdampak negatif bagi yang tertuduh, namun juga bagi
dirinya sendiri. Maka siapapun dari kalangan Muslim dilarang memvonis kafir
kepada siapapun sebelum ada bukti nyata yang mengarah terhadap perbuatan kafir
secara konkrit (qoth’iy). Nabi Muhammad SAW pernah bersabda,
إِذَا قَالَ الرَّجُلُ ِلأَخِيْهِ يَا كَافِرَ
فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Apabila ada seseorang
berkata kepada saudaranya (sesama muslim), “Hai kafir !“, maka sungguh di
antara keduanya itu pulang dengan membawa predikat (kafir) tersebut.“ (HR.
Bukhari dari Abu Hurairah RA).
Dalam konteks ini, Nabi
Muhammad SAW adalah suri tauladan bagi kita dalam menyerukan keimanan yang
benar dan lurus. Beliau tidak pernah menggunakan takfir kepada para sahabat
beliau. Bahkan disebutkan dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim, beliau amat marah terhadap sahabat Usamah RA. lantaran ia bertindak gegabah
membunuh seorang kafir yang telah bersyahadat yang dikala itu ia sedang
terdesak dalam sebuah peperangan. Sahabat Usamah RA sempat memberikan alasan
kepada Rasulullah mengapa ia tetap membunuhnya meski telah mengucapkan kalimah
syahadat. Besar kemungkinan orang kafir tersebut bersyahadat karena takut di
bunuh. Maka apa jawab Nabi Saw. ?
“Halla syaqogta qolbuhu?” Artinya, Apakah engkau telah membelah hatinya, sehingga engkau mengerti kalau ia bersayahadat karana takut kau bunuh?
“Halla syaqogta qolbuhu?” Artinya, Apakah engkau telah membelah hatinya, sehingga engkau mengerti kalau ia bersayahadat karana takut kau bunuh?
Dari hadis ini semakin jelas
kiranya bahwa sebaik apapun niat dan tujuan kita dalam melaksanakan kebaikan,
harus menghindari cara-cara yang mendeskriditkan (menyudutkan) orang lain
dengan takfir atau semisalnya. Karena hal itu sama sekali tidak dibenarkan
dalam Islam, sebelum ada bukti nyata bahwa ia benar-benar telah kafir.
Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar